24. Menjelajah Ruang Waktu

3.6K 152 11
                                    

"Darimana saja kamu?!"

Rafif mendengak dari melepas sepatunya. Pandangannya bertabrakan dengan pandangan ayahnya yang telah berdiri di hadapannya. Tangannya berkacak pinggang. Matanya membesar dari biasanya pertanda ia sedang marah.

"Rumah sakit, Bi."

"Rumah sakit yang mana? Minggu bukan jadwal praktekmu."

"Bukan ke RSJ tapi ke RS."

Ahmad berpikir sejenak. "Minggu juga bukan jadwal kamu mengontrol semua rumah sakit. Dari mana kamu sebenarnya? Jangan bohongi Abi, Rafif!"

Usai melepas sepatunya, Rafif bangkit. Didapatinya wajah ayahnya yang masih emosi. Rafif m enghela nafas. Dia bahkan baru melangkah masuk ke rumahnya, tapi ayahnya sudah memarahinya tanpa tahu alasannya terlebih dahulu.

"Rafif tidak bohong. Tadi Rafif ke RS Jauhari karena Putri sakit lagi. Rafif juga bertemu Fahmi karena dia yang menangani amnesia Putri." Ia berlalu meninggalkan ayahnya yang masih berdiri di depan pintu. Menjatuhkan dirinya di sofa ruang keluarga lalu menekan tombol on pada remote televisi.

Ahmad menggeleng kepala sambil tertawa. "Dia lagi, dia lagi. Apa kamu masih waras karena mencintai orang penyakitan? Abi rasa kamu sudah tertular dengan pasienmu sendiri."

"Bi, Rafif capek. Lain kali aja kalau mau menghardik Rafif."

"Capek kan mengurus perempuan penyakitan? Tinggalkan saja, Rafif. Masih banyak perempuan di luar sana yang bersedia jadi istrimu."

Rafif membelalak kaget. "Maksud Abi apa? Rafif tidak pernah lelah sedikitpun merawat Putri. Rafif malah lelah karena sikap Abi yang selalu menentang dan bahkan menjelek-jelekan Putri. Sekeras apapun sifat dan sikap Abi, Rafif gak akan menyerah. Rafif akan buktikan bahwa Putri pantas menjadi istri Rafif."

Rafif berjalan menaiki tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Langkahnya jarang-jarang karena ia ingin cepat sampai ke ruang pribadinya tersebut. Seperti sudah lama menahan rindu, Rafif langsung merebahkan diri di kasur yang sangat jarang ia singgahi.

Kepalanya bertumpu pada kedua tangannya yang dilipat. Pandangannya menatap lurus ke langit-langit. Lagi, Rafif menghela nafas. Mengapa rasanya banyak sekali cobaan untuk bisa mendapatkan cintanya. Kini pandangannya pindah meliriknya sebuah figura foto di atas nakas samping tempat tidurnya. Diambilnya figura tersebut.

Jemarinya mengusap lembut kaca yang ada pada figura tersebut seakan sedang mengusap wajah yang ada di foto itu. "Put, rasanya aku ingin menyerah jika terus dihadapi tantangan demi tantangan seperti ini."

Ia teringat dengan Fahmi yang menyuruhnya untuk menceritakan yang sebenarnya kepada Putri. Bukan hal mudah untuk melaksanakannya. Ia belum siap dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi nantinya.

***

Senin yang cerah untuk memulai aktivitas. Banyak yang bilang, pada hari ini orang-orang akan lebih mudah tersulut emosinya. Namun tidak bagi Rafif. Baginya, bagaimana berjalannya hari sesuai bagaimana mengawalinya.

Perasaan kesal karena kejadian semalam seakan luntur terbawa mimpi. Pagi ini dia terbangun dengan tubuh yang lebih fresh. Rencananya hari ini dia akan berjaga di RSJ sampai siang lalu kembali menjenguk Putri.

Dia memperhatikan tampilannya dahulu sebelum berangkat. Kemeja hitam dan celana senada sudah melekat rapih di tubuhnya. Tidak lupa dengan arloji favoritnya yang berbahan kulit. Arloji tersebut pemberian dari Sintia sebelum Rafif berangkat ke Mesir. Katanya agar Rafif selalu ingat waktu istirahat, makan dan juga shalat. Perempuan itu, meskipun berbeda keyakinan tapi tetap menghargai agama satu sama lain. Bagi Rafif, Sintia benar-benar perempuan yang hebat. Dia bisa tetap berdiri tegap dan tersenyum disaat kondisinya yang lemah. Walau bagaimanapun juga, Sintia akan selalu ada dalam hatinya. Menempati posisi tersendiri sebagai sahabat.

Tabir Cinta (followers only)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang