Bab 10 (part 2) - Kenyataan

2.5K 274 31
                                    

Aku mencoba membuka mataku, meski kepalaku terasa pusing. Dan, posisi macam apa aku ini? Di mana ini? Aku berusaha menyesuaikan mataku di tempat gelap ini.

Awalnya, kukira ini masih di ruang seni, kurasa aku salah. Ada bau tak sedap di sini. Aku kenal ruangan ini. Dulu, Matt sering mengajakku kabur ke sini.

Gudang belakang sekolah.

"Matt." Aku mencoba mendeteksi keberadaan Matt di sekitarku. Suaraku terdengar serak, kuharap tidak terjadi sesuatu yang buruk lagi pada pita suaraku.

"Eng... Mon? Lo sudah sadar? Lo capek? Lo sakit di mana?" Matt langsung memberondonginku dengan pertanyaan. Aku bahkan tidak tahu di mana Matt, tapi kurasa dia berada di dekatku.

Tapi pertanyaan Matt benar, aku merasa sangat capek. Tanganku yang diikat ke atas membuatnya menumpu tubuhku yang mengawang-awang tanpa pijakan tanah. Aku saja sempat merinding saat tersadar tadi.

"Gak apa-apa, Matt. Lo di mana?" tanyaku berusaha tetap tenang.

Aku mulai merasa takut dengan apa yang akan terjadi padaku setelah ini. Apakah benar jika Aldo dan Misa akan membunuh kami? Ini juga sudah siang atau malam, aku pun tidak tahu.

"Gue di belakang lo. Tetap tenang, jangan sampai tenaga lo habis karena gerak-gerak," perintahnya.

Aku dan Matt terjebak dalam keheningan, entah apa yang dipikirkan Matt. Mungkin dia mencari cara agar bisa melepaskan ikatannya. Dalam situasi terjepit pun, aku dan Matt masih saja terjebak dalam suasana kikuk yang menyebalkan ini.

Tiba-tiba saja, lampu ruangan ini menyala. Menampilkan dua sosok yang menyeringai ke arahku.

"Well, well, well. Tampaknya para tawanan sudah sadar ya? Sudah berapa lama? Sudah lelah? Jangan lelah dulu, ini belum dimulai." Suara centil Misa membuatku makin bergidik dengan setiap ocehannya. "Matt, gue janji gak bakal kasar kok. Mungkin, gue bisa bebasin lo. Kalo lo janji gak bocorin ini."

Samar-samar, kudengar Matt mengumpat mendengar godaan dari Misa yang memang snagat menjijikkan.

Satu hal yang masih menggangguku, bagaimana bisa Misa sudah sadar secepat itu. Padahal keadaannya sangat mengenaskan. Ada sulap apa? Ini sangat mencurigakan.

"Berhenti bermain-main, Mis," tegur Aldo.

Aldo berjalan ke arahku. Tak pernah kusangka jika dia menjadi sangkut paut masalah ini. Dia memasang seringainya yang sangat jarang kulihat.

Aldo menaiki kursi agar tingginya menyamaiku yang sedang tergantung di langit-langit.

Matanya mengamatiku dari atas ke bawah, dilakukannya berkali-kali hingga membuatku risih. "Lo cantik. Sayang, lo terlibat terlalu jauh."Aldo mengelus pipiku. Nyaris saja air mataku jatuh, ini sangat menakutkan. Semua tindakan Aldo membuatku merinding.

"Jangan takut, Mon. Gue bukan monster. Kenapa lo nangis?" Aldo memasang wajah polosnya yang justru membuatku semakin takut saja. Aku sangat takut, aku bukanlah detektif pemberani seperti di novel atau pun di komik. Kenyataannya, aku sangat takut menghadapi kematian. Aku bahkan belum bisa membahagiakan orang tuaku. "Gue suruh lo jangan takut. Kenapa lo malah nangis?!" Aldo menaikkan oktaf suaranya.

"Bangs**, lo ngapain teriakin Mona. Tunggu aja, gue bakal bunuh lo di tangan gue." Matt berteriak yang entah kenapa membuatku semakin ingin menangis.

Aku benar-benar takut mati. Apakah waktu benar-benar tidak dapat diputar? Aku ingin membatalkan niat David untuk membentuk grup ini. Aku tidak ingin mencari mati.

"Lo jangan merasa pahlawan, Matt. Lo gak sadar keadaan lo? Lo bahkan nggak bisa ngalahin gue," ejek Aldo seraya mengusap air mataku.

"Tuh dengerin Aldo, Beb. Lo bahkan dalam keadaan menyedihkan, jadi jangan kebanyakan teriak ya, Beb."

R.M.D.K.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang