7- Operasi

2.4K 280 33
                                    

Maaf baru post :')

Dan maaf kalo jauh dari ekspetasi :(

****

Pendosa abadi

Kau tipu semua insan

Mengapa semua insan puji dirimu?

Oh, topengmu bak seorang pembebas

Untuk itu datanglah padaku

Pembunuh Osiris, 243101, weto

Jadi, ini isi surat kali ini?

Pembunuh Osiris? Set? Iya kan? Aku yakin itu Set. Dan... jika aku menyusun surat ini seperti tadi siang, aku menemukan jawaban yang sama seperti tadi. Hebat.

"Jadi... apa yang kalian temukan dari surat ini?" tanya Inspektur terong.

David membuka suara. Dia menjelaskan semua penemuan kami tadi siang tanpa kurang sedikit pun. Termasuk cara menyusun surat ini dan membacanya dengan benar. Si Inspektur terong terperangah dengan penemuan kami, termasuk 'weto'.

"Hebat juga kalian. Saya akui, kalian hebat bisa menebaknya. Tapi, bagaimana dengan Dewa kematian, Shu, dan pembunuh Osiris?"

"Mungkin... semacam kata kunci atau gelar mereka? Karena saya merasa ada sesuatu yang besar tentang surat ini," tebak Matt. Yup, kurasa itu kata kunci milik mereka untuk sesuatu yang cukup besar. Aku yakin.

"Lalu, siapa pembunuh Osiris?" tanya Khari.

Aku dengan cepat menuliskan nama 'SET' di note Hpku. "Set?!" Matt mengintip ke Hpku. Aku mengangguk merespon Matt.

"Jadi, pembunuh Osiris itu... Set? Benar?" tanya si Inspektur terong. Sekali lagi, aku mengangguk.

Oke, mungkin setelah ini aku akan menjadi pajangan kucing yang hanya bisa mengangguk-angguk, lantaran suaranya tidak bisa keluar. Menyebalkan.

"Melihatmu cuma mengganggukan kepala terlihat agak sedikit menggelikan." Aku terbelalak mendengar penuturan polos dari si Inspektur terong yang rupanya cukup tidak tahu diri. Ingin rasanya, aku mencuri pistol salah satu rekannya dan menembaki mulut si Inspektur terong ini. Satu kata untuk kejadian ini, menyebalkan.

Teman-temanku tertawa geli yang kuyakini karena perkataan si Inspektur terong satu ini. Akh, menyebalkan.

Aku menggenggam tanganku membentuk bogeman dan mengarahkan pada mereka, bermaksud agar mereka tahu makna jika aku-sedang-marah-pada-kalian-yang-berani-tertawa-matilah-kalian. Sekali lagi, mereka tertawa. Hentikan, hentikan, ini menyebalkan.

"Sudah, sudah, lihat. Dia sudah kayak orang mau mati aja. Kamu, Mona, nanti kamu ikut ambulan untuk dioperasi. Kalian bertiga bisa pulang. Dan, ingat satu hal. Jangan pernah melakukan hal seperti ini lagi tanpa sepengetahuan saya. Mengerti? Saya memaafkan untuk kali ini."

Kami mengangguk mematuhi perintah si Inspektur terong. Jujur, naik ambulan sendirian dan hanya ditemani suster dan dokter yang tak kukenal, agak sedikit horror. Tetapi, mana mungkin aku merengek pada ketiga temanku.

Satu hal, aku pasti bakal diamuk mama papa. Bagaimana perasaan mereka melihatku tiba-tiba dengan leher tak sama seperti sebelumnya? Ah, tidak.

Aku berjalan gontai ke arah ambulan yang ditunjuk Inspektur. Semua tenagaku habis, belum lagi membayangkan bagaimana ekspresi papa dan mama setelah ini. Anaknya yang dikira anak penurut, ternyata tak lebih dari anak pencari masalah di malam hari dan berakhir tragis dengan leher yang nyaris terpotong.

"Kalian berdua pulang aja. Bilangin juga ke Papa Mama gue sama Mona. Gue nemenin Mona ke RS aja."

Heh? Aku menoleh, memandang bingung ke Matt. Otaknya lagi error berat deh kelihatannya. Daritadi dia mengatakan hal-hal yang seperti bukan Matt. Atau mungkin dia dirasuki hantu dari ruang band? Ah, tidak. Itu menakutkan.

"Kalo gitu kita berdua ikutan juga." Khari terlihat khawatir. David mengangguk menyetujui usulan Khari.

Matt memelototi dua orang itu. "Kalian berdua pulang aja. Jelasin keadaannya. Kalo kita jelasin ke mama papa kita lewat telpon, gue jamin mereka malah salah paham. So, sono lo berdua pulang."

Khari mengerucutkan bibir serta beberapa dumelan yang terdengar jelas di telingaku. David yang sudah tak banyak komen, langsung menarik Khari pulang.

Matt mengejarku dan berjalan sejajar denganku. "Gue tahu lo takut kan?" cetusnya pelan.

Heh?

***

Kepalaku terasa berdenyut. Efek obat bius semalam membuatku benar-benar mati rasa. Aku tak merasakan apapun saat pisau menyilet leherku, aku setengah sadar saat itu hingga aku benar-benar lupa apa lagi yang terjadi.

Tunggu, semalam? Aku bahkan tak yakin, seberapa lama aku tertidur.

Aku membuka mataku sedikit. Silau. Aku kembali menutup mataku dan mengerjapkan beberapa kali hingga terbiasa dengan terang ruangan ini.

"Lo udah bangun?"

Matthew? Kenapa diantara semua orang. Harus dia, orang yang pertama kali kudengar suaranya saat membuka mata. Agak awkward.

Aku mengangguk pelan.

"Lo cuma tidur semalaman doang. Padahal, kata dokternya mungkin lo bisa gak sadarkan diri sekitar dua samapi tiga hari. Kalo lo sudah bangun sih, bagus. Lo gak usah berusaha ngomong atau ngelakuin aktivitas yang berhubungan dengan leher lo. Belum boleh," cerocos Matt.

Nih cowok dalam semalam bisa berubah jadi cowok super cerewet.

"Lo tahu gak?" Jelas aku gak tahu lah Matt. Jangan belagak bodoh deh. Matt melanjutkan ucapannya, "Jadi, kemaren pas David sama Khari ceritain kejadian semalem ke Mama Papa kita. Lo tahu? Rumah sakit langsung ricuh. Mama Papa kita langsung otewe ke sini. Mama Papa Khari sama David juga. Gak cuma itu. Kakaknya Khari, Kak Khara sama Kak Khira dateng juga ke sini. Adeknya David, siapa itu namanya, Leon. Itu juga dateng. Harry, adek gue. Juga dateng. Gila kan ya? Mereka malem-malem itu langsung bikin gaduh rumah sakit. Mama Papa lo udah cemas banget sama keadaan lo. Tuh lo lihat, mereka semua tidur di sana."

Kepalaku sedikit berdenyut mendengar semua cerita Matt. Gaduh? Apanya? Hanya sebagian kecil yang kutangkap. Aku mengikuti jari Matt, kulihat setumpukan manusia zombie tertidur. Oke, bukan Zombie. Maksudku, yah semua orang yang disebutkan Matt, termasuk mama papaku, juga Khari, dan David.

Mereka tertidur di lantai ruangan ini dengan beralaskan karpet, beberapa tertidur di sofa. Mereka benar-benar membuat penghuni rumah sakit jantungan ketika membuka ruangan ini.

"Nah. Lo syok juga kan?"

Aku tertawa -tanpa suara, pastinya-menanggapi celetukkan Matt. Mata kami bersitemu, kedua bola matanya tampak indah ketika menatapku dengan intens. Tawa kami berhenti. Jantungku... sedikit berdegup. Apa sih?

Kualihkan pandang ke arah tak tentu. Kenapa aku salting begini, sih? Kulirik, Matt menggaruk tengkuk yang kuyakin tak gatal.

Seorang wanita berjas putih melongok dari balik pintu ruangan ini, aku tersenyum tipis -tanda mengijinkannya masuk. Wanita itu -pasti dokter-masuk dengan beberapa lembar kertas di tangan dan stetoskop melingkar di leher.

"Sudah siuman, rupanya. Cukup cepat ternyata obatnya bekerja. Saya periksa sebentar ya," ucapnya. Matt mundur beberapa langkah, memberi ruang agar si Dokter dapat memeriksa keadaanku.

"Dok, pastikan suaranya tidak bisa keluar. Ya?" Aku melempar sebuah benda -yang aku tak tahu apa-ke arah Matt. Dia mengaduh begitu benda itu menghantam kepalanya. Ouch, itu ternyata apel. "Gila lo!" umpatnya kesal.

Si Dokter tertawa pelan melihat tingkahku dan Matt. "Kalian pacaran ya?" tanyanya.

Aku menyipitkan mata. Pacaran? Hell, sama Matt?

"Nggak lah, Dok," jawabku dan Matt bersamaan.

"Hahaha. Iya deh, tapi paling habis ini jadian. Kamu boleh pulang lima hari lagi, tunggu sampai lukamu kering dulu. Jangan kebanyakan gerak. Dan jangan bersuara dulu," ujar si Dokter seraya melenggang keluar.

Habis ini jadian? Your dream.

*TBC*





R.M.D.K.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang