Hingar bingar mulai terdengar di auditorium utama tempat promnight tahun ini dilaksanakan. Mataku menyusuri satu persatu meja yang hampir sebagian sudah terisi. Pembukaan acara dua puluh menit lagi dimulai, namun aku belum menemukan sosoknya di sana.
Perlahan aku menghampiri Indy yang tengah asik berbincang dengan Alya, tampaknya tak menyadari kedatanganku. Ia terlihat cantik malam ini, sangat cantik. Dengan gaun hijau tosca selutut yang berhiaskan aksesoris di pinggangnya. Make up tipis yang ia poleskan tampak mempercantik wajah putihnya.
"Hey, Din. Baru dateng?" sapanya ketika ia menoleh dan mendapatiku yang beberapa langkah lagi tiba di depan tempatnya berdiri, gelas minuman yang sedari tadi ia pegang diletakkan dengan hati-hati di meja depannya, lantas menghampiriku.
"Tadi ada pesen dari Dirga, nanti jangan pulang dulu. Ditunggu di taman depan kalau acaranya udah selesai."
Aku sedikit mengernyit dan berusaha tidak menghiraukan ucapannya, mungkin ia sedang bercanda.
"Gue serius, tadi Dirga bilang ke gue. Dia nggak dateng sama Anggia, kok."
"Gue dari tadi belum liat dia, Dy," balasku seraya mengambil satu gelas minuman di tengah meja.
"Tadi dia ke belakang panggung sebelum lo dateng, entah mau ngapain."
Lagi-lagi aku tak menghiraukan lantas menyapa beberapa teman yang baru saja tiba.
Waktu tiga jam ternyata terlalu cepat berlalu. Riuh tepukan undangan kembali bergemuruh ketika pembawa acara memberitahukan penampilan terakhir yang akan dibawakan oleh salah satu siswa kelas duabelas sekaligus menutup acara malam ini.
Semua mata tertuju pada seseorang dengan tuksedo hitam yang keluar dari belakang panggung, lantas duduk pada kursi yang telah disiapkan sambil menenteng gitar accousticnya. Aku hapal betul sosoknya, gayanya, suaranya, semua masih sama.
Ia berdeham kecil, dengan gaya yang sok cool membetulkan posisi mic, lantas memulai penampilannya—dengan sebuah lagu yang entah kenapa tak mampu membuatku berpaling.
Mungkin ini memang jalan takdirku
Mengagumi tanpa dicintai
Tak mengapa bagiku
Asal kau pun bahagia dalam hidupmu
dalam hidupmu
Satu detik. Aku merasa dunia seolah berhenti berputar ketika ia mengedarkan pandangan dan berhenti tepat padaku. Tepat menatap manik mata dalam waktu yang tak sebentar.
Telah lama kupendam perasaan itu
Menunggu hatimu menyambut diriku
Tak mengapa bagiku
Mencintaimu pun adalah bahagia untukku
bahagia untukku
Ku ingin kau tahu
Diriku di sini menanti dirimu
Meski kutunggu hingga ujung waktuku
Dan berharap rasa ini kan abadi untuk selamanya
Entah kenapa jantungku seolah ingin keluar dari tempatnya. Karena dia masih disana, dengan posisi dan tatapan yang sama. Tatapan yang semakin membuatku ingin keluar dari ruangan ini sekarang juga.
Aku tak dapat membuat diriku berpikir logis lagi. Aku tak ingin berpikir gila lebih dari ini, setelah sekian lama usahaku hampir berhasil untuk melupakannya. Tuhan tolong, aku tak ingin membuat diri ini dilambungkan oleh harapan semu untuk yang kesekian kalinya.
Dan izinkan aku
Memeluk dirimu kali ini saja
Tuk ucapkan selamat tinggal untuk selamanya
Dan biarkan rasa ini bahagia untuk sekejap saja
Aku berbalik, dan berhasil melangkahkan kaki dari pintu utama tepat ketika ia menyelesaikan kalimat terakhir dari lagu yang dibawakannya.
***
"Maaf, Ara."
Air mata pertama yang telah kutahan selama lebih dari satu tahun akhirnya jatuh juga. Kali ini aku tak dapat menahannya lagi, membiarkan ia mengalir apa adanya. Menghilangkan perih yang selama ini membelenggu.
Sudah sepuluh menit kami bertahan dalam posisi seperti ini, dengan aku yang membelakangi Dirga—dalam diam. Hingga ia memulai dengan dua kata yang tak mampu membuatku menahan satu tetes airmata yang luruh.
"Aku memang pengecut, dan dengan bodohnya aku tanpa sadar udah nyakitin hati orang lain. Maaf."
"Kamu nggak perlu minta maaf." Kali ini aku berbalik dan memaksakan seulas senyum. "Nggak ada yang perlu meminta maaf atau dimaafkan dalam hal ini. Nggak ada yang salah."
"Apa kamu masih nggak mau nyalahin aku ketika aku udah mutusin Anggia? Setelah satu tahun lebih aku ngebuatnya terbelenggu dengan harapan semu?"
Kali ini aku mendongak, menghapus satu tetes lagi air mata yang jatuh.
"Aku selama ini nggak pernah punya perasaan apa-apa sama Anggia. Aku jadian sama dia karena berharap bisa ngelupain kamu, karena aku udah nyerah dan ngerasa kamu nggak mungkin bisa digapai." Kali ini ia yang berbalik dan melangkah beberapa langkah, lantas berhenti. "Tapi ternyata aku salah. Sampai saat ini, nggak ada satu hari pun bayanganmu nggak melintas di otakku," lanjutnya sambil tertawa kecil.
Aku masih belum bisa mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Jadi kamu putus sama Anggia?"
"Ya, dua minggu yang lalu. Aku nggak bisa terus-terusan nyakitin orang lagi, Ara. Dan bersikap seolah nggak terjadi apa-apa."
Aku masih bergeming, membiarkan rambutku sedikit tertiup angin malam.
"Malam ini, untuk pertama dan terakhir. Tolong izinin aku nyatain perasaan ini. Tolong biarin aku terbebas dari sikap pengecutku selama tiga tahun ini. Aku udah kagum sama kamu sejak pertama kali ketemu. Konyol ya? Tapi ini kenyataannya. Dan hingga saat ini perasaan itu semakin bertambah. Aku nggak bisa memungkiri kalau aku sayang sama kamu. Tapi aku nggak menuntut apa-apa kok, aku cuma mencoba jujur sama perasaan sendiri. Toh aku tetep bukan siapa-siapa bagi kamu, kan? Aku tau, kok."
"Kalau aku boleh jujur, aku juga punya perasaan yang sama ... sejak dua tahun yang lalu."
Dirga seketika menatapku, berusaha mencari kebenaran dari pancaran yang ku berikan. Namun aku pasti tahu, tak ada kebohongan di sana.
"Lucu, ya. Selama ini kita nggak mau jujur sama perasaan masing-masing. Entah terlalu gengsi, terlalu mentingin ego, atau apapun itu. Sampai banyak yang tersakiti kayak gini." Aku melangkah dan duduk di salah satu bangku taman.
Dirga mengikuti dan duduk tepat di sampingku. "Jadi ... kamu? Kenapa kamu bisa nyimpen perasaan serapi itu? Kenapa kamu ngebiarin diri kamu tersakiti kayak gitu?"
"Aku terlalu takut, Ga. Terlalu takut berharap sampai akhirnya kecewa. Karena aku ngerasa nggak pantes buat kamu. Kamu itu dikenal banyak orang, banyak yang suka, sedangkan aku apa?"
"Hei." Dirga menangkupkan kedua tangannya di wajahku. "Harusnya aku yang ngerasa kayak gitu. Kamu itu cewek paling sempurna yang aku kenal dan aku cukup tahu diri untuk suka sama kamu."
"Tapi kamu udah punya Anggia."
"Aku udah putus sama Anggia."
"Aku mohon kembali lagi sama Anggia, lupain aku, dan buat dia bahagia." Aku mengalihkan tangannya dari wajahku. "Dua hari lagi aku berangkat ke Jerman. Aku bakal bahagia kalau kamu bisa ngelepasin aku dan kembali ke Anggia."
Perlahan aku beranjak dengan langkah gontai, berjalan untuk mencari taksi dan cepat kembali ke rumah. Namun langkahku terhenti ketika seseorang menggenggam tanganku lantas menarikku dalam dekapannya. "Terserah kalau itu maumu. Tapi asal kamu tahu, aku nggak akan pernah bisa lupa meskipun kamu udah pergi sejauh apa pun itu. Hati-hati dan jaga diri di sana."
Kini aku sempurna tak dapat membendung tangisanku sendiri. Membiarkan airmataku membasahi tuksedo hitamnya. Membiarkan diriku terisak dalam dekapannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tahu Diri [End]
Novela JuvenilCinta itu tidak selamanya harus diucapkan, bukan? Karena terkadang, semakin sering diutarakan perasaan itu akan semakin hambar.