***
“Benarkah fakta kalau kamu sudah bertunangan? Seperti yang dikatakan lelaki kemarin yang menjemputmu?” tanya Lutfan langsung.
Saat ini kami berada di sebuah Café dekat kampus. Kami sudah memesan makanan kami. Sambil menunggu makanan kami datang, Lutfan memulai pertanyaannya. Aku merasa seperti disidang.
“Hem, itu benar.” jawabku singkat. Aku bingung harus mengatakan apa. Aku tidak ingin membuat semua ini menjadi rumit. Toh, aku tidak ada hubungan apapun dengannya.
“Secepat itu? Siapa pria itu? Dia terlihat lebih dewasa daripada kamu?” Sepertinya dia penasaran sekali mengenai Om Ar.
“Kamu tidak perlu tahu siapa lelaki itu, Fan. Yang perlu kamu tahu adalah bahwa aku sudah memiliki tunangan. Bukankah itu cukup?” sepertinya cukup menyenangkan mengakui Om Ar sebagai tunanganku. Aku berharap tidak ada lagi laki-laki yang mengganggu ataupun menggodaku, seperti Lutfan ini.
“Begitu?” jawabnya dengan nada datar, “Baiklah, aku ucapkan selamat. Semoga kalian akan cepat menikah.” Walaupun dia mencoba untuk bersikap santai, tapi aku tahu ada nada dingin dalam suaranya.
Ya, mau apa lagi? Memang inilah statusku. Bertunangan.
Obrolan kami terputus karena makanan yang kami pesan telah datang. Kami makan dalam diam tanpa obrolan kecil. Membuat suasana menjadi canggung dan dingin.
Dengan segera aku menghabiskan makananku dan bergegas kembali ke kampus. “Aku duluan ya, Fan. Masih ada jam kuliah nanti.”
“Aku bisa mengantarmu.” Tawarnya.
“Tidak usah, aku pergi sendiri saja. Kalau begitu aku pergi.” Pamitku. Lalu setelahnya bergegas ke luar Café dan berjalan kaki menuju kampus karena jarak kampus yang cukup dekat.
***
“Terima kasih, pak.” Ucap Ara kepada supir yang diperintahkan Ar untuk menjemputnya. Saat ini Ara sudah tiba di depan rumahnya. Dia bergegas masuk ke dalam.
“Aku pulang.” Sapanya setelah tiba di dalam rumah.
“Halo adikku sayang.” Sapa sebuah suara yang membuat Ara tersenyum gembira.
“Kakak,” bergegas Ara menghampiri sosok yang memanggilnya, “kapan pulang? Kok enggak ngabarin aku?” dengan manja Ara memeluk sosok itu. Ya, sosok itu adalah kakaknya. Farhan Safriansyah, yang biasa dipanggil Aan.
“Tadi siang sekitar jam tiga. Kakak takut ganggu kuliah kamu. Toh, sekarang kamu udah di rumah, kan?”ucap Farhan dengan memeluk Ara.
“Ehem, mbak gak dipeluk nih?” ucap suara lain, seorang perempuan yang berdiri tak jauh dari mereka.
“Mbak Liana,” sapa Ara sembari melepaskan pelukan kakaknya dan menuju ke tempat perempuan itu berada, “ahh, aku kangen sama mbak. Perutnya tambah buncit ya?” ucap Ara sambil nyengir. Ara memeluk kakak iparnya itu dengan lembut, takut menyakiti calon keponakannya.
“Kamu tuh ya, namanya juga lagi hamil. Bertambah usia kandungan, pasti bertambah buncit perutnya.” Ucap Liana sembari memencet hidung Ara gemas. Ara hanya tersenyum lebar.
“Iya,” pandangan Ara teralih ke perut besar kakak iparnya, “Baby, kamu cepat keluar ya, nanti kamu main bareng sama tante.” Ucap Ara dengan mengusap perut kakak iparnya.
“Masih tiga bulan lagi Ara, sabarlah. Aku sebagai ayahnya saja sabar tuh.” Sahut Farhan yang geli melihat kelakuan ara. Sedangkan Liana hanya tersenyum sayang menatap Ara.
“Iya, iya.” Ucap Ara dengan nada mengejek sambil tetap mengelus perut kakak iparnya.
“Ara, kamu mandi dulu sana. Nanti kita makan malam bersama.” Ucap bundanya, yang muncul dari arah dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Uncle
JugendliteraturFarah Anindya Putri, biasa dipanggil Ara oleh orang terdekatnya, diminta menjadi istri dari seorang tamu yang datang ke rumahnya. Tamu yang mengaku sebagai om dari gadis tersebut, Ardhani Saputra. Lelaki yang masih tampak muda untuk ukuran menjadi o...