Bab 8- Black Shadow

2.4K 298 57
                                    


"Lo sudah denger belom?"

"Denger apaan?"

"Kak Krisna meninggal!"

Langkahku tercekat mendengar pembicaraan dua orang di dekatku. Aku baru saja bisa kembali ke sekolah setelah memohon-mohon pada dokter untuk mempercepat jadwal kepulanganku. Dan... Krisna mati?! Candaan macam apa ini?

Aku menghampiri dua orang tadi. "Krisna meninggal? Serius?" tanyaku masih dengan suara yang agak serak. Salah satunya mengangguk cepat.

"Serius. Dia ditemuin di ruang band, Kak. Kakak tahu? Dia gantung diri. Gila! Banyak banget yang ke sana, Kak," ujarnya. "Padahal sekolah kita sudah nakutin gara-gara Kak Ema, Kak Misa, sama Kak Robert. Ini malah Kak Krisna meninggal. Aduh sekolah ini kok nakutin," tambahnya sedikit bergidik.

"Tengkiu ya," kataku seraya meninggalkan mereka.

Aku mempercepat langkahku ke arah ruang band. Dan benar, banyak sekali kerumunan di sana. Beberapa polisi sudah berjaga di depan pintu masuk dan memasang garis kuning.

"Mona!" panggil Matt di seberang. Aku membalasnya dengan lambaian tangan dan berjalan mendekati dia. Tunggu... rupanya jarak waktu antar korban tiga hari. Dan... Krisna juga berjarak tiga hari dengan korban lainnya. Pasti, pelakunya dua orang itu.

"Kok lo udah masuk?" tanya David.
"Iya dong. Tapi, beneran kalo Krisna meninggal?" tanyaku hati-hati.

David, Matt, dan Khari mengangguk pelan. Ouh, ini membuatku sedikit mual. Ini bukan lagi kasus penganiayaan lagi tapi sudah pembunuhan. "Bunuh diri atau... pembunuhan?"

"Option kedua," jawab Matt, "ada surat yang ditinggal di sana. Nih gue tadi abis foto dari Inspektur James."
Matt menunjukkan ponselnya yang berisi surat yang ditinggalkan si Pelaku. Aku membaca tiap kata dengan seksama.

Namamu terkenang sebagai penipu

Apakah kau tak sadar kau adalah seorang pendosa?

Dengan kekuatan, kau menundukkan mereka

Bagaimana kau merasa tinggi?

Untuk itu mari kita akhiri

RA, 3241, weto

"Kalimat terakhirnya berbeda..." aku sedikit bergidik seusai membacanya. Kalimat diakhir surat ini berbeda dengan yang lainnya.

"Kamu sudah masuk sekolah?!" Aku terkesiap begitu mendengar suara baritone yang dengan mudah mengintimidasi. Suara yang tidak asing.

Aku menoleh dan mendapati si Inspektur terong berkacak pinggang menatapku dari atas ke bawah. "Kok sudah boleh pulang? Katanya lima hari? Sudah boleh ngomong belum?"
Dia lagi ngajak bercanda atau berantem?

Aku menyipitkan mata tak berniat membalasnya. "Jadi... si Krisna kok bisa kayak gitu?" tanyaku sok polos tanpa mengindahkan pertanyaannya.
"Mana saya tahu?! Memangnya saya ini dukun?" gerutunya. Tumben banget ini orang sensi banget. Kurasa dia mulai kesal, lantaran kasus ini tidak menemui titik terang malah mendapat korban meninggal.

"K-krisna!" teriakan lirih menyeruak menyentuh indera pendengaranku. Kualihkan pandanganku, wanita paruh baya berlinang air mata. Kuasumsikan itu adalah orang tua Krisna. Lelaki di sampingnya diam, tak satu kata terbentuk di kala sang Istri memeluk tubuh kurus yang tak lagi bernyawa.

Hatiku mencelos. Pemandangan di depanku benar-benar menyayat hati. Aku tak sanggup untuk melihat lebih lama lagi. Keadaan Krisna benar-benar buruk. Banyak memar di tubuhny, belum lagi dia ditemukan dengan gantung diri. Bagaimana perasaan orang tuanya? Hancur. Pasti. Apalagi Krisna hanya anak semata wayang. Bagaimana tidak hancur lebur perasaan orang tuanya. Kedua orang tuaku saja sudah khawatir setengah mati, saat melihat leherku yang tergores pisau.

"Gak usah dilihat." Aku mendengar bisikan Matt di telingaku. Aku mengangguk dan mengalihkan pandangan. "Kita turun aja. Gak enak rasanya hal kayak gini dilihatin. Gak pantes. Ini bukan tontonan," ajak Matt. Aku langsung menyetujui dan menarik tangan Khari dan David.

Kami bertiga turun ke lantai dua. Sedangkan Matt sedang berbicara dengan si Inspektur terong untuk membubarkan kerumunan.

"Lo udah gak apa-apa, Mon?" tanya Khari.

"Gak apa-apa kok. Cuma katanya jangan kebanyakan ngomong. Soalnya, masih belum sembuh." Khari mengangguk-angguk. "Tapi... kok gue ngerasa sesuatu yang makin besar ya semakin ke sini. Kematian Krisna dan surat yang ditinggalkan seolah menjelaskan kebencian ke Krisna. Gue tahu kalo dia tukang bully dan semacamnya tapi prestasi dia berhasil nutupin semua keburukan dia. Sama kayak Misa."

"Analisis bagus, Mon." Aku nyaris terjengkang karena suara misterius yang tiba-tibaenyahutiku. Parahnya, itu adalah Matt dan bukan suara asing. "Tapi lo ngarahin pembicaraan ini ke mana?" tanyanya.

Matt yang masih berdiri di anak tangga kedua, berjalan turun menghampiri kami. Wajahnya tampak serius, memadang kami bertiga dengan tatapan yang sulit untuk kuartikan. Matt versi serius.

Sekilas aku menangkap raut aneh di wajah David. Matanya tampak tak tenang dan berusaha menghindari tatapan dari Matt.

"Gue rasa lo tahu sesuatu, Vid. Terserah lo mau kasih tahu ke kita atau nggak," ujar Matt tepat sasaran. David langsung salting di detik itu juga, dia mengusap dahinya dengan gusar. Menghindari enam pasang mata yang menunggunya berkata sesuatu.

"Oke, lo menang. Gue tahu sesuatu." David berujar pasrah. "Tapi kita gak ngomongin itu di sini. Terlalu rame."

David membawa kami ke taman belakang sekolah yang memang akan jarang dikunjungi di pagi hari, ah tidak, tempat ini memang sangat jarang dikunjungi murid Entra High School. Hanya tukang kebun dan para anggota pecinta alam saja yang sering ke sini.

"Jadi?" Khari menuntut penjelasan.

David menghembuskan napas panjang. "Mereka berempat... anggota besar Black Shadow. Dan Krisna itu ketua dari Black Shadow."

"Black shadow apaan?" tanyaku bingung.

"Jangan interupsi gue plis." David menatapku geram. Aku memasang wajah bersalahku dan langsung bungkam. "Black shadow itu grup gelap di sekolah kita yang cukup besar namanya di kalangan anak-anak berprestasi. Asal kalian tahu, grup ini bahaya. Mereka mengedarkan soal ujian, memanipulasi nilai, memanipulasi tim-tim yang akan diikutkan olimpiade. Semua itu."

David terdiam. Matanya bergerak tak tenang. "Dan lo salah satu anggotanya?" Khari menelisik informasi.

Namun tidak seperti dugaan kami, David menggeleng. "Bukan. Gue pernah masuk dan gue keluar. Gue gak suka cara kerja mereka. Jadi gue tahu cara kerja mereka di sana. Bahkan surat itu...."

Aku terkejut dengan perkataan David. Jadi... surat itu juga cara komunikasi mereka? Pantas saja David tahu.

"Tiap dari mereka mengambil code name sendiri dan menjadi penentu kedudukan mereka. Dan Ra sebagai yang tertinggi, code name Krisna. Mereka berempat... orang paling bermasalah di grup itu. Dan mungkin orang yang paling menjadikan para murid miskin sebagai ejekan. Lo tahu konco lu si Gingsul? Dia salah satu korban."

"Aldo?" tanyaku memastikan.

David mengangguk. "Yup. Tapi dia cuma salah satu dari banyak orang, Mon. Mereka berempat itu kejam banget."

Mendengar perkataan David, aku jadi paham kenapa Aldo selalu jadi bahan olokan oleh Krisna. Dan kenapa Aldo dengan bodohnya tetap mengikuti Krisna. Akh, aku mulai kesal pada mayat itu. Hatiku sedikit bersyukur dengan apa yang dialaminya. Aku tahu ini terdengar kejam tapi kelakuannya memang... aku tak sanggup berkata.

"Empat orang dewa besar telah gugur."

*TBC*

R.M.D.K.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang