vi. Sechs

221 29 14
                                    

"I know loving you ain't easy.
But sure, it's worth to try."

Die In Your Arms [2012],
Justin Bieber

vi. Sechs

      TEPAT pada pukul enam pagi, di saat hujan berganti menjadi rintikan-rintikan gerimis kecil, di mana matahari belum juga muncul dari tempat persembunyiannya, gadis itu sudah siap di depan cermin dengan jaket dan celana training olahraganya. Rencananya, pagi ini dia akan berkeliling sekitar apartemen bersama Yoga, sahabatnya. Kata lelaki itu, "pagi ini akan menjadi pagi yang sangat melelahkan." Itu clue yang Kala dapat. Memang benar, Yoga tidak memberitahu secara jelas kemana mereka akan pergi, dan gadis itu juga hanya menebak asal bahwa mereka akan pergi berolahraga pagi ini, dan batinnya pun berkata, 'terserahlah mau dibawa kemana dengan Yoga, asal Regen tidak ikut'.

Begitu kejam, bukan?

Entah apa alasan sebenarnya yang membuatnya benci terhadap lelaki lugu itu. Apa iya hanya karena sebuah nama? Hanya karena 'Hujan'? Itulah pertanyaan yang selalu membayang-bayangi pikirannya hampir setiap saat gadis itu menyebut Regen dengan sebutan, 'idiot'.

Sesungguhnya dia masih bertanya-tanya. Sesungguhnya dia ragu. Dan sesungguhnya dia tidak benar-benar bermaksud atas segala ucapannya. Andai Regen tahu.

Andai lelaki yang sebenarnya sejak tadi berdiri di depan cermin, tahu, bahwa gadis itu sedang melamunkannya. Andai pula gadis itu sadar kalau Regen di sampingnya sekarang.

"Kamu mau kemana?" Tanya lelaki itu, membuat Kala terkejut melihat si pooh besar dengan rambut pirang yang berantakan, dan kelopak mata yang masih mengerjap-ngerjap, memaksa tubuhnya untuk sadar sepenuhnya.

Dan, andai, Regen tidak mengucapkan sepatah kata pun, gadis itu mungkin tetap dalam petaknya, yang hanya berbeda 10 senti dari Regen. "The fish can you please not--" ucapan Kala terhenti. Dia menyadari ada satu hal yang berbeda dari si idiot.

Regen tidak lagi terbata-bata. Apa mungkin karena dia belum sadar sepenuhnya? Dia benar-benar terlihat normal, ya tuhan. Bisik setan dalam kepalanya.

Regen mengerjap-ngerjap, dan melambaikan telapak tangannya di depan wajah Kala, dan berucap, "umh, kamu tahu ini jam berapa?"

Kala melirik jam di dinding. "Jam enam pagi. Ada apa?" Seketika kedua mata lelaki itu membulat. Dia mengerjapkan matanya berulang kali. Regen langsung berjalan ke segala arah seperti mencari sesuatu. Dia benar-benar berantakan pagi ini. Kala yang melihat lelaki itu mondar-mandir, tentu saja penasaran. "Hey, ada apa, sih? Lo kenap--"

"Verdammt. Kenapa kamu tidak bilang?! Aku belum shalat subuh dan ini sudah jam enam pagi dan--"

"Hei, ini Singapura. Lo lupa, huh? Jam enam di Singapura itu jam lima di Indonesia. Lo ga telat, kok, tenang aja," ujar Kala sambil memutar bola matanya. Regen yang mendengar itu pun bernapas lega.

"Terus, k-kiblatnya di mana?" Oh, rupanya si pooh besar sudah sadar.

"Lurus aja. Ngadep pintu." Regen mengangguk, lalu berjalan ke kamar kecil. Tetapi kemudian, dia berbalik dan berkata, "i-ingin berjamaah?" Tanya lelaki itu cukup keras.

Kala berbalik, lalu menggelengkan kepalanya pada Regen. "I'm on my red day," Regen mengangguk, lalu masuk ke dalam kamar kecil tanpa mendengar ucapan gadis itu yang menggantung.

Hujan di Negeri 1001 LaranganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang