7. Titik Terang

46.1K 3K 20
                                    

"Aaaaaaaaa....papapapapa" Enes menjerit saat pintu mobil tertutup, menyembunyikan wajah tampan sang Papah dari pandangan matanya yang bulat. Membuat Dira kualahan akibat Enes yang terus meronta seakan tak mau jauh dari kehangatan sang Papah.

"Sudahlah Mas, tidak apa-apa. Pulanglah" Arfa kecewa, melihat Dira kembali dalam mode tak tersentuh, padahal beberapa jam yang lalu Dira sudah mulai sedikit terbuka padanya. Iris shafir nya menatap sendu Enes yang menangis.

"Tapi Dir, bolehkah aku menggendongnya sebentar. Kasihan Enes" ujar Arfa

"Mas, pulanglah" Dira kembali menitah, ia sungguh kualahan menggendong Enes yang kelojatan tak mau diam.

"Oke" Arfa tersenyum hambar lalu bergegas menstater mobilnya melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh.

Dira memejamkan matanya, buliran air mata langsung terjatuh saat kelopak matanya terbuka, ia mengerti perasaan anaknya yang merindukan figur papah yang selama ini tak ia rasakan. Tetapi Dira hanya tak mau membuat anaknya ketergantungan dengan orang yang tak pernah bisa bersamanya. Kenyataan itu membuatnya semakin sakit.

***

Arfa memarkirkan mobilnya sembarangan, ia tak perduli jika posisi mobilnya merusak tanaman bungan milik Hanin, ia melangkah cepat dan memencet bel rumah tak kalah cepat membuat sang pemilik rumah mengumpat kasar.

"Kamu sudah gila, menganggu saja" umpat Anjas, wajahnya terlihat kusut dan rambutnya berantakan khas bangun tidur, Arfa hanya melongos masuk tak memperdulikan ocehan sahabatnya yang semakin keras. Yang ia butuhkan hanya ketenangan sekarang.

"Siapa Yang?" Hanin muncul dengan tak kalah kusutnya, membuat Arfa semakin berang, menemukan fakta menggelikan, siang-siang begini malah indehoy. Bikin iri saja.

"Oh Arfa, kenapa lagi kamu Fa?" Tanya Hanin ia menyisir rambutnya dengan jari lalu duduk di hadapan Arfa yang meringkuk di sofa.

"kapan aku bisa gendong anaku sendiri? Dira sama sekali tak memberiku ijin untuk sekedar mencium anaku sendiri" Ujar Arfa lirih, ia masih terbayang wajah Enes yang memerah, pasti anaknya merindukannya. seperti dirinya yang sangat rindu sampai rasanya menyakitka.

***

Dira mengusap wajahnya frustasi melihat Enes yang selalu menolak bujuk rayunya, di suruh makan tak mau, di beri asi buang muka, di ajak main malah makin kejer nangis. Dan kini batita lucu itu tengah berguling-guling di kasur sambil terus merengek.

"Sayang, nenen yah. Sini sama mamah" kembali Dira mencoba membujuk, lalu mendudukan anaknya kepangkuan dan menyodorkan makanannya yang
Bergizi tinggi.

"Di nenen dong sayang jangan di mainin" Dira menyodorkan makanan Enes ke mulutnya, sungguh Enes sangat keras kepala sama seperti papahnya. Susah di atur dan semaunya sendiri.

Suara ketukan pintu membuat Dira tersentak, ia menatap Enes yang sudah mulai mengantuk, dengan perlahan ia melepaskan putingnya tetapi namanya juga Enes dia malah mengis kencang membuat Dira gemas sendiri pada kenakalan anaknya.

Ia meraih kerudung yang terselampir di kursi dan memakainya.

"Usshh, udah-udah mamah minta maaf oke" Dira menepuk pelan punggung anaknya, dan menggendongnya.

Ia membuka pintu rumahnya lalu terlihat kaget saat melihat tamu yang tersenyum cerah itu.

"Ohh.. kalian, kenapa bisa disini?" Tanya Dira bingung.

"Heeey, kamu jahat sekali. Apa kamu keberatan kalau kami berkunjung?" Hanin memasang wajah muram, membuat Dira gelagapan.

"Bukan begitu, maksudku kenapa kalian tau rumahku disini?" ujar Dira, lalu mempersilahkan suami istri itu masuk.

"Kami tau dari Arfa, dan ahirnya memutuskan untuk berkunjung. Sudah lama juga kita tak bertemu" jawab Anjas yang langsung membuat Dira paham.

"Ini anakmu Dir, oh lucunyaaa... sini sayang sama tante" Hanin langsung menggendong Enes membuat batita yang tengah merajuk itu menangis kembali.

"Cup-cup-cup sayang, jangan nangis yuk main sama tante yu" Dira menatap cemas pada anaknya yang di bawa Hanin menjauh.

"Bagaimana kabarmu? kamu terlihat lebih kurus sekarang" Dira menatap Anjas gusar.

"Saya baik-baik saja Jas" jawab Dira.

"syukurlah kalo begitu, kamu tak bekerja sekarang?" Anjas kembali bertanya.

"Hmm, tidak"

"Apa kami boleh membawa anakmu, kau tau mantan suamimu itu sangat frustasi karena kamu tak membiarkannya menyentuhnya"

Mata Dira mengerjap, ia menatap wajah Anjas dengan panik.

"Tidak, Enes buka anaknya Jas" tolak Dira cepat.

"Jangan berbohong Dir, aku mengenalmu, Enes anaknya kan?"

Air mata itu meluncur, isak tangis pun lolos, yah dia memang tak pernah bisa berbohong dengan sahabat suaminya ini. Sejak dulu Anjas memang selalu menjadi penengah jika ia dan Arfa berseteru.

"A..aku tak...ut" Nafas Dira tersedat, ia menumpahkan segala ketakutan dan siksaan batin yang selalu menyelimutinya. Di depan Anjas. Tak perduli jika ia terlihat mengenaskan sekalipun yang terpenting hatinya sedikit tenang setelah menumpahkan unek-uneknya.

"Taku kenapa Dir?"

"Dia akan merebut Enes dariku"

"Tidak akan, kamu akan tetap bersama Enes sampai kapanpun dan apa kamu masih ada rasa dengan mantan suamimu?"

"Aku... "Dira menunduk dalam "dia membenciku" lanjut Dira lirih

"Semuanya akan berahir secepatnya Dir, aku janji akan menguak fakta bahwa kamu tak salah" ujar Anjas yakin. Ia tersenyum lebar mencoba menghibur Dira yang terlihat..
Kasihan.

"Tenangkan dirimu, dan Arfa juga berhak atas anaknya, jadi pergilah bersenang-senang dengan Hanin. Dia merindukan belanja denganmu. Dan aku akan membawa Enes pada papahnya. Aku janji Enes aman" lanjut Anjas.

"Tapi Jas"

"Gak ada penolakan Dira"

"Baiklah"

***

Anugrah TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang