Dua

3.4K 206 24
                                    

Raihan Pradirga

PING!!!

Ara

Aku melirik ponsel di atas meja belajar, tepat di samping kanan pergelangan tanganku. Sebelum kubuka pun, aku sudah tahu. Pasti pesan dari Dirga.

Dinara RW

Ya?

Ada apa?

Dalam hitungan detik, ponselku sudah berbunyi lagi.

Raihan Pradirga

Lagi ngapain, Ra?

Aku hanya menyentuh layar ponselku dan membaca pesan itu sekilas, tidak berniat membalasnya.

Raihan Pradirga

Di read doang, Ra?

Lagi sibuk, ya?

Dinara RW

Lagi ngerjain tugas.

Ada perlu apa?

Raihan Pradirga

Oh yaudah, deh. Besok pagi-pagi langsung ke redaksi ya. Jangan telat!

Dinara RW

Ok!

Ponsel di sampingku sudah tidak kulirik lagi, kembali berkutat dengan soal-soal di depanku.

***

Harusnya aku tidak datang sepagi ini.

Lihat, bahkan ruang redaksi belum dibuka. Dan satu-satunya kunci hanya dipegang Dirga. Aku kemudian duduk di bangku panjang di depan ruangan itu. Sesekali melihat ke arah koridor, berharap Dirga ada di sana sehingga aku tidak perlu lama-lama menunggu di sini.

"Tumben nggak telat." Sebuah suara dari arah berlawanan membuatku menolehkan kepala. Kudapati sosok tinggi itu sudah ada di sebelahku, kali ini ia mengenakan sweater hitam dengan kerah kemeja yang dikeluarkan.

"Kan lo yang minta biar nggak telat. Eh, ini lo sendiri yang telat." Aku memutar bola mata kesal, malas menatapnya yang sudah beralih membuka kunci pintu.

"Iya, deh. Maaf. Tadi ke kelas dulu, naro tas."

Aku tidak menggubris perkataannya. Lantas masuk ke ruangan dan meletakkan tasku asal di salah satu meja. Ruang redaksi ini terlihat begitu berantakan: Kertas-kertas berserakan di mana-mana. Belum lagi sampah makanan dan botol minuman yang ada di atas meja. Pasti sisa-sisa kemarin sore. Ya, kemarin kami harus menyelesaikan pekerjaan sampai sore. Dan saat ini, Dirga masih meminta untuk datang pagi-pagi.

"Ck.. ck.. Pagi-pagi udah berduaan aja."

Aku menoleh ke asal suara. Indy sudah berdiri di ambang pintu. Bersandar dengan tangan terlipat di depan dada. Matanya melihat ke arahku kemudian beralih pada Dirga.

"Nggak ngajak-ngajak, nih?"

Kulihat ia menaikkan alisnya ke arah Dirga. Aku melangkah menuju meja komputer, tidak memperdulikan tingkah Indy. Mungkin sebentar lagi dia akan menggodaku dengan Dirga, kebiasaan!

"Sorry gue lupa. Semalem gue cuma nyuruh Ara doang untuk dateng pagi," ujar Dirga tidak peduli. Ia beranjak ke meja di sampingku, seperti biasa.

"Eh, lo nggak nggak nyuruh anak-anak lain juga, Ga? Masa cuma kita berdua yang ngerjain ini semua?" Aku menoleh ke arahnya, protes.

"Bertiga sama gue!" Ucapanku segera diralat oleh Indy yang masih tak bergeming dari ambang pintu.

Dirga tidak mendengarkan ucapan Indy, balas menatapku. "Mereka semua nggak ada yang bisa gue andelin. Gue cuma percaya sama lo."

***

Proses percetakan sudah selesai. Tinggal didistribusikan besok pagi.

Tapi aku dan anak-anak lain masih di sini. Sepulang sekolah Dirga meminta kami untuk bergegas ke ruang redaksi. Untuk apa lagi kalau bukan membereskan ruangan yang sudah terlihat lebih dari kapal pecah.

Ruangan ini sudah seperti rumah kedua bagiku. Bagaimana tidak. Pagi-pagi ruangan ini yang lebih dulu aku kunjungi daripada kelas, sepulang sekolah lagi-lagi harus mampir ke ruangan ini. Bahkan kadang-kadang tidak mengikuti jam pelajaran hanya karena ada keperluan di redaksi ini. Meski aku tahu konsekuensinya.

"Dinara, arsipnya taro di mana?" Terlihat Elia tengah mengangkat tumpukan kertas dan beberapa majalah lama.

"Di lemari samping meja itu aja, El," jawabku seraya menunjuk lemari kecil di sudut ruangan.

Elia kemudian beranjak ke arah yang kumaksud. Sementara aku masih sibuk menyusun majalah yang baru selesai dicetak. Memilah-milah dan mengelompokkan sesuai tempat yang akan di kirim. Majalah ini sebenarnya tidak hanya didistribusikan di SMA Wiyata Mandala saja. Ada beberapa sekolah yang bersedia menampung majalah kami setiap bulannya, bahkan beberapa kami titipkan di toko buku kecil dekat SMA.

Kesibukanku terhenti ketika kurasa ada yang menarik rambutku. Bukan ditarik lebih tepatnya.

"Eh. Apaan, sih, ini?" Aku menoleh dan berusaha menepis tangan yang tengah memegang rambutku, mengumpulkannya menjadi satu, lantas mengikatnya ke belakang.

"Rambut lo ngeganggu dari tadi. Biar gue iketin."

Aku hanya bisa diam mendapati rambutku yang sudah dikucir ponytail. Sementara Dirga sudah melangkah ke samping dan mengelus puncak kepalaku pelan. "Bagus, kan?"

Aku tidak memperdulikan dia yang sudah terkekeh ringan, kembali melanjutkan kesibukanku yang sempat tertunda. Kuambil lagi beberapa eksemplar majalah, lantas menghitungnya.

Belum selesai aku menghitung, Dirga malah memindahkan tumpukan majalah itu ke tempat lain.

"Gaa, mau dibawa ke mana? Itu belum selesai dihitung." Aku berdecak kesal.

"Yaudah dihitung di sana aja," ujarnya sambil meletakkan majalah di atas meja dekat pintu. "Biar besok mudah diangkutnya."

"Kan gue jadi kerja dua kali!"

"Cuma ngehitung dikit, kok. Nggak usah cemberut." Ia mengarahkan tangannya ke wajahku. Aku sudah tahu apa yang akan dilakukannya dan cepat-cepat menghindar sebelum tangannya berhasil mencubit hidungku. Kebiasaan!

"Kalian pacaran, ya?" Aku sontak menoleh, kaget dengan suara yang tiba-tiba terdengar di dekat kami.

"Apa?" tanyaku berusaha memastikan. Kupikir aku salah dengar.

"Kalian pacaran?" Ita--siswi XI IPA 2 yang terkenal cerewet itu--mengulang ucapannya lagi.

"Maunya sih begitu." Belum sempat aku mengelak, Dirga sudah bicara asal.

"Apaan, sih?"

"Bercanda, Ara," elaknya sambil tertawa pelan. Ita balas tertawa sambil mengangkat bahu, lantas pergi meninggalkan kami.

***




Tahu Diri [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang