i. Eins

565 46 13
                                    

i. Eins

      LELAKI berkaca mata yang rambutnya hampir menua, menatap tajam gadis yang berada di seberangnya.

      Gadis itu menyuap satu persatu buburnya dengan gerakan lambat disertai dengan uapan-uapan yang keluar terus-menerus dari mulutnya. Kantung matanya semakin menggelap. Tentu saja, dia mengantuk. Seharian ini dia belum tidur sama sekali, karena harus menyelesaikan lukisannya yang harus selesai hari ini juga.

"Ngantuk, 'kan? Suruh siapa begadang sampe jam empat pagi," ledek lelaki itu sambil terkikik geli melihat anaknya yang sibuk menguap.

"Yaah.. Please, yah, Hari ini.... aja aku bolos. Lagian di sekolah udah ga ada belajar-mengajar, kok... cuma classmeeting," jelas gadis itu sambil memanyunkan bibirnya.

Ayahnya menggeleng-geleng, "Alaiki an tadzhabii ilal madrasati, (1)" Ucap Ayahnya sambil menunjukkan telunjuk kanannya yang digoyang-goyangkan. (1): kamu tetap harus pergi ke sekolah

Gadis itu berdecak pelan, "Ayah gak asik." Lalu menyudahi sarapannya.

"Kan beberapa hari lagi juga, kamu bakal jalan-jalan tuh sama Bibi Alit. Semangat dong," lelaki itu bertopang dagu, dan tersenyum jahil pada anaknya. Kala yang risih, buru-buru meneguk air putihnya, dan beranjak dari tempat duduknya.

"Jangan cemberut," Ayahnya lagi-lagi menggoda Kala.

"Ayah gatau, sih. Aku tuh cape banget, belum tidur gara-gara lukisan--"

Ayahnya mengerutkan dahinya. "Lukisan?" Dia menatap Kala dengan tatapan curiga. Tidak biasanya, Bi ai tidak berkoar-koar pagi ini seperti biasanya karena kamar Kala yang sangat berantakan, dan cat di mana-mana.

      Kala hanya bisa mengedipkan matanya, berkali-kali. Ah, Bodoh kau. Teriaknya dalam hati.

"Pasti ada sesuatu!" Ayahnya langsung melenggang pergi ke kamar Kala, mengecek.

Oh, god.

Gadis itu langsung lari, menyusul Ayahnya yang pergi ke kamarnya lebih dulu.

Sesampainya di kamar, Ayahnya menelusuri setiap sudut kamar Kala. Dengan bodohnya, Kala menghalangi Ayahnya yang baru saja ingin mengecek balkon kamarnya. "Yah, serius. Ga ada apa-apa.."

Ayahnya tersenyum jahil, "Kamu emangnya anak siapa, sih? Ayah tahu gelagat kamu," Tiba-tiba hujan yang lebat mengguyur Kota Jakarta.

Yes. Bisa bolos!

"Yah, udahlah. Hujan, tahu. Nanti kalo Ayah ngecek balkon, yang ada Ayah, kehujan...an," Seketika raut wajah gadis itu berubah seratus delapan puluh derajat.

Astaga, lukisan gue!

      Kala langsung membuka pintu yang menuju balkon kamarnya, dan mengambil lukisannya yang sedikit kena air hujan. Seharian penuh kemarin, Kala memang melukis di balkon kamar karena sebuah alasan.

Gadis itu membersihkan lukisannya yang untung saja tidak begitu parah keadaannya karena air hujan. Ayahnya tersenyum jahil, lagi-lagi, saat melihat sosok yang ada di lukisan Kala.

"Itu siapa?" Tanya Ayahnya sambil memberi tatapan aneh pada Kala. Oh tuhan, ini yang aku takutkan.

"Please, Yah. Seriusan, ini Niall Horan. Bukan si idiot," jelas Kala.

Masih dengan tatapan yang sama, Ayahnya berkata, "Iya, Ayah percaya, kok," lalu terkikik geli.

"Ayah tau kok.. Niall Horan yang pirang di One Direction, 'kan? Tau, kok, tenang. Cuma, ya, kasian banget ya lukisannya," Kala melirik Ayahnya, menunggu ucapan Ayahnya selesai.

"Kasian. Karena, Ada 'percikan hujan' di lukisannya." Ucap Ayahnya sambil tertawa puas.

"I know what you mean, Dad. Like, please, he's frickin not that idiot, Regen. Lagian, aku buat lukisan ini juga karena m-mendadak," bohongnya.

"Ah, mosok?" Ayahnya menaikkan salah satu alisnya.

"I-iya, kok. Ini gara-gara Bu Tuti suruh aku gambar dia. Ayah tau sendiri aku ga suka sama Niall Horan. Kalo bukan karena Bu Tuti, ya mendingan gambar si pangeran tampan."

"Iya, yang mirip Ayah, 'kan?"

Gadis itu membulatkan matanya, dan menahan tawa. "Ya, sedikit, sih. Cuma, Ayah versi tuanya Zayn Malik!" Lalu tertawa puas.

"Udah ah. Nanti kamu kesiangan masuk sekolah. Jangan harap Ayah bakal izinin kamu bolos. Dan," Ayahnya baru saja ingin beranjak pergi. Namun dia teringat sesuatu.

"Lukisannya dipajang di ruang tamu juga gak apa-apa. Biar nanti Regen liat.."

Liat? Si idiot itu aja di Skotlandia. Masa dia ke Jakarta tiba-tiba? Gak bakal, lah!

Pikir gadis itu.

Baru saja ingin beranjak, Yaser teringat sesuatu. "Oh iya! Dan biar nggak kena percikan hujan lagi... kan kasihan kalau kehujanan! Nanti jadi 'hujan' banget! Hihi," tambahnya disertai suara cekikikan, lalu melenggang pergi.

19.45 pm, 30 Desember 2015

Alaiki an tadzhabii ilal madrasati = Kamu tetap harus pergi ke sekolah

Hujan di Negeri 1001 LaranganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang