Prolog

8.3K 323 24
                                    

Aku berjalan sendirian menyusuri koridor kelas sepagi ini, menapaki ubin yang masih bersih dalam keheningan yang tak biasanya kujumpai. Ya, mungkin dapat disimpulkan bahwa aku berangkat terlalu pagi, entah arloji di pergelangan tangan kiriku yang salah atau otakku yang tidak dapat bekerja dengan sempurna akhir-akhir ini. Namun kurasa, pilihan kedua lebih tepat untuk situasi seperti sekarang.

Ruang kelas yang kulewati masih sepi, hanya ada beberapa siswi yang sibuk dengan tugas piketnya. Sementara aku, masih berjalan santai dengan segala pemikiran yang berkecamuk dalam otakku.

Hingga sesuatu itu hadir lagi, sesuatu yang dibawa oleh seseorang yang baru saja melintas tepat di sampingku. Ah, apa lagi ini? Kenapa sesuatu itu terasa begitu tepat menyesakkan dadaku, membuat hati terasa nyeri tak tertahankan.

"Hai," sapanya ringan. Aku menoleh sekilas, lantas menghadiahinya dengan senyuman canggung. "Tumben datang pagi," lanjutnya berbasa-basi.

"Oh, iya. Capek harus mengisi buku poin setiap hari." Aku berusaha tertawa meskipun hambar. Ia berusaha menghargai dengan menampilkan deretan giginya. "Aku ke kelas dulu, ya."

Aku kemudian berlalu tanpa menoleh ke arah sosok itu lagi. Oh, Tuhan! Perasaan apa ini? Mengapa semuanya tidak seindah yang diucapkan orang-orang? Siapa pula yang telah menciptakan teori-teori indah akan perasaan itu? Omong kosong! Bagiku cinta tidak membuat bahagia, namun membuat gila. Bagaimana mungkin kita bisa merasakan senang dan sesak dalam waktu yang bersamaan? Bagaimana mungkin kita bisa dibawa melambung tinggi hanya untuk dijatuhkan kembali?

***


Tahu Diri [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang