Patahan 1

98 19 4
                                    

Siang itu, aku mengasyikkan diri duduk di barisan paling depan pada tribun yang mengelilingi lapangan futsal. Mataku tertuju pada laki-laki seusiaku bernomor punggung 9.

Angka 9 adalah angka favoritku. Tak ku sangka akan menjadi nomor punggung laki-laki favoritku juga.

Aku selalu duduk di sini saat ia ada jadwal latihan. Ku juga selalu mengunjunginya sendirian, tanpa mengajak Rima, sahabat ku. Karena hanya aku dan Tuhan yang tahu tentang perasaan kagumku padanya.

" Dion.... semangaaaaat.....! " Dia adalah kak Wina, pemimpin redaksi majalah di sekolah ku. Cewek tercantik seangkatannya. Memiliki rambut panjang yang ikal di bawahnya, tubuh tinggi semampai serta kulit putih bersinar. Beda sekali denganku. Jika aku berdiri di sampingnya, aku akan seperti kurcaci yang tingginya tidak sampai se-lehernya. Untuk informasi, dia cewe terpopuler.

Aku mengalihkan pandanganku dari kak Wina dan fokus pada Dion. Ia masih menggiring bola di kakinya sesekali menyeka keringat pada dahinya.

Tidak lama kemudian, Dion dan grupnya membubarkan formasi. Ku lihat Dion menghampiri Kak Wina. Mereka saling melempar senyum indah, tampang mereka sama sama enak dipandang. Tangan Kak Wina terjulur mengeringkan rambut Dion yang basah dengan handuk. Ini menyesakkan.

Tribun sudah sepi saat ini, penonton sudah mulai keluar saat latihan selesai. Ku lihat beberapa anak yang masih sibuk dengan bola dan perlengkapan yang lainnya.

Kak Wina sudah tak ada lagi di sana. Tinggal Dion yang terduduk sambil meminum air mineral kemasan. Aku menatapnya tanpa bosan, sudah 2 tahun ini aku mengaguminya tanpa berani mendekat.

Aku memang beda dengan perempuan biasanya saat jatuh cinta.

Ya, aku memang beda. Di dunia ini selalu ada perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan. Sama halnya dalam sikap saat jatuh cinta. Ku tau ini bertele-tele.

Aku tak sama seperti mereka, yang mendekat ke seseorang yang mereka kagumi, memberi suatu kesan yang baik ke mata seseoramg yang mereka sukai.

Aku tidak bisa, aku sangatlah payah dalam hal seperti itu. Satu kelompok dalam tugas biologi dahulu saja sudah membuatku gerogi setengah mati.

" Lo Rani kan? " Aku berjengit kaget saat tepukan mendarat di bahu ku.

Dion. Sejak kapan dia berpindah dari kursinya?

Aku sedikit melongo sepersekian detik hingga telapak tangan Dion mengarah tepat di wajah ku.

" Eh.. I.. iya. Lo kenal gue? "

" Kenal lah, lo kan temen sekelas gue. Lo lupa? " Dion mengisi kursi kosong di sebelah kananku.

" Oh iya sih. Astaga, sorry gue nggak fokus. " Aku salah memberi pertanyaan. Aku benar-benar malu. Terlihat bego di depan orang yang kau kagumi sama malunya saat memakai kaos terbalik dalam pusat perbelanjaan.

" Lo sendiri? Atau ada yang lo tunggu? "

" Gue sendiri kok. "

" Nggak pulang? Ini udah sore loh. " Dion menolehkan wajahnya padaku, seketika aku merasa seperti nafasku menghilang dan tubuhku melemas.

" Iya ini mau pulang. " Refleks.

" Gue antar ya. "

Aku seperti orang linglung saat ini juga. Di seberang ku, laki-laki yang selama ini ku kagumi, yang jarang sekali mengobrol denganku ataupun saling sapa sekalipun bisa menciptakan atmosfer seperti ini.

" Ngga keberatan? "

" Ngga kok, Ran. Gue malah seneng pulang ada temennya. "

Apa aku akan memasuki hubungan Dion dan Kak Wina sebagai pengganggu? Pikirku.

***

" Belok kiri, Di. " Aku mengintruksikan letak rumahku pada Dion.

Tadi di jalan menuju rumahku, aku dan Dion tak henti-hentinya mengobrol dan tertawa bersama. Aku tak menyangka, bahwa hanya dalam beberapa jam aku dan dia bisa dekat serta tak ada rasa canggung yang mendera ku.

Aku tak tahu mantra apa yang ia rapalkan hingga membuatku seperti ini.

Tapi aku senang, sungguh.

" Terima kasih, masuk dulu yuk. " Tawarku saat sudah berdiri di depan pagar rumah.

" Sama-sama, ngga bisa sekarang deh. Gue ada janji sama Wina. " Ku anggukan kepalaku sedikit, " Hati-hati, Di. "

Aku patah lagi.

Waiting HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang