Epilog

3.1K 271 123
                                    

Aku mengerjapkan mataku, sinar terang langsung menyeruak menembus penglihatanku. Aku mengucek kedua mataku untuk mengurangi rasa silau. Tunggu, ini di mana? Kenapa aku berada di ruangan yang serba putih? Seingatku, aku berada di gudang belakang sekolah dan akan terbunuh di tangan Aldo dan Misa.

Jangan bilang, aku sudah mati?

Mungkin saja. Ruangan apa ini kalau bukan surga. Surga? Yakin sekali jika aku akan masuk surga. Mungkin ini dimensi lain sebelum aku ditentukan masuk surga atau neraka. Ternyata, rasanya mati tak seindah dugaanku ya. Kupikir aku bisa melupakan semua yang terjadi. Tapi tidak. Aku masih mengingat peristiwa di mana Matt meringis kesakitan, sedangkan Misa memotong tali di pergelangan tanganku.

Rasa sesak dan sakit akan kematian masih terngiang jelas.

Ah, kenapa aku harus mati dengan cara yang sangat mengenaskan, sih. Mungkin rohku akan berkeliaran di bumi dan berusaha memberitahu semua orang jika pelaku semua ini Aldo dan Misa. Pasti aku akan sangat kesepian karena belum berkenalan dengan hantu-hantu lainnya.

Matt di mana ya? Mungkinkah aku bertemu dia? Setidaknya, aku punya kenalan hantu. Daripada aku harus mengawang-ngawang tidak jelas.

"Ramona Andrew, silakan bangkit berdiri dan berjalan ke kiri. Sekarang giliranmu untuk dicatat tingkah baiknya."

Aku terkejut dan segera bangkit dari tidurku. "Aw," ringisku sangat merasakan benda tajam di pergelangan tangan kananku. Tunggu, kenapa masih ada infus di tangan kalau aku mati. Aku beneran sudah mati atau masih arwah gentayangan?

"Mona! Astaga, ya Tuhan. Mengapa kauciptakan manusia sebodoh dia?"

Loh? Itu kan suara Matt. Aku menoleh ke kiri dan menemukan Matt dengan pakaian layaknya pasien rumah sakit. Dia memutar bola mata padaku. Jadi, aku ini mati atau nggak?

"Ya Tuhan, pasti lo masih bingung lo sudah hidup atau mati. Ya Tuhan, seharusnya kau bunuh saja dia, dia sendiri yang berharap mati. Ckckck," decak Matt.

"Jadi kita gak mati?!" teriakku girang. "Kok lo tahu, gue lagi ngira kalo gue sudah mati. Cenayang lo? Terus ini di mana? Rumah sakit?"

Matt memegang puncak kepalaku dan mendekatkan wajahku ke wajahnya. Nih anak ngapain sih?

"Lo dari tadi ngomong, gue udah mati? Ini di mana? Gue gak punya kenalan hantu gimana nih? Matt jadi hantu juga ya? Lo kagak bersyukur amat sih. Masih hidup tapi ngarep mati. Cih." Matt menaikkan sebelah alisnya. "Gue bukan cenayang, beb."

Aku menjauhkan wajahku dari Matt. Kupegang tangannya agar menjauh dari kepalaku. "Apa sih lo? Tukang nguping. Gue bukan bebeb lo."

Matt tertawa hambar. "Siapa yang nguping? Gue dari tadi teriak-teriak tapi lo tetep ngomong sendiri sama dunia gaje lo. Baru nyahut pas gue suruh bangun. Payah."

"GAK PEDULI!"

***

Kejadian beberapa hari yang lalu masih membuatku bergidik jika mengingatnya. Mama dan papa bahkan sampai mengancam tidak memperbolehkanku keluar rumah jika aku masih bermain sesuatu yang membahayakan nyawa.

Cerita yang kudengar dari David, jika dia berhasil melacak ponsel Matt karena sebelum Matt tak sadarkan diri, dia sempat berusaha menelpon David. Ternyata, kehendak baik masih terjadi padaku juga Matt.

Para polisi yang sudah bersiaga di tempatnya masing-masing langsung menyerang Aldo dan Misa yang baru saja merasa puas melihat kami mulai kehabisan napas.

Aku masih tidak menyangka dengan kelakuan mereka berdua yang di luar batas kemanusiaan. Aldo mengaku dia dendam dengan para petinggi black shadow, termasuk pada Misa tapi hanya gadis itu yang mau membantu melakukan rencana keji. Sehingga Aldo harus melupakan dendamnya pada Misa. Sangat tidak masuk akal.

R.M.D.K.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang