Hawa dingin kota malang, tidak memungkiri bahwa aku, dengan balutan sweater coklat masih dibaluti jaket jeans yang sering kupakai, kedua tanganku menyilang memeluk tubuh mungilku. "I hate you fucking weather." umpatku sudah tidak bisa sabar.
Sudah seminggu, awan gelap itu tidak menurunkan hujan. Membuatku, benci satu hal pada cuaca yang berulang kali menipuku. Sampai-sampai aku tidak bisa melakukan kegiatanku seperti biasanya, seperti contoh, olahraga pagi. Aku tidak bisa mengeluarkan keringatku justru aku yang kedinginan karna cuaca buruk ini.
Maka dari itu, gue ---Vania Septa--- memutuskan selama awan gelap ini tidak kunjung juga berubah terang, selama kakinya belum pegal-pegal, memilih berjalan kaki dari tempat kos menuju kampusku tercinta, yang aku hitung sebagai pengganti olahraga rutinku. Yah, walaupun aku tahu kalau sebenarnya bukannya keluar keringat malah makin membuat tubuhku membeku. Yasudahlah, daripada tidak olahraga sama sekali?
"Vania?" tepukan di pundak, membuatku mengerjap kaget dan buru-buru menoleh ke sumber arah yang kudapati laki-laki tinggi kurus dengan setelan baju hangat terkesan modis, serta topi hoddie berwarna coklat yang ia biarkan menutupi seluruh rambutnya. "Tumben lo naik sepatu?"
Naik sepatu? Spontan aku menatap sepatu putihku heran. Mencoba memahami ucapan laki-laki ini beberapa saat hingga aku berdecih paham. "Dasar, tengil." kesalku sambil memukul kepalanya yang langsung meringis.
Laki-laki itu cemberut maksudku --Daffa-- aku bisa menebak kalau ia sangat kesal dengan sorot mata sinisnya yang tidak berpaling sama sekali padaku, aku yakin dia merutukku karna tingkahku tidak jauh dengan kata preman. Mau bagaimana lagi kalau tingkahku sedikit kelaki-lakian tapi menurutku tingkahku masih di ambang wajar.
"Sakit tau, Van, ini kepala anugrah Tuhan loh, ntar kalo tiba-tiba gue hilang ingatan gimana? Mau tanggung jawab?" omelnya tidak tahan. Raut Daffa terlihat lucu seperti seorang gadis. Bibirnya merucut serta tangan putihnya melebihiku mengacak-acak rambutnya berharap nyeri di kepalanya mereda.
Lantas, aku? Tentunya aku menahan tawaku. Kalau sampai Daffa tahu kalau aku menertawakannya, bisa-bisa ia tidak akan menyapaku selama sehari penuh. Apalagi aku memiliki 2 kali tugas kelompok bersamanya dengan matkul yang berbeda. Dia akan menghukumku dengan nilai. Jadinya, aku dengan berpura-pura tak mau tahu langsung membuat Daffa makin uring-uringan.
"Udah gausa drama." ketusku
Demi kacang rebus dimakan waktu malam, tingkah Daffa semakin kesal. Suaranya menghiasai sepanjang perjalanan sampai-sampai aku bergidik ngeri. Memang aku akui suasana ini yang setiap kali aku nantikan, yaitu melihat Daffa dengan omelan-omelan yang tak henti-henti. Bisa disebut, Daffa-lah yang membuat suasana hatiku setiap hari sedikit berwarna. Yah, walaupun hubunganku dengan Daffa ini hanya sebatas teman kampus, teman kerja kelompok, dan tidak lebih dari itu. Entah kenapa juga aku bisa menemukan sosok Daffa di kampusku dari beribu-ribu mahasiswa. Padahal Daffa hanyalah laki-laki pada umumnya. Oh tidak, sedikit di garis bawahi 'mengomel' mungkin itu sedikit perbedaan Daffa dari laki-laki lainnya. Atau mungkin, karena aku satu-satunya perempuan yang tahan dengan omelannya? Sepertinya itu bisa menjadi salah satu faktor aku sebegitu mudahnya bisa akrab dengan Daffa.
"Serius, Van, lo hampir merenggut nyawa gue." balasnya dramatis.
Aku melirik Daffa dari atas kebawah, "Tapi, lo hidup sekarang." sahutku tak mau kalah dan tak mau tahu.
"Udah ah, males berantem sama lu." Ringisnya kesal. Tangannya menyaku pada celana jeans di pakainya, tanpa melirikku. Aku hanya bisa menggeleng-geleng kepala.
Hampir suasana hening menyelimuti, Daffa memutuskan memulai pembicaraan. Alisnya bertaut keatas penasaran, "Btw, Van, tumben lo jalan kaki?" ia mulai menebak "Lo lagi diet, yakan?"
"Lagi pengen aja." pandanganku menyapu jalan di depanku, tak melirik Daffa yang menatapku penasaran.
"Gue kira lo diet." balasnya. Bahunya sedikit turun, memandang daerah bawah perutku, "Soalnya, lo gemukan sekarang."
Seketika, aku menatap kilat laki-laki tinggi kurus ini, yang ia sendiri malah nyengir konyol, "Becanda, Van, lo body shamming kok hehe."
Bisa-bisanya banci ini ngatain gue gendut? Berat badan itu masalah terberat cewek. Walaupun, aku sedikit nano-nano, aku mengakui, jika perihal berat badan apalagi timbangan, aku sangat sensitif . Maka dari itu, buru-buru aku langsung mempercepat langkahku, meninggalkan Daffa yang langsung menjerit. Aku bisa mendengar suaranya yang memanggil namaku, kemudian menyelaraskan langkahku.
"Lo kok ninggalin gue, sumpa jahat."
"Berisik." kesalku.
Wajahnya condong mendekat kearahku dengan cengiran lebarnya. Aku bisa melihatnya melalui ekor mataku. "Lo ngambek, Van?" tanyanya. Aku berusaha memasang tampang tidak peduli. Sesekali melirik laki-laki itu yang langsung merucut. "Jangan ngambek dong, gue gatau cara jitu bikin cewek tomboi ceria." lanjutnya, tangan kanannya berulah dengan mencoel pipiku berulang kali. Tentunya, aku langsung mempertahankan posisiku untuk tidak menggubris.
"Vania, vania.." Daffa tertawa. "Lo itu unik."
Aku melirik Daffa ragu-ragu namun aku masih tidak membalasnya. Padahal aku bingung. Akhirnya, aku memutuskan untuk mendengar celotehnya bak radio tengah malam.
"Youre different. Maksud gue, look you, gue melihat banyak sisi dari lo. Kadang kala gue liat lo peduli sama gue, kadang juga lo kasar ketika gue berulah. Kadang juga lo lembut ngomongnya kayak cewek, kadang juga lo teriak marah-marah ketika gue ngeledek lo. Baju lo juga kayak cewek, gue sering ngelihat lo feminim, tapi begitu liat cara jalan lo kayak laki-laki." Daffa menggeleng-gelengkan kepalanya tidak yakin. "Oh ya, dan wajah imut lo hmm maksud gue emang sengaja lo imutin atau gimana gue gatau, gue merasa lo emang ditakdirkan jadi perempuan deh, tapi begitu liat cara ngomong lo mirip laki-laki, gue jadi unbelieveable." Daffa menepuk bahuku keras."Eh satu lagi yang lebih parah ketika geliat lo begitu fangirling, joget gajelas waktu muterin lagunya idola lo justin bieber, tapi keinget lo suka mukul-mukul gue, seakan lo temen laki-laki gue otomatis gue kembali gak percaya sepenuhnya itu lo. "
Oh ya?
Namun, untuk beberapa saat aku bisa merasakan tubuhku yang langsung meremang hebat ketika mendengar berderet-deret ucapannya yang sama sekali sulit menemukan sosok Daffa yang kukenal. Wajahnya tampak serius selaras dengan ucapannya entah sadar atau tidak sadar membuatku tidak bisa berkutik.
"Kali ini gue ngeliat sosok perempuan itu, Van, dan itu emang elo. Gue telat menyadari itu. Lo emang perempuan dimata gue, alhamdulillah gue gak rabun."
Daff, lo gak seriuskan ngomongnya? Jujur aja, gue pengin nonjok lo.
---
Song Kang as Daffa Ardiansyah