Sejenak aku berfikir, untuk apa aku memikirkanmu sedangkan aku tak tau kamu juga berlaku sama sepertiku? Lalu, mengapa setiap sekon waktu yang terbuang kenapa aku slalu mengandai-andai tentang dirimu sedangkan aku tak tahu kamu berlaku sama sepertiku? Apalagi, sesaat kamu memanggilku, berbicara satu atau dua kata, harapan yang awalnya sudah mati suri kenapa kamu biarkan hidup kembali?
Nyatanya, aku sendiri tidak tahu kamu menganggapku seperti apa sedangkan aku menganggapmu lebih dari seorang teman. Memerhatikanmu lebih dalam. Mempercayaimu sepertiku mempercayai ibuku. Memahami setiap kamu berlaku. Kekonyolan dan semuanya yang bersangkut denganmu. Bahkan, aku sudah menyiapkan puluhan memori kosong di otakku demi menyimpan waktuku bersamamu.
Aku bisa mengingat salah satu perlakuan konyolmu kepadaku.
Seperti saat itu.
Hari itu, sabtu pagi suasana di sekolah sudah terbilang dingin. Setelah aku memarkirkan motorku, lalu berjalan masuk, menuju lorong sekolah sebelum berbelok kekiri untuk sampai menuju kelas. Namun, langkah kakiku sedikit berat sebelah ketika aku melihat figurmu duduk didepan kelas, dengan pakaian seragam putih-putih yang terbalut jaket abu metalik. Pandanganmu berada ke depan seperti halnya dahimu sedikit mengkerut seakan kamu sedang memikirkan sesuatu. Aku tak tahu apa yang kamu pikirkan ataupun untuk mau tahu. Aku terlalu sibuk memandangmu untuk mengetahui lebih jelas lagi.
Ketika jarak kita sudah berada 2 meter, aku bisa melihat wajahmu. Wajah yang sangat terlihat lelah dan benar-benar pucat, membuatku teringat akan satu hal bahwa aku sudah melupakan kamu yang seminggu terakhir ini, kamu sakit. Kamu terkena tifus sehingga kamu memerlukan waktu seminggu untuk istirahat di rumah dan perlu untukku bersabar menjalani hari-hari tanpa melihatmu. Dan, sungguh ku akui bahwa hari itu memang sangat berat walaupun hari-hari itu kita saling chat satu sama lain. Namun, bagiku itu sama saja. Itu masih belum bisa membuatku lega.
Suara langkahku terlalu keras untuk kamu sehingga mau tidak mau kamu mereflekskan diri untuk menoleh kearahku dan mendapati figurku yang berhenti sejenak menatapmu. Wajah pucatmu menatapku kaget lalu kembali normal ketika aku melambaikan canggung ke arahmu.
"Hai." suaraku bergetar, akan bingung memulai obrolan denganmu bagaimana.
Tatapanmu yang sangat ber-ciri khas dirimu, menyambut hangat sapaan singkatku walaupun aku bisa mengerti kondisimu yang tidak mendukung.
"Hai juga."
"Gimana keadaan lo, baik?" aku mulai berbasa-basi, yang sebenarnya itu tidak berguna bagiku. Aku sudah terlanjur tahu lebih dahulu untuk mengetahui itu.
Namun, tidak ketika kamu menyikapi pertanyaan basiku dengan baik melalui senyumanmu yang kamu buat tegar yang malah bagiku terlihat lemah. Membuatku, tidak bisa untuk tidak khawatir kepadamu.
"Setidaknya, lo gak usah maksain dateng kalo lo masih belum sehat betul." ungkapku tak tahan, membuat matamu sedikit melebar seakan banyak pertanyaan di kepalamu. Namun, kamu mengurungkan niatmu dan memilih untuk diam kemudian menunduk sebelum mengangkat kembali wajahmu menatap kearahku.
Aku mengambil duduk disampingmu dengan jarak yang kubiarkan 2 meter diantara kita. Saling balas membalas dehaman membuatku tidak bisa untuk tidak tertawa jika mendengar cara pembawaanmu melakukan itu memang sangat lucu.
Kamu pun begitu, tertawa lebar hingga menunjukkan deretan gigi rapimu kearahku seakan kondisimu sudah kamu lupakan, dan membuatku tersadar akan satu hal. Kamu tertawa bersamaku. Kita tertawa bersama.
Kamu dan aku.
Hingga, kamu memulai pembicaraan.
"Lo kalo lagi senyum keliatan lucu."