"Kalian ini!"
Inspektur terong dan bawahannya datang, lalu membuat ribut ketika melihat keadaan kami semua yang sangat menyedihkan.
Matt menggendongku dan membawaku ke tandu. Awalnya, Inspektur ingin menyuruh kami bertiga menjelaskan yang terjadi tapi begitu dia melihat keadaanku -yang aku sendiri tak tahu bagaimana-dia mengijinkan Matt mengungsikanku. Padahal, aku sudah bilang aku tak apa-apa, eh, si Inspektur justru ikut-ikutan kalang kabut dan menyuruh Matt segera membawaku ke tandu.
Beberapa orang berpakaian putih segera membersihkan lukaku dan melakukan -apalah aku tak mengerti. Lalu aku berakhir dengan perban putih yang melilit leherku. Aku bangkit dan bersiap mendatangi si Inspektur, tanganku dicekal.
"Loh mau ke mana? Ini cuma nutupin luka kamu sementara, kamu harus ikut ke rumah sakit buat dijahit."
Aku terbelalak mendengar kata-kata terakhir yang diucapkan orang ini. Dijahit?! Leherku?!
"Hah?!" Aku menggeleng namun itu hanya membuat leherku semakin sakit. "AKH-" pekikku. Leherku benar-benar terasa sakit. Bodoh sekali kamu,Mon.
"Lo kenapa, Mon?" Matt berlari menghampiriku meninggalkan Inspektur terong dan David.
Baru aku mau membuka suara, tenggorokanku terasa tercekat. Tidak ada yang keluar. Apaan ini? Suaraku hilang? Demi apa?
Aku menunjuk mulutku dengan jari telunjuk lalu dengan kedua telunjuk membentuk 'X'. Aku menggunakan isyarat yang berarti jika suaraku tidak bisa keluar.
Aku mengerjapkan mata berusaha meyakinkan jika adegan yang terjadi saat ini bukanlah mimpi. Matt hari ini benar-benar aneh. Dia langsung panik begitu sadar maksud isyaratku. Dia terlihat cemas dan memaksa para suster untuk memeriksaku.
Tidak seperti biasanya, apa otak Matt sedang error. Dia bukanlah orang yang akan mempedulikan keadaanku. Dia orang yang suka sekali menggangguku dan tega terhadapku, aku jamin itu. Apakah mungkin kejadian yang terjadi pada Ema membuatnya sedikit keder? Tapi kan nggak mungkin, aku bukan Ema, juga buat apa dia ngecemasin aku.
Seorang wanita berpakaian serba putih mendatangiku. "Coba buka mulut," pintanya yang langsung kuturuti. Wanita itu memerika mulutku dengan alat yang dimilikinya. Sesaat, aku melirik Matt dan dia memandangku serius. Benar, aneh.
"MONA!!" Aku sedikit berjengkit karena terkejut. Iyalah, siapa yang nggak kaget jika tiba-tiba suara cempreng berteriak memanggil namamu, sedangkan kamu sedang serius memperhatikan orang yang tiba-tiba menjadi aneh.
Aku ingin sekali mengumandangkan protes, namun aku sedang dalam posisi tak bagus. Mulut terbuka dan seorang wanita -aku tidak tahu dia dokter atau suster-sedang memeriksaku. Matt menjitak kepala Khari begitu dia datang menghampiriku dan Matt.
Rahang dan lidahku terasa lelah. Berapa lama aku harus dalam posisi tak enak ini.
Cepat sekali dia sudah sadar. Lihat, tadi dia tertidur tak berdaya tapi sekarang dia sudah berteriak kesana- kemari.
"APA SIH?" omel Khari.
Matt memandang Khari geram. "Lo tuh ya, nggak lihat apa? Konco lo tuh lagi diperiksa," balas Matt dengan nada sinis. Seperti biasa.
Khari mendekatkan tubuhnya padaku dan memperhatikanku.
"Loh?! Mona kenapa? Kok lehernya dililit perban. Juga memang mulutnya Mona kenapa? Kok diperiksa gitu? Mon, mulut lo ditusuk pisau?" cerocos Khari bagai kereta api.
Wait, ditusuk pisau?! Mulutku?! Gila apa ya? Opini macam apa itu?! Gila sekali. Ingin sekali aku mengomel pada Khari, namun aku sedang tidak bisa. Pertama, mulutku sedang diperiksa bahkan kini rasanya rahangku terasa capek karena terus disuruh membuka mulut. Kedua, suaraku belum bisa keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
R.M.D.K.
Mystery / ThrillerPenghuni Entra High School telah dikejutkan dengan ditemukan seorang siswi yang tergeletak tak berdaya, dengan secarik kertas yang berisi misteri penting. Tak sampai di situ. Korban terus berjatuhan dan merenggut ketenangan Entra High School. Apa a...