Assalamualaikum Wr.Wb.**
Tangisan, rintihan kembali terdengar, dengan kilasan bayangan saat suaminya sendiri tak mempercayainya. Tamparan serta pukulan ia terima dari sosok yang mengatakan cinta padanya. Dira meraung sakit, berulang kali ia mencoba menjelaskan bahwa ia tak melakukan penghianatan, tetapi Suaminya seakan tuli dan lebih memilih mendengarkan Bibinya yang membual cerita kalau Dira berselingkuh dengan supir pribadi suaminya.
Tubuh ringkih itu tersentak dengan bola mata membola, iris kelabu itu menatap kosong plafon kamar yang mulai usang, mimpi itu lagi yang selalu menemani setiap malam sepinya. Dira bangkit dari tidurnya lalu melanglah keluar untuk mencuci mukanya yang putih bersih.
"Asstaghfirullah..." desahnya dalam hati, sudah hampir dua tahun tetapi kejadian mengerikan itu masih sering menghantui malam-malam sepinya.
Dira mendongkak untuk menghalau air mata yang sudah menumpuk di pelupuk mata, ia sudah bertekad dalam hati untuk tak mudah menangis lagi, ia harus kuat untuk menjalani hidup yang tak mudah ini.
Suara tangisan membuatnya bergegas, melanglah kembali ke dalam kamar, melihat buah hatinya yang cantik menangis sambil merangkak untuk mencoba menggapai sang mamah.
"Iya sayang cup...cup... mamah disini" Dira menimang permatanya dengan penuh kasih hingga rintihan si kecil mereda berganti dengan senyuman lebar yang sangat lucu.
Yah inilah alasan ia harus tetap kuat, anaknyalah sang penyemangat jiwanya yang rapuh.
Wajah Enes mengusel pada dada Dira membuat sang mamah terkekeh pelan, bayi 11 bulan itu ternyata kelaparan.
**
"Pagiiii sayaang... iiiih cantiknyaaa keponakan tante" Dira tersenyum kecil saat Canna sahabat sekaligus tetangga terdekatnya menimang Enes yang tertawa riang.
"Maaf ngerepotin lagi ya Can" Dira tersenyum canggung, sebenarnya ia tak enak hati selalu merepotkan sahabat terbaiknya ini, tetapi kalau ia tak kerja siapa yang akan membiayai kehidupannya.
"Kaya ama siapa aja kamu Dir, udah sana berangkat takut kesiangan entar. Biar Enes sama tante yaah sama mamah kiva juga" Ujar Canna riang.
Dira tersenyum tipis lalu pamit pergi untuk mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin sulit saja di jaman yang semakin modern ini.
**
"table 9 ya Dir" Dira mengangguk lalu mengangkat trays berisi dua porsi tenderloin dan satu porsi chiken steak di tangan kirinya pada meja nomor 9, pekerjaannya hanya sebagai food runner di sebuah restoran western, tetapi tak membuatnya berkecil hati walau hanya di tugaskan untuk mengantar makanan pada meja pelanggan. Ia tertap bersyukur masih bisa di beri pekerjaan oleh maha pencipta.
"Permisi" sapa Dira sopan, " pesanannya pa" lanjutnya seraya menaruh pelan piring-piring di atas meja dengan hati-hati.
Dira meletakan trays kosong pada meja, ia bersandar pada tembok sambil menunggu pesanan lain matang, di usapnya keringat yang menghiasi philrtum, weekend memang selalu rame dari pada hari-hari biasa. Kakinya mulai pegal akibat terus mondar-mandir mengantar makanan pada setiap meja. Tetapi yah mau gimana lagi namanya juga kerja pasti capek.
Dentingan bel pertanda masakan matang menghancurkan lamunan Dira, ia bergegas dan membaca Bil pelanggan sebelum mengantar pesanan.
"Meja nomer 2" batinya membaca lalu mengangkat Trays dengan satu porsi tuna salad dan spagethi carbonara.
"Permisi...pesanannya" Dira menaruh pesanan pelanggannya di meja dengan pelan, berusaha agar tak menimbulkan bunyi ketukan.
"Boleh minta garpu lagi mba?" suara itu, batin Dira resah.
"Bo...leh" Mata Dira membola lebar menatap pria dihadapannya yang takalah shock dengan dirinya, keduanya seperti melihat penampakan di kegelapan yang sangat menyeramkan.
"Tunggu sebentar pa" lirih Dira lalu cepat bergegas pergi dari hadapan...mantan suaminya.
Ya Allah kuat... kuat...
**
Dira terus saja mencoba berfikir positif bahwa siapa saja berhak datang ke restoran tempat ia kerja, ia terus menepis rasa ngilu di hati saat bayangan kelam dulu mulai mencuat kembali, di tambah mantan suaminya yang sudah memiliki pendamping lain. Oh ayolah Dira kau bukan siapa-siapanya lagi jadi tak usah sakit hati.
Tarik nafas...hembuskan pelan.
Memasang senyum manis, lalu menekan bel rumah sahabatnya.
"Assalamualaikum...tante" Dira tersenyum lalu mencium tangan Kiva dengan sopan.
"Mau jemput Enes tan" lanjut Dira.
"Masuk yuk, Enes lagi main sama om Dimas" Senyum Dira semakin merekah saat melihat anaknya yang tertawa riang di pangkuan Dimas pria paruh baya yang masih terlihat rupawan di usianya yang terbilang tak muda lagi.
Kiva meraih Enes lalu menyerahlannya pada Dira.
"Nginep disini aja Dir, kalau kamu kerepotan ngurus Enes" saran Kiva, ia kasihan pada Dira yang terlihat begitu kualahan mengasuh anak cantiknya dan pekerjaanya yang menguras tenaga.
"Enggak usah tante, maaf ngerepotin om sama tante terus" tolak Dira halus.
"Enggak ko Dir, lagian suapaya rame di rumah kalo ada Enes, kamu tau sendiri Hafiz milih merantau dan Canna yang gak mau diem di rumah" Dira tersenyum kecil mendengar curhatan Kiva."Ya udah saya pamit dulu ya tan, om, assalamualaikum"
"Enggak makan dulu Dir?, tante masak banyak loh" saran Kiva
"Enggak usah tan, Dira udah makan ko. Makasih ya tan. Assalamualaikum"
***
Dira mengelus sayang kepala Enes, putri cantiknya tertidur pulas dengan mulut yang sedikit terbuka, Dira berharap semoga tak terjadi sesuatu. Ia terus saja berdoa dalam hati agar tak ada hal-hal buruk yang membuatnya tersiksa kembali.Yah semoga saja....
Bersambung...!
KAMU SEDANG MEMBACA
Anugrah Terindah
General FictionLika-liku lehidupan membuat Adira lebih bisa menyikapi setiap masalah, beban hidup yang berat membuatnya menjadi wanita yang kuat. Mulai dari fitnah yang mengakibatkan suaminya menceraikannya, dan menjadikannya janda dengan satu anak yang sangat ca...