5. Permainan Takdir

47.2K 3.2K 23
                                    

mulmed- Arfa

**

"kau punya anak?" Langkah Dira terhenti, tubuhnya menegang, ia memeluk erat Enes yang terlihat mengantuk saat mendapat kehangatan dekapan sang mamah.

"Jawab aku Dira!" suara berat itu terdengar menakutkan, dengan segera Dira kembali melangkah, ia belum siap untuk mengatakan fakta tentang anaknya. Ia takut jika nanti Arfa tau kalau Enes anaknya lalu merebutnya kemudian Dira sendiri menjalani hidup yang sepi ini. Ia tak sanggup.

"Berhenti Dira" Arfa menggeram marah saat Dira mengabaikan perintahnya, wanita itu masih tetap keras kepala rupanya.

"BERHENTI AKU BILANG!" Arfa mengumpat saat rasa ngilu menyerang kakinya, tendangan wanita barbar itu sangat menyakitkan rupanya.

"Jangan membentaku lagi Mas" Dira membalikan tubuhnya, "kamu sudah tak punya hak apapun atas diriku, jadi. Berhenti merecoki masalah hidupku" lanjut Dira, hatinya sesak, hingga tak bisa lagi membendung buliran air mata yang membasahi kedua pipinya.

"Lebih baik Mas pulang saja, obati luka mas, aku mau pulang" Dira melangkah cepat meninggalkan Arfa yang masih membeku di tempatnya dengan tatapan kosong, hingga tubuh besar itu kembali ambruk akibat rasa lemas yang tiba-tiba menyerang kakinya.

**

Mata Arfa terpejam menikmati sensasi perih saat Anjas mengoleskan obat anti septik pada sudut bibirnya, kepalanya pening memikirkan masalah dengan Dira yang seakan tak pernah usai.

"Sebenarnya apa yang terjadi Fa?" Hanin yang sejak tadi hanya diam melihat suaminya mengobati Arfa kini bertanya.

"Dia benar punya anak" suara Arfa begitu lirih, ia membuka matanya menatap istri sahabatnya dengan tatapan kosong, "aku harus bagaimana sekarang? kemungkinan Dira sudah mempunyai suami lagi" ujar Arfa lagi.

"Kamu masih mencintainya Fa?" Tanya Anjas, bibirnya menyeringai, kebohongan yang selama ini bahwa Arfa tak perduli dira lagi terbongkar sudah.

"Bu-bukan begitu, aku hanya... hanyaa"

"Hanya apa?" Kini giliran Hanin yang menyeringai, membuat Arfa semakin kelabakan dibuat sepasang suami istri itu.

"Tunggu sebentar" Anjas beranjak dari duduknya, berjalan menuju ruang kerjanya, beberapa saat kemudian kembali dengan amplop coklat di genggamannya.

Mata Arfa memicing, lalu menerima amlpop coklat itu. Kelereng birunya bergerak melihat bait demi bait tulisan dan kelegaan terbesit di hati bahwa Dira selama ini belum menikah lagi, tetapi di kata berikutnya dadanya berdenyut nyeri saat mengetahui bahwa hidup Dira begitu susah, semua aset yang Dira miliki hampir seratus persen adalah pemberian sahabatnya.

"Yah, kemungkinan anak dira itu juga anakmu. Kejarlah dia Fa. Dia sudah cukup menderita selama ini" Ujar Hanin bijak, sebagai sesama perempuan ia merasakan beban yang di tanggung Dira.

Arfa tercenung, ia baru menyadari itu, mungkinkah anak itu anaknya? Bibirnya tertarik, menuai senyum tipis.

"Orang ku sedang mencari keberadaan mantan supirmu untuk mencari fakta yang sebenarnya, karena kalau mencari bukti lain akan lebih banyak waktu yang di tempuh" jelas Anjas.

**

"Enes, emam dulu sayang" Dira menghela nafasnya pelan, saat anaknya lagi-lagi membuang muka, gadis kecilnya lebih tertarik untuk belajar berjalan dengan tembok sebagai pegangan. Enes terpekik senang saat pantat montoknya beradu dengan lantai.

Dua minggu lagi umur Enes genap dua belas bulan, sungguh itu membuat hati Dira bahagia melihat buah hatinya tumbuh dengan sehat walau tanpa figur papah yang membantu. Kembali Dira menghela nafanya. Semalaman ia menangis, menangisi papah Enes yang kembali membuat sakit, walau dalam hati kecilnya ada rasa rindu apalagi saat melihat wajahnya terluka kemarin malam. Ia ingin mengobati lukanya tetapi itu tak bisa.

"Mamaamaa.." Dira mengerjap pelan, saat pelan-pelan Enes berjalan mendekatinya membuat Dira terpekik kaget, dengan senyum sayang Dira merentangkan tangannya untuk menyambut Enes yang masih terlihat kaku untuk berjalan.

"Masha Allah anak mamah udah bisa jalan yaah" Dira mengelus sayang rambut anaknya dengan bangga, karena Enes sudah belajar keras untuk berjalan.

Dira terdiam saat mendengar ketukan pintu, sepertinya itu Canna fikir Dira, ia menggendong Enes. Senyum dira terukir ia akan memberitahu sahabatnya itu bahwa anaknya sudah bisa berjalan.

"Assalamualaikum.... "

Mata Dira membola lebar saat melihat, pria yang tak asing banginya, pria dengan wajah menawan.

"Waalaikumsalam... kapan pulang Fiz?" Senyum Dira melebar, dia Hafiz adik Canna yang juga sudah di anggap adiknya sendiri.

"Aku kangen Enes ka, heey sayang om punya banyak hadiah untukmu" Hafiz mengangkat tanganya untuk menunjukan beberapa paper bag di hadapan Enes yang dari tadi tak berhenti mengoceh dengan bahasa bayinya.

"Ayo masuk Fiz, Canna gak Ikut kesini?" ujar Dira.

"Nanti juga kesini ka, biasa lagi bantu Umi beres-beres dulu" jawab Hafiz, pemuda dua puluh dua tahun itu mengambil alih Enes dalam gendongannya.

"Bentar kaka mau bikin minum dulu yah" Dira bergegas melangkah untuk mengambil minum. Sudah lama ia tak bertemu Hafiz, tak jarang hafis curhat padanya tentang wanita yang di kasihinya yang juga memiliki anak, memang Hafiz seleranya lain dari yang lain.

***

Arfa memegang dadatnya yang berdetak tak menenetu, sekali lagi ia memandang rumah mungil di hadapanya, ia menghembuskan nafas panjang sebelum keluar dari mobil.

Keraguan kembali hadir saat melihat pintu rumah itu terbuka, ia takut Dira mengusirnya nanti, tetapi ia sangat ingin bertemu anaknya itu.

Hatinya terasa membuncah saat melihat anak itu berjalan kaku keluar dari pintu yang terbuka, mata birunya berbinar serta mulut yang terpekik bahagia seakan menyambut kehadiranya, Arfa lebih cepat melangkah untuk bisa memeluk gadis kecilnya itu tetapi sebelum ia bisa melakukannya sosok pria telah mendahuluinya.

"Hey jangan jauh-jauh sayang" tegurnya halus, tetapi gadis kecil itu tetap tertawa kearahnya, tangan mungilnya seakan melambai menyuruhnya untuk cepat mendekat.

"Ya Allah kenapa kalian di luar, di cariin dari tad..i" Mata Dira melotot melihat kehadiran Arfa di rumahnya. Ada apa dia kemari? Apa mungkin dia mau memarahinya lagi atau.

"Papapapapaaaa..." Enes berteriak girang, membuat suasana semakin beku akibat kosa kata baru yang di ucapkan Enes mambu membuat kedua orang tuanya kaget.

**
Tbc.
Typo masih bertebaran.. maaf yah
Boleh kritik dan saran..

Anugrah TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang