You pull my strings and push my soul
You fool my heart with every note
You drop a beat and kiss my face
You make me move then cut the base
And you work so hard to get me just to let me go
Yeah, you put me in the spotlight just to steal the show
...
Without the Love-nya Demi Lovato mengalun pelan dari playlist handphoneku. Aku memejamkan mata. Meresapi bait demi bait lagu yang telah kuputar lebih dari lima kali selama satu jam terakhir.
Oh Tuhan, apa yang terjadi dengan pikiranku saat ini?
Aku tahu, selama ini aku selalu menentang perasaanku sendiri. Selalu berusaha menjauhkan diri dari hal-hal yang akan membawaku terjerat dengan kemelut persoalan hati.
Aku tahu, selama ini aku selalu takut mengalami kekecewaan. Aku tak berani berharap karena takut kecewa. Aku tak berani mengakui rasa karena tak siap akan perihnya terluka.
Aku tahu, selama ini aku selalu membohongi diri sendiri. Selalu bersikap seolah semuanya biasa saja. Selalu bersikap seolah aku tak merasakan apa-apa.
Dan sekarang, tolong izinkan aku untuk jujur pada diriku sendiri.
Aku cinta kamu, Dirga.
***
"Dinara, lo nggak apa-apa?"
Apa lagi ini? Kenapa di saat-saat seperti ini tiba-tiba suara Indy terngiang di telingaku.
Kutelungkupkan wajah di kasur dengan bantal yang menutupi telinga. Kutepis jauh-jauh segala kemungkinan halusinasi yang tidak seharusnya datang saat ini.
"Dinara, lo kenapa?"
Suara itu lagi? Aku sontak duduk saat mendengar suara itu begitu jelas. Ternyata aku tidak sedang berhalusinasi.
"Indy, sejak kapan lo berdiri di situ?"
Gadis dengan rambut sebahu ini menatapku kebingungan. Ia hari ini terlihat cantik dengan dress sifon selutut berwarna pastel. Sangat pas dengan tubuh mungilnya.
"Sejak lo ngelamun di atas kasur. Terus tiba-tiba tengkurep sambil nutup telinga pake bantal waktu gue dateng," jawabnya setengah kesal. "Lo kenapa, sih?"
Aku menatap nanar ke arahnya. Kali ini benar-benar tak bisa menyembunyikan gejolak perasaanku di depan Indy.
"Lo udah baca pesan gue kemaren sore?"
Kuanggukkan kepalaku lemah. Kembali menatapnya yang masih berdiri di depanku sambil mengerjapkan mata meminta jawaban.
"Lo nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa, Indy. Emangnya kenapa?" tanyaku sambil memaksa seulas senyum. Mungkin kali ini aku terlihat begitu bodoh di depan Indy.
"Lo nggak usah bohong sama gue, Din. Lo nggak pernah sekacau ini sebelumnya. Kalau ada masalah, dibagi sama gue. Gue bakal dengerin." Kini Indy sudah duduk tepat di hadapanku. Jemari tangannya menggenggam erat tanganku, memberi kekuatan.
"Tentang Dirga, ya?"
Telak. Aku sempurna tak bisa berbohong lagi kali ini. Tebakan Indy tepat sasaran. Dan nama itu... nama itu terdengar begitu menusuk di hatiku.
Aku segera memeluk Indy. Membiarkan diriku begitu bodohnya menangisi hal-hal yang selama ini begitu kuhindari.
"Kenapa gue bodoh banget ya, Dy?"
Indy menggeleng lemah. "Siapa yang bodoh sih, Din? Lo itu orang paling pinter yang pernah gue kenal. Buktinya dari kelas satu lo jadi orang nomer satu di sekolah. Mungkin kemaren aja, keberuntungan lagi berpihak ke orang lain."
"Gue tetep aja bodoh, Dy. Bisa-bisanya gue percaya gitu aja sama cowok. Padahal selama ini gue berusaha nggak peduli. Tapi di saat gue berusaha ngebuka hati, gue ngerasain pahitnya kecewa. Bodoh banget kan gue?" ucapku seraya memainkan ujung bantal.
Indy kali ini menatapku lekat. Kedua tangannya ia tangkupkan di wajahku, memaksaku untuk melihat matanya.
"Jadi lo beneran suka sama Dirga?"
Aku hanya menatapnya dengan pandangan kosong. Pertanyaan macam apa yang dilontarkannya itu?
"Oke... oke. Sorry kalau pertanyaan gue aneh. Tapi selama ini gue kira lo selalu biasa-biasa aja sama Dirga. Buktinya setiap gue godain, lo selalu nggak suka. Lo selalu bilang kalau Dirga emang wajar kayak gitu, Dirga emang orangnya gi—"
"Iya, gue awalnya emang berpikir kayak gitu." Aku memotong ucapan Indy sebelum ia menyelesaikannya. "Awalnya gue juga biasa aja. Tapi lama-lama gue membenarkan ucapan lo. Gue menghubungkan semua kejadian untuk membenarkan hati gue berharap. Gue mengaitkan semua kemungkinan biar asumsi gue bener.
"Tapi ternyata gue salah. Ternyata dugaan awal gue yang lebih tepat." Aku berusaha tertawa kecil, menertawai kebodohanku sendiri. "Seharusnya dari awal gue udah tahu diri, Dy. Siapa sih gue? Bisa-bisanya menaruh harapan sama Dirga. Dirga itu dikenal semua orang, dipuja semua orang, disukai semua cewek. Sedangkan gue? Gue cuma cewek nggak tahu diri yang beruntung bisa deket sama dia." Aku kembali memaksakan tawa, meskipun hambar.
"Siapa yang bilang gitu sih, Din? Coba lihat gue—" Indy lagi-lagi menangkupkan tangannya di wajahku. "Yang harusnya tahu diri itu Dirga. Coba lo lihat cewek di depan gue sekarang. Dia ini cewek cantik yang paling pinter di sekolah. Dia ini cewek baik yang punya banyak keahlian. Dia ini cewek yang selalu jadi inceran semua cowok, tapi sayangnya dia cuek. Dirga aja yang beruntung bisa punya kesempatan untuk deket sama dia." Indy menyentil hidungku, lantas tertawa.
Aku hanya tersenyum menanggapi tingkahnya.
"Dan sebenernya yang bodoh itu Dirga. Karena dia udah nyia-nyiain cewek paling sempurna yang pernah gue kenal."
"Ya—ya. Lo sukses ngebuat gue seneng, Dy. Bahkan lo sukses ngebuat gue terbang sekarang," ujarku yang disambut tawa oleh Indy.
Kini aku membuang pandangan ke jendela.
Lo nggak selamanya bener, Dy. Karena pada akhirnya, gue cuma orang nggak tahu diri yang menaruh harapan pada seorang pangeran—dan gue kecewa.
Why are you singing me love songs?
What good is a love song?
What good is a love song without the love?
[Without The Love—Demi Lovato]
AN : Adaa Indy di mulmed
KAMU SEDANG MEMBACA
Tahu Diri [End]
أدب المراهقينCinta itu tidak selamanya harus diucapkan, bukan? Karena terkadang, semakin sering diutarakan perasaan itu akan semakin hambar.