Empat

2.3K 166 15
                                    

"Ciee, yang kemaren dianter pulang. Gimana ceritanya?"

Belum sempat aku meletakkan tas, Indy sudah menggoda dan menodongku dengan pertanyaan tidak penting.

"Orang nanya itu dijawab loh, Din. Lo kenapa? Muka lo kusut gitu."

"Papa," ujarku lesu . Aku lantas berpura-pura menyibukkan diri dengan ponsel, malas menanggapi Indy yang pasti akan bertanya banyak hal.

"Papa lo kenapa?" Indy sedikit berteriak dan membuatku cepat-cepat membekap mulutnya.

"Apaan, sih! Lebay banget."

"Lagian lo ngomongnya nggak selesai gitu. Emang papa lo kenapa?"

Aku memutar bola mata enggan. "Papa marah," jawabku pelan, terkesan tanpa ekspresi.

"Ha? Maksudnya?"

"Iya, jadi papa kemaren liat gua pulang bareng Dirga. Terus papa marah dan papa jadi tau kalau selama ini gue seringpulang sore untuk urusan ekskul dan redaksi."

"Emang selama ini lo izinnya ke mana kalau pulang sore?"

"Gue bilang ada bimbel, jam tambahan, kerja kelompok, atau apalah."

"Jadi selama ini lo ngebohongin orang tua lo?" Indy membulatkan matanya tak percaya.

"Ya mau gimana lagi, Dy. Lo tau kan papa gue gimana, pasti nggak diizinin kalau gue mau ikut ekskul atau kegiatan lain di luar sekolah."

"Intinya papa lo marah karena Dirga atau karena kegiatan itu?"

"Dua-duanya, Indy!" geramku kesal. "Papa nggak ngizinin gue untuk ikut-ikut kegiatan, di sisi lain dia nggak mau gue deket sama cowok. Tujuannya ya sama, biar sekolah gue nggak keganggu. Dan ujung-ujungnya gue harus ngikutin jejak orang tua gue, jadi dokter dan ngejalanin rumah sakit milik papa."

Indy terdiam, tampak prihatin dengan keadaanku.

"Tapi kan lo punya pilihan, Din. Nggak selamanya lo harus ngikutin perintah orang tua lo. Kan percuma kalau lo ngejalaninnya dengan terpaksa."

"Papa orangnya keras, Dy. Gue nggak mungin ngebantah atau ngelawan. Gue juga mau ngebahagiain orang tua gue, seenggaknya ngebuat orang tua gue bangga."

"Jadi gimana? Lo mau ninggalin ekskul itu? Inget, Din, lo masih punya tanggung jawab. Lagian tinggal setengah tahun lagi, tanggung kalo mau lo lepas gitu aja. Gue saranin nih ya. Lo tunjukin kalau lo bisa ngimbangin kegiatan di sekolah sama ekskul, pasti orang tua lo bakal ngizinin."

"Entahlah, nanti gue pikirin lagi," jawabku enggan. Aku menumpukan dagu di atas meja sambil memainkan pulpen.

"Eh, tapi lo nggak akan ngejauhin Dirga, kan?"

Kali ini aku mendelikkan mata, kesal.

***

Suasana di sekolah pagi ini ramai. Beberapa siswa dan siswi memilih berjalan-jalan di koridor sembari menunggu waktu upacara untuk membuka acara pembagian raport.

Ya, hari ini tepatnya akhir pembelajaran untuk semester satu. Dan hari ini waktu pembagian catatan belajar kami selama satu semester ini.

Aku sedang berjalan sendiri, mengedarkan pandangan untuk mencari Indy di antara kerumunan siswa.

"Ara!"

Ah, aku hapal suara itu. Benar kata Indy, siapa lagi yang akan memanggilku Ara di sekolah kecuali Dirga.

"Iya, Ga. Ada apa?"

"Nanti selesai bagi raport ada kumpul-kumpul sama anak-anak jurnalistik. Mau ikut nggak?"

Ekstrakurikuler jurnalistik. Ya, aku sampai saat ini masih mengikuti ekstrakurikuler itu dan berusaha mengimbangi dengan kegiatan sekolah, meski sulit.

"Emm... kayaknya nggak bisa, deh. Ada acara di rumah," alibiku.

Entah ini sudah alasan keberapa yang aku lontarkan selama beberapa minggu terakhir. Sebenarnya aku hari ini tidak ada acara, sempurna menghabiskan hariku di .rumah dengan penuh kebosanan, barangkali. Namun aku tidak ingin membuat papa marah untuk yang kedua kalinya. Karena aku tetap mengikuti kegiatan ini tanpa sepengetahuan papa. Selalu memaksakan diri untuk tidak pulang telat, bahkan kalau bisa mengerjakan uruan ekskul pada jam istirahat atau jam pelajaran, meski aku tahu resikonya.

"Yaudah, deh. Sukses ya acaranya. Lain kali kalau bisa diusahakan ikut." Dirga menepuk puncak kepalaku pelan, lantas berbelok dan berlari kecil menuju kerumunan teman-temannya.

Dan satu lagi, aku mengikuti perkataan Indy untuk tidak menjauhi Dirga. Karena sampai saat ini, aku masih bersikap seperti biasa dengannya. Berusaha menjadi teman dan partner  yang baik. Hanya itukah? Mungkin...

***

Kepala sekolah selesai memberikan sambutan. Aku memperhatikan pemberitahuan selanjutnya dengan saksama.

Setelah ini biasanya diadakan pengumuman untuk siswa berprestasi dan peraih juara umum. Dan biasanya pula namaku akan dipanggil di antara mereka.

Aku mulai memejamkan mata. Harap-harap cemas ketika giliran peraih juara untuk kelas sebelas mulai dibacakan. Sesekali aku melirik Indy yang berusaha tersenyum meyakinkanku.

Namun ternyata semua diluar dugaan. Tak ada satu pun namaku disebut dalam peraih tiga besar juara umum. Padahal tahun kemarin, namaku ada pada urutan paling atas. Lagi-lagi aku melirik Indy yang memaksakan senyuman getir. Aku seolah bisa membaca raut wajahnya. Tenang, Dinara. Masih banyak cara untuk meyakinkan orang tuamu.

Seketika aku menghela napas panjang. Sejak dulu aku sudah tahu konsekuensinya, aku sudah tahu resikonya.

***



Tahu Diri [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang