Satu

5.6K 237 26
                                    

Seseorang dari arah berlawanan sedang menuju tempatku berdiri. Berjalan cepat sambil melambaikan tangannya.

"Dinara, dicariin Dirga, tuh. Katanya disuruh cepet. Lo, sih, ngaret terus!"

Aku mengangguk ringan membalas ucapan Indy. Gadis bertubuh mungil ini perlahan menghempaskan tubuhnya di bangku panjang tepat di hadapanku, menampakkan wajahnya yang selalu terlihat lucu ketika sedang kesal.

"Lo samperin Dirga, gih! Dari tadi dia ngomel-ngomel mulu. Ada salah ini lah, salah itu lah, harus kejar deadline, lah." Indy memutar bola matanya sambil terus berkomat-kamit. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi omelan Indy yang sudah biasa kudengar setahun belakangan.

"Yaudah lo liatin juga, lah. Dibenerin kalau ada yang salah, biar dia nggak ngomel-ngomel lagi."

"Mending lo aja yang nemuin dia. Males gue liat mukanya kalau udah kayak gitu. Biasanya kalau ngeliat lo, dia langsung senyum."

Aku lagi-lagi hanya tersenyum dan beranjak dari dinding kelas tempatku menyandarkan punggung. Perlahan kulangkahkan kaki menuju ruang redaksi di mana Dirga dan anak-anak lainnya terbiasa berkumpul.

Ya, Raihan Pradirga seorang siswa kelas XI yang kini menjabat sebagai Ketua Redaksi majalah sekolah sekaligus ketua Ekstrakurikuler Jurnalistik di SMA Wiyata Mandala. Sementara aku, Dinara Reiska Winata, kini menjabat sebagai sekretaris sekaligus partner Dirga selama satu tahun ke depan, setidaknya.

***

"Ada apa, Ga? Maaf ya, telat. Tadi ada urusan sebentar." Aku segera menghampiri Dirga yang tengah berdiri sambil bertumpu pada kedua tangannya di atas meja. Matanya yang sedari tadi terpaku pada lembaran kertas di depannya kini beralih ke arahku yang baru saja melangkahkan kaki dari pintu masuk.

Seketika aku bisa melihat raut serius di wajah Dirga berubah hangat. Perlahan senyum mulai menghiasi wajah tegasnya.

"Lo, tuh ya. Ngaret terus kerjanya!" Dirga menghampiriku dan mengetukkan jari tengahnya ke atas kepalaku pelan. "Itu artikel banyak yang harus diedit. Jadwal penerbitan kita dua hari lagi. Masa harus ngaret lagi, sih."

"Jangan ngomel-ngomel mulu, dong. Ini juga baru mau dikerjain." Aku beranjak ke meja komputer di samping Dirga, pura-pura menampakkan wajah kesal.

Dirga terkekeh pelan dan perlahan menghampiriku. Ia menangkupkan kedua tangannya di atas kepalaku yang kini sudah duduk di depan monitor.

"Yang bener kerjanya, Ara. Jangan sambil ngambek." Dirga tertawa kecil lantas mengacak rambutku asal, kemudian kembali ke mejanya dan melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.

Aku tersenyum tipis dan meliriknya sekilas lewat ekor mata. Raihan Pradirga yang kutahu selalu mudah akrab dengan orang lain. Lihatlah perlakuannya tadi, seolah menunjukkan kalau kami sudah berteman lama. Padahal aku baru mengenalnya beberapa bulan terakhir, setelah kami bersama-sama menjadi pengurus di redaksi ini.

Memang sudah satu tahun aku bergabung dengan tim redaksi ini, tapi tidak banyak yang dekat denganku selain Indy dan beberapa teman yang memang kukenal karena satu kelas. Tidak seperti Dirga, yang sejak pertama masuk bahkan langsung akrab dengan senior.

"Diselesain kerjaannya, Ara. Jangan ngelamun terus," ucap Dirga pelan yang membuatku mengerjapkan mata beberapa kali. Kutegakkan posisi duduk lantas kembali fokus menatap komputer.

***

Koridor kelas sudah terlihat sepi. Bel masuk sudah terdengar sepuluh menit yang lalu, sementara aku baru saja keluar dari ruang redaksi dan bergegas menuju kelas.

"Dinara!"

Terdengar seseorang memanggilku dari belakang. Seorang gadis cantik tengah berlari kecil dan sesekali membenarkan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena terbawa angin. Aku menyipitkan mata, terlihat jelas senyum khas yang sangat kukenal. Ya, Indy sedang bergegas dan berusaha mensejajarkan langkah denganku sekarang.

"Lo dari mana?" tanyaku menyelidik.

"Itu... dari kantin," jawabnya dengan menampilkan wajah tanpa dosa. "Bareng ke kelasnya, biar gue bisa ngeles dari redaksi juga."

Aku memutar bola mata malas. Kebiasaan Indy kalau sudah kabur dari ruang redaksi.

"Gimana kerjaan tadi udah selesai? Dirga masih marah-marah?"

Aku menggeleng ringan menjawab pertanyaannya.

"Syukur, deh. Pasti marahnya reda karena lo, ya?" Indy tersenyum jahil sambil menepuk bahu kiriku pelan.

"Apaan, sih?"

"Ya biasanya juga gitu. Padahal banyak anak lain, tapi yang dicari cuma elo."

"Kan gue sekretarisnya, Indy," lagi-lagi aku memutar bola mata dan mengarahkan pandangan ke arah lain sambil terus berjalan. "Lagian kalau lo memang mau bantuin, seharusnya lo nggak kabur kayak tadi."

"Gue harus bantu apa? Kan dia cuma percaya sama lo, Din. Dasar aja tuh si Dirga modus, biar berduaan sama lo doang!"

Aku meliriknya kesal, kemudian berjalan lebih cepat mendahuluinya yang tengah tertawa kecil. "Terserah lo, deh."

***

AN: Di mulmed ada Dinara  

15 Desember 2015

~rain









Tahu Diri [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang