Tepat pukul sembilan. Aku sudah menginjakkan kaki di ruang redaksi setelah bel istirahat berbunyi nyaring beberapa menit yang lalu. Pintu ruangan ini terbuka, menandakan sudah banyak anggota yang datang.
Bukan. Bukan banyak, ternyata perkiraanku salah. Karena di dalam sana hanya ada Dirga bersama seseorang gadis dengan rambut pendek sebahu dan mengenakan cardigan biru muda—sedang duduk membelakangiku, tepat di hadapan Dirga.
Sejurus kemudian, Dirga mendongakkan wajah ketika menyadari kehadiranku yang tengah berdiri di ambang pintu.
"Eh, Ra. Sini! Udah ditungguin dari tadi."
Aku tersenyum kikuk, namun berusaha sebisa mungkin terlihat biasa saja.
"Kenalin ini Anggia, yang gue bilang waktu itu."
"Dinara," ujarku sambil menjulurkan tangan yang langsung disambut dengan balasan hangat oleh gadis manis di depanku ini. "Selamat bergabung dalam tim. Semoga betah, ya."
Ia tersenyum lebar, membuat mata sipitnya terlihat seolah bagai satu garis melengkung. Terkesan lucu dan menggemaskan. "Salam kenal, Dinara. Tolong bantuannya ya kalau ada apa-apa."
Kubalas ucapannya dengan senyum yang tak kalah lebar seraya mengangkat ibu jari, lantas beranjak ke meja komputer. Anggia sudah kembali ke tempat duduknya sembari memilah-milah potongan artikel sebagai bahan berita baru yang akan ia buat. Sementara Dirga keluar ruangan beberapa menit yang lalu.
Tak lama, sosok Dirga kembali muncul dengan dua botol minuman dingin di tangannya. Minuman itu ia letakkan di depanku dan juga di samping Anggia. Aku hanya menoleh sekilas dan samar mengucapkan terimakasih.
"Dinara ramah kok, Ga. Nggak kayak yang kamu bilang."
Sontak aku menoleh saat menangkap namaku disebut oleh Anggia. Dapat kulihat Dirga pura-pura menyibukkan diri dengan laptop, tanpa menghiraukan ucapan Anggia yang juga masih sibuk dengan potongan artikelnya.
Tiba-tiba Anggia terkekeh ketika mendapati perubahan dari raut wajahku "Dirga sering bilang kalau lo itu cuek. Ternyata enggak, kok. Mungkin Dirganya aja yang selalu ngerasa dicuekin." Ia melanjutkan tawa kecilnya.
Sedetik kemudian, aku mengalihkan pandangan ke arah Dirga yang entah sejak kapan sudah memerhatikanku. Mata kami bertemu. Beberapa detik. Sebelum aku tersadar dan segera mengalihkan tatapan kembali ke arah komputer.
***
Halte di samping sekolah terlihat ramai selepas bel tanda pulang sekolah dibunyikan. Aku berjalan sendirian di tengah hingar-bingar siswa yang sedang merencanakan kegiatan yang akan mereka lakukan sepulang sekolah ini, atau mungkin kegiatan untuk hari minggu besok, entahlah.
Baru beberapa langkah aku meninggalkan gerbang. Sayup-sayup terdengar suara seseorang memanggilku di tengah kebisingan ini. Aku menoleh, mendapati Dirga yang tengah berlari kecil menuju ke arahku.
"Ra, hari ini bisa ikut nganter majalah, kan?"
"Sama yang lain aja deh, Ga. Gue nggak bisa, ada bimbel."
Dirga terdiam sejenak, lantas mengangguk. Dapat kutangkap raut kecewa terpancar dari wajahnya. Atau sebenarnya tidak seperti itu, mungkin aku saja yang terlalu berlebihan.
Lekas ia berbalik ketika kulihat Anggia sudah melambaikan tangan ke arahnya. Gadis itu lantas melipat tangan di depan dada dan menampilkan ekspresi wajah kesal. Dengan cepat ia berjalan ke arah Dirga dan bergelayut di lengan kirinya, menyandarkan kepala pada bahunya sambil terus berjalan mengikuti Dirga menuju parkiran motor.
Aku membalikkan badan seraya menghembuskan napas tertahan. Untuk apa pula aku memperhatikan adegan drama tadi. Sungguh bodoh! Dan lebih bodoh lagi ketika kurasa ada perih tak terjamah yang tiba-tiba menghampiri, disusul dengan buliran yang tanpa kusadari sudah menggenang di sudut mata.
Sebenarnya aku ini siapa? Hanya seseorang yang berharap terlalu berlebihan akan ilusiku sendiri. Menganggap segala perlakuannya selama ini sebagai suatu perhatian, padahal ia melakukan hal yang sama pada semua orang.
Seharusnya aku tidak memiliki perasaan bodoh ini jika orang-orang tidak sibuk mempermainkanku. Seharusnya aku tidak memperbesar harapan ini jika aku menutup mata dan telinga dari pendapat orang-orang. Seharusnya hanya seperti itu, seharusnya.
Hai, selamat bertemu lagi
Aku sudah lama menghindarimu
Sialku lah, kau ada di sini
Sungguh tak mudah bagiku
Rasanya tak ingin bernafas lagi
Tegak berdiri di depanmu kini
Sakitnya menusuki jantung ini
Melawan cinta yang ada di hati
Dan upayaku tahu diri
Tak selamanya berhasil
Pabila kau muncul terus begini
Tanpa pernah kita bisa bersama
Pergilah...
Menghilang sajalah lagi
[Maudy Ayunda—Tahu Diri]
AN : Yang mau tau Anggia liat di mulmed yaaa
![](https://img.wattpad.com/cover/57061457-288-k432540.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tahu Diri [End]
Teen FictionCinta itu tidak selamanya harus diucapkan, bukan? Karena terkadang, semakin sering diutarakan perasaan itu akan semakin hambar.