"Din, lo udah jadian, ya, sama Dirga?"
Indy sudah memutar kursinya menghadap ke arahku. Membuatku sontak menoleh, mengabaikan novel yang sedang asyik kubaca.
"Ih, kata siapa?"
"Gue nanya ini. Beneran?" tanyanya antusias.
"Enggak, lah, Indy. Nggak usah ngarang-ngarang cerita, deh." Aku kembali sibuk dengan novel di hadapanku. Anak-anak lain baru saja keluar karena ini waktu istirahat. Sementara aku lebih memilih menyibukkan diri membaca novel dengan Indy yang terus mengganggu.
Indy yang terlihat kesal kemudian menarik novel dari tanganku, lantas menyimpannya di laci meja. Ia memaksaku memutar bahu, berbalik menghadapnya.
"Coba dengerin gue dulu! Gue nanya serius. Lo pacaran sama Dirga?" Lagi-lagi ia mengulang pertanyaan yang sama.
"Kan udah gue jawab tadi. Siapa juga yang pacaran?"
"Tapi lo sama Dirga akhir-akhir ini deket banget, Din. Inget kemaren yang di ruang redaksi? Lo berduaan sama dia pagi-pagi, terus dia perhatian banget sama lo, ngiketin rambut lo, selalu de--"
"Indy, lo tau Dirga, kan? Dia emang deket sama semua orang, ramah sama semua orang. Jadi wajarlah kayak gitu." Aku segera memotong ucapannya sebelum dia berbicara panjang lebar.
Indy membelalakkan kedua matanya lantas tiba-tiba menangkupkan kedua tangannya di wajahku. "Dinara, lo bilang itu wajar? Lo itu dibilang bego tapi selalu juara umum, dibilang pinter tapi kok kelewat polos kayak gini."
Aku berusaha melepaskan tangannya dari wajahku, risih.
"Lo nggak bisa ngebedain mana yang deket sama temen dan mana yang bukan? Gue aja selama ini udah bisa ngebedain tingkahnya. Masa lo nggak peka, sih?" Ia masih melanjutkan omelannya tadi. "Belum lagi dia manggil lo dengan panggilan spesial, beda dengan gue dan temen-temen yang lain waktu manggil lo."
Sontak aku terbahak akibat ucapannya. Dia bilang apa tadi? Panggilan spesial?
"Panggilan spesial apaan, sih, Dy? Lo lucu, deh lama-lama," balasku sambil berusaha menahan tawa.
"Dia itu selalu manggil lo Ara. Kan yang lainnya biasa manggil Dinara."
"Kayak gitu lo bilang spesial? Biasa aja kali, orang rumah juga biasa manggil gue gitu." Aku kali ini mengabaikannya yang mulai melanturkan kemungkinan-kemungkinan konyol itu. "Gue mau ke kantin."
"Eh, lo inget gimana dia jawab pertanyaan Ita kemaren? Dia mau jadi pacar lo, Din."
Aku menatapnya jengah. "Itu, kan cuma bercanda, Indy!!"
***
Sudah satu jam aku berkutat dengan materi Biologi, tapi tak satu pun ada yang diterima oleh otakku.
Aku mengacak-acak rambutku frustasi. Ada apa dengan diriku malam ini? Kenapa aku jadi memikirkan kata-kata Indy tadi?
Kucoba lagi memusatkan perhatian pada buku yang sejak tadi terbuka, menunggu untuk dibaca. Pelan-pelan aku mulai terbiasa dengan tulisan-tulisan panjang itu, bahasa ilmiah, teori-teori ilmuwan, tepat sebelum ponselku bergetar di atas tempat tidur. Ya, tepat sebelum itu.
Sebab kalian tahu sekarang? Pikiranku tiba-tiba berpindah ketika melihat notifikasi yang tertera di sana. Konsentrasiku seketika pecah ketika melihat nama itu, nama yang entah kenapa malam ini sangat ingin kulihat menghiasi layar handphone-ku, seperti biasa.
Hei, pikiran macam apa ini? Kenapa aku jadi berlebihan seperti ini? Menelan mentah-mentah ucapan seseorang yang belum jelas kepastiannya. Dan yang lebih parahnya lagi, aku membiarkan secercah harapan menyelinap rapi di dalam hati. Oh Tuhan, sejak kapan aku peduli soal hati?
Lagi-lagi aku mengacak rambutku frustasi.
***
Entah kenapa hari ini aku lebih semangat melangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah. Badan ini terasa lebih ringan untuk melangkah dan mulut ini terasa lebih mudah menyapa orang-orang yang berlalu-lalang.
Kuedarkan pandangan dan terhenti tepat pada sosok itu. Sosok bertubuh tinggi dengan sosrot mata tegas sedang berjalan ke arahku. Sambil sesekali menyapa orang-orang di sekitarnya.
Ia menatap lurus tepat di mataku, tersenyum. "Selamat pagi, Ara. Jangan lupa pulang sekolah kita harus ke SMA Taruna, nitipin majalah," ujarnya sambil terus berjalan melewatiku. Aku menoleh cepat. Ternyata ia sedang menuju ke arah teman-temannya di pos satpam.
Kubuang napas perlahan. Bahu yang tadi terangkat menyusut secara tiba-tiba.
Aku terus berjalan, memasuki pintu kelas dengan perasaan yang ... entahlah, sulit untuk didefinisikan.
Bahkan seharian ini aku benar-benar tidak fokus mengikuti jam pelajaran. Buku-buku di hadapanku memang berserakan seperti biasanya. Tapi pikiranku dibawa melayang entah kemana. Sibuk membuat pengharapan-pengharapan semu. Sibuk merangkai setiap kejadian sepele yang bahkan selama ini tidak aku pedulikan. Sibuk dengan pemikiran-pemikiran yang sejatinya mengganggu.
"Dinara!!" Kali ini aku tersentak. Menoleh ke asal suara yang kini telah meletakkan tangannya di pinggang, menatapku kesal.
"Itu Dirga, Elia, sama Maurer udah nungguin lo di luar."
"Ha? Udah lama?" tanyaku seraya sibuk mengemasi buku, menyimpannya di dalam tas.
"Iya udah lama, selama gue manggil-manggil lo tapi lo nya cuma duduk bengong."
Aku tidak menghiraukan lagi ucapan Indy. Bergegas ke luar kelas dengan sedikit berlari kecil. "Gue duluan, ya," ujarku sambil melambaikan tangan tanpa menoleh ke arahnya.
***
"Ke mana lagi, nih?"
"Udah semua kayaknya." Elia memeriksa buku catatannya, "nggak ada lagi, kok. Itu udah nggak ada sisa, kan?"
Aku menggeleng. Plastik tempat majalah tadi bahkan sudah kubuang di kotak sampah.
"Udah selesai, kan? Gue langsung pulang, ya?"
Belum sempurna aku berbalik, ujung rambutku terasa ditarik oleh seseorang. "Eh, mau ke mana?"
"Pulang."
"Mau pulang sama siapa?"
"Gue bisa naik taksi atau angkot," jawabku cepat.
"Nggak bisa... nggak bisa. Lo pulang bareng gue." Dirga sudah menarik tanganku lantas menyalakan motornya.
"Eh, nggak us--"
"Tadi lo berangkat bareng gue, jadi pulangnya juga harus sama gue." Ia menolehkan wajahnya yang sempurna tertutup helm. Tapi aku masih bisa melihat sorot mata itu.
Deg.
Jantungku tiba-tiba berpacu lebih cepat. Ada perasaan hangat yang seketika menjalar ke wajahku.
"Naik!"
Aku mengangguk mengikuti perintahnya. Lantas duduk di belakang Dirga sebelum ia benar-benar melihat wajahku yang memerah. Hei, ada apa denganku kali ini? Aku tiba-tiba merutuki kebodohanku sendiri.
Di sepanjang jalan, kami tetap mengobrol seperti biasa. Untungnya aku sudah bisa mengendalikan diri. Dan seperti biasa, terlihat sebal ketika dia tiba-tiba iseng menggodaku.
"Udah, di sini aja." Aku segera turun ketika sudah sampai di depan gerbang.
"Eh? Gue nggak di ajak masuk?"
"Enggak! Di sini aja."
"Ya udah, deh. Salam sama orang rumah, ya." Dirga menepuk puncak kepalaku dua kali. Aku membalasnya dengan anggukan, dan segera berbalik ketika motornya sudah melaju.
Namun aku sempurna mematung ketika mendapati seseorang yang telah berdiri di depan pintu. Menatap tajam ke arahku tanpa berkedip. Papa!
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Tahu Diri [End]
Teen FictionCinta itu tidak selamanya harus diucapkan, bukan? Karena terkadang, semakin sering diutarakan perasaan itu akan semakin hambar.