Tujuh

2.5K 148 10
                                    

Beberapa kali aku mengerjapkan mata dan melihat ke arah jam dinding di depan tempat tidurku lantas beralih ke kalender di sampingnya. Hari ini tepat untukku mempersiapkan diri menyambut semester baru yang bertepatan dengan hari baru, bulan baru, tahun baru, dan semangat baru tentunya.

Dengan sigap kuambil barang-barang yang telah dimuseumkan dua minggu lamanya. Entah itu seragam, peralatan sekolah atau perlengkapan lain. Melihat itu semua membuat otakku kembali memutar memori selama enam bulan belakangan. Mengingat segala kejadian, pengalaman, dan juga kenangan.

***

Aku berjalan sendirian menyusuri koridor kelas sepagi ini, menapaki ubin yang masih bersih dalam keheningan yang tak biasanya kujumpai. Ya, mungkin dapat disimpulkan bahwa aku berangkat terlalu pagi. Kurasa ini efek dari terlalu bersemangatnya aku menyambut hari baru. Ehm, lebih tepatnya berusaha menyemangati diri sendiri.

Ruang kelas yang kulewati masih sepi, hanya ada beberapa siswi yang sibuk dengan tugas piketnya. Sementara aku, masih berjalan santai dengan segala pemikiran yang berkecamuk dalam otakku.

Hingga sesuatu itu hadir lagi, sesuatu yang dibawa oleh seseorang yang baru saja melintas tepat di sampingku. Ah, apa lagi ini? Kenapa sesuatu itu terasa begitu tepat menyesakkan dadaku, membuat hati terasa nyeri tak tertahankan.

"Hai," sapanya ringan. Aku menoleh sekilas, lantas menghadiahinya dengan senyuman canggung. "Tumben datang pagi," lanjutnya berbasa-basi.

"Oh, iya. Capek harus mengisi buku poin setiap hari." Aku berusaha tertawa meskipun hambar. Ia berusaha menghargai dengan menampilkan deretan giginya. "Aku ke kelas dulu, ya."

Aku kemudian berlalu tanpa menoleh ke arah sosok itu lagi. Oh, Tuhan! Perasaan apa ini? Mengapa seperih ini?

Seketika benteng-benteng semangat yang telah kubangun dengan susah payah hancur secara perlahan.

Karena kamu tahu, hal paling menyesakkan itu ketika harus melupakan ketika kamu belum sempurna mengukir ingatan.

***

"Tadi lo papasan sama Dirga, ya?" Indy mulai mengintrogasi beberapa detik setelah aku sempurna menghempaskan diri di tempat duduk. Aku hanya mengangguk kecil dan membenahi letak tasku, tidak terlalu menghiraukan.

"Gimana sikapnya? Dia nyapa lo nggak? Atau pura-pura nggak kenal?" Indy masih melanjutkan introgasinya. Dalam hati aku menyumpahi segala bentuk kekepoan Indy terhadap semua orang.

"Bisa nggak sih lo nggak usah peduliin Dirga? Hari ini gue bahkan males denger namanya dan nggak mau lagi ngebebanin otak gue untuk sesuatu yang nggak penting." Aku berdecak kesal dan sedikit melirik Indy yang masih sibuk dengan handphonenya. Kurasa dia sedang ngestalk instagram Kak Elsa untuk tahu semua trend fashion yang dikenakannya akhir-akhir ini.

"Kali aja dia jadi pura-pura cuek dan nggak kenal sama lo setelah jadian sama Anggia."

"Enggak kok, biasa aja. Tadi dia nyapa gue seperti biasa. Dan emang seharusnya biasa-biasa aja—" Tunggu dulu. Tadi aku bilang apa? Otakku dengan sigap kembali mengulang memori saat berpapasan dengan Dirga di koridor sekolah. Dan kata-kata itu terngiang begitu saja. 'Aku ke kelas dulu, ya'

Sejak kapan aku menggunakan sapaan aku-kamu di depan Dirga. Oh Tuhan, kenapa rasanya jadi canggung seperti ini. Ini aku yang berlebihan atau apa? Dengan bodohnya mempermasalahkan segala hal kecil yang salah-salah bisa mengganggu pikiranku seharian.

Dan kurasa ini akan menjadi pembuka hari yang buruk.

***

Kali ini semua anggota redaksi dan jurnalistik sedang berkumpul untuk rapat dalam rangja merencanakan program kerja yang akan dilakukan enam bulan mendatang.

Aku hanya mendengarkan tanpa berusaha memusatkan perhatian pada pembicara di depan. Sesekali aku mengedarkan pandangan ke sekeliling dan mendapati wajah-wajah serius sedang memperhatikan Dirga yang masih memaparkan rencana dan agenda yang dibuatnya.

"Rencana gue, majalah kita bakal ditambah satu rubrik baru. Menurut kalian gimana?" Dirga mengedarkan pandangannya. Seketika ruangan yang tadinya hening berubah agak riuh dengan bisik-bisik anggota lain yang terdengar jelas. Entah mereka setuju atau tidak dengan rencana Dirga.

Sebenarnya aku baru mendengar rencananya kali ini, karena Dirga belum pernah memberitahuku. Memang akhir-akhir ini aku harus pintar-pintar membagi waktu untuk ekskul dan pelajaran di sekolah. Itu semua sudah kuutarakan pada Dirga dan kurasa ia mengerti. Aku bahkan pernah mengutarakan maksud untuk mengundurkan diri sebagai sekretaris karena takut tidak dapat memegang tanggung jawab. Tapi Dirga menolak dan memintaku untuk tetap pada jabatan semula meski nanti akan dibantu oleh anak-anak lainnya.

"Menurut lo gimana, Ra? Setuju nggak?"

Semua mata tertuju padaku. Ya, siapa lagi yang Ara oleh Dirga selain diriku di ruangan ini. Dan siapa lagi yang memanggilku Ara di sekolah selain Dirga. Kurasa semua orang tahu itu.

"Menurut gue sih idenya bagus. Soalnya dengan adanya rubrik baru, pasti bisa bikin majalah kita jadi lebih menarik dan pastinya bisa meningkatkan kreativitas kita di sini." Aku berusaha mengutarakan maksud serapi mungkin agar bisa diterima dengan jelas. "Tapi gue takutnya, rubrik baru ini malah membebani kita semua. Majalah kita pasti bakal nambah lebih banyak halaman dari sebelumnya, belum lagi redaktur diminta untuk menciptakan ide-ide baru lagi. Soalnya kita lihat sendiri, biasanya kita memulai percetakan selalu mepet deadline, bahkan beberapa kali harus telat diterbitin karena banyak kendala. Jadi gue takutnya rencana ini nggak berjalan sesuai harapan."

Beberapa anggota terlihat mengangguk setuju termasuk Indy.

"Kalau masalah itu tenang aja, nggak usah khawatir." Dirga menanggapi dengan ringan. "Karena gue rencananya bakal ngerekrut anggota baru, dan gue yakin dia bisa ngehandle semuanya. Soalnya rubrik baru kita kan berhubungan dengan seni dan dia memang mendalami bidang itu."

Anak-anak lain menganggapi dengan tatapan bertanya. Dirga tersenyum tipis seolah tahu arti dari tatapan mereka.

"Anggia Dwi Marantika, anak XI IPS 2."

***

Tahu Diri [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang