"Ini hasil kegiatan itu, Ara?"
Papa sudah berdiri di ruang tengah, melempar raportku di meja tepat di depan tempatku duduk.
"Ini hasil dari kegiatan yang katamu akan kamu tinggalkan?"
Kali ini Papa meletakkan tangannya di pinggang lantas mengusap wajahnya kasar.
"Pa... Itu bukan--"
"Bukan apa? Kamu mau beralasan apa lagi? Kamu mau bilang kalau kegiatan itu penting? Sepenting itukah sampai kamu meninggalkan pelajaran sekolah?"
Aku menghela napas pelan. Hanya bisa menunduk mendapati mata papa yang sudah membulat dan menatapku tajam.
"Pa... ini tentang impian Ara. Ini tentang keinginan-keinginan besar Ara." Aku menunduk, menghela napas panjang dan berusaha melanjutkan ucapan meski tercekat, "kalau seandainya Papa tau, selama ini Ara menjalankan semua ini tanpa adanya kemauan, bahkan bisa dibilang terpaksa. Semua untuk Papa, untuk Mama. Tapi saat ini Ara capek, Pa. Ara capek harus menjalankan sesuatu bukan berdasarkan keinginan Ara sendiri. Ara selalu merasa terkekang. Harus ini, harus itu, tidak boleh ini, tidak boleh itu..."
Aku menelan ludah, pahit.
Tak terasa buliran bening perlahan menetes di sudut mataku. Dada ini terasa sesak untuk meluapkan semuanya. Semua ini terasa bertumpuk-tumpuk dan berlomba untuk dihamburkan keluar.
"Ara selalu iri dengan teman-teman yang selalu punya pilihan, selalu punya pengharapan. Sedangkan Ara, hanya berkutat dengan rutinitas-rutinitas yang Ara sendiri sudah dapat menebak akhirnya."
Aku tak dapat menahan lagi luapan emosi yang menguasai diriku. Semua emosi itu tumpah menjadi deru tangisan yang menyesakkan.
Perlahan kulirik mama yang hanya terdiam dengan sorot pengertian. Aku tahu mama mengerti. Aku tahu mama dapat merasakan apa yang kurasa. Tapi kini mama hanya bisa terdiam di samping papa, menatap sosok tegas yang tengah menatapku dengan wajah merah padam.
"Tahu apa kamu soal pilihan? Kamu hanya anak kecil yang bahkan tidak mengerti apa arti pilihan hidup, Ara. Kehidupan ini keras, dan kehidupan tidak akan bertoleransi soal pilihan!"
Aku kian menunduk dalam.
Seketika aku berhambur ke kamar. Meninggalkan papa yang masih mengeraskan rahangnya.
"Ara, Papa belum selesai bicara!"
Kupercepat langkah dan segera menutup pintu kamar dengan keras. Aku melemparkan tubuh di atas kasur dan menenggelamkan wajah di bantal. Meluapkan semuanya di sana.
Papa benar. Aku tidak pernah mengerti tentang pilihan. Dan papa tidak akan pernah mengajarkanku untuk mengerti.
***
Ponsel--yang kuletakkan di atas meja tepat di samping tempat tidur--bergetar. Aku segera meraihnya. Menghapus sisa-sisa air mata yang masih menempel di pipi.
Terlihat nama Dirga terpampang di notifikasi. Segera kubuka pesan singkat yang baru saja ia kirimkan.
Ra, lagi apa? Sayang banget tadi nggak ikut. Seru lho acaranya:D
Aku mengetik balasan dengan enggan. Kemudian ponsel itu kulemparkan asal di tempat tidur.
Aku bakal lebih nyesel kalau tadi ikut
Kenapa?
Gpp.
Kok gitu sih balesnya singkat banget
Aku hanya melirik sekilas ponsel di samping kananku. Sama sekali tidak berniat membalasnya.
Nggak dibales, Ra?
Ra, ada masalah?
Kurasakan ponselku berkali-kali bergetar. Kini aku dengan cepat meraihnya dan membuka pesan dari Dirga.
Nggak apa-apa, Dirga.
Kalau ada masalah, cerita.
Nggak. Makasih.
Kali ini aku benar-benar mematikan ponsel lantas menjauhkannya. Kubenamkan kepalaku di bantal hingga rasa kantuk menyergapku.
***
"Ara, buka pintunya, Sayang."
Aku tak bergeming. Tak memperdulikan suara mama yang sudah beberapa kali terdengar di depan pintu kamarku seharian ini.
Ya, seharian ini aku mengurung diri di kamar. Sama sekali tidak berniat keluar. Bahkan tidak mempedulikan perutku yang sudah berkali-kali memberontak dan berteriak.
"Ara, kamu harus makan." Suara mama lagi-lagi terdengar dari depan pintu.
"Ara nggak laper, Ma." Kali ini aku meringis. Bisa-bisanya aku membohongi dan memaksakan diri seperti ini.
"Ara, Papa udah nggak marah lagi. Ayo keluar. Hari ini Papa nggak ada di rumah." Ternyata mama tidak menyerah. Tapi rupanya pertahananku goyah demi mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan mama. Aku perlahan beranjak dari tempat tidur dan memutar kunci yang masih bergelayut indah di pintu kamarku.
"Anak Mama jelek banget. Lihat, rambutnya acak-acakan, matanya sembab, belum lagi hidungnya merah kayak gini," ujar mama ketika mendapatiku keluar dari kamar. Aku bersungut-sungut dan beranjak menuju dapur.
"Makanannya udah Mama siapin di meja makan." Mama mengikutiku dari belakang. Memperhatikan tingkahku yang asal membuka kulkas.
"Ma, Papa ke mana?"
"Papa ke rumah sakit. Banyak yang harus diurus di sana."
Mendengar kata rumah sakit lagi-lagi aku terdiam, kilasan kejadian kemarin masih berputar jelas dalam memori otakku.
"Jangan ngelamun, Sayang. Ayo makan," ujar Mama yang kini sudah duduk di depanku.
Aku mengangguk pelan lantas melahap makanan yang sudah disediakan mama. Setidaknya moodku akan lebih baik setelah ini
Setelah selesai, aku segera melangkah ke kamar. Meraih handphone lantas merebahkan tubuhku di kasur.
Terlihat lima panggilan tak terjawab yang semuanya berasal dari... Indy. Ada apa dia meneleponku?
Dengan cepat kubuka pesan, karena sudah tertera satu pesan di sana.
Dinara, lo udah tau kalau Dirga jadian sama Anggia anak XI IPS 2?
Deg.
Apa lagi ini?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tahu Diri [End]
Fiksi RemajaCinta itu tidak selamanya harus diucapkan, bukan? Karena terkadang, semakin sering diutarakan perasaan itu akan semakin hambar.