[2] he'snt mine

51 3 2
                                    

Sore saja masih dingin. Aku dapat melihat dari lantai tiga perpustakaan, keramaian anak kampus yang berbondong kesana kemari dengan jaket tebalnya. Apalagi dari mahasiswa kedokteran dengan bertumpuk-tumpuk buku yang kuduga buku praktikum terlihat dari jas putih yang dipakai, pasti hari ini akan menjadi hari berat bagi mereka. Aku tidak bisa membayangkan betapa ribetnya itu, mengingat aku juga tidak terlalu pi;ntar.

Aku menghela napas panjang. Pandanganku beralih melihat sekitar perpustakaan mencari sosok Daffa yang kutunggu. Aku berencana mengerjakan tugas kelompok bersamanya disini. Namun, ketika aku mulai menopang dagu dan kembali melihat keramaian dibawah, pandangaku tiba-tiba kosong alih-alih pikiranku menyibukkan satu kejadian tadi pagi yang sempat tidak kupercayai. Maksudku, Daffa. Ucapan laki-laki itu seakan memberiku maksud berbeda dari biasanya sukses membuat jantung serta perutku seakan dikelitiki oleh sesuatu yang terbang. Aku tidak tahu itu apa, ada rasa gembira disana. Jarang kualami seperti ini.

"Gila bener, kalo gue jadi mereka, gue palingan main peluk-pelukan sama guling." dengan hitungan detik aku langsung mengikuti sumber arah yang kutemui ternyata Daffa. Dia duduk di sebelahku, kemudian nyengir lebar membuatku hanya bisa bergedek-gedek ngeri. Sejak kapan dia disini? Dia selalu datang secara tiba-tiba. Namun aku tidak menghiraukannya dan kembali menatap orang lalu lalang dibawah.

Daffa sendiri sibuk dengan buku dibawanya. Ia juga mengeluarkan laptop yang ada di tasnya, serta buku catatan berwarna merah muda menyala lengkap dengan peralatan tulis berwarna senada membuatku berdecih. "Are you kidding me? That is a pink notebook in a man's bag?"

Daffa tampak keheranan. Ia mengangkat buku warna merah muda itu dan membolak-balikkan, mencari letak kesalahan buku tersebut, "I think this book is funny, so I have it."

"I also think too." Aku memangut-mangut tak percaya, "Incredible."

Tak lama, Daffa mengerutkan dahinya. Satu alisnya bertaut keatas. "Lo ngeledek gue?"

Aku langsung tergelak dan buru-buru menggeleng.

"Gausa bohong, gue sangat-sangat tau lo." ujar Daffa tak terima. Ia terlihat kesal. Bibirnya tampak berkedut dan napasnya tampak tak teratur saking kesalnya. Aku tidak bisa mengelak bahwa Daffa benar-benar keliatan lucu. Apalagi, kulit putih dan gaya poninya menutup keningnya, ia benar-benar terlihat seorang gadis, menurutku sih. Rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak, namun aku menahannya. Marahnya seorang Daffa tidak bisa di obral, apalagi sekarang aku akan mengerjakan tugas kelompok dengannya. Aku tidak ingin bunuh diri hanya gara-gara masalah sepele seperti ini yang dapat menyangkut nilaiku.

"Udah gausa mulai drama lagi." ketusku sambil menyembunyikan wajahku berpaling ke segala arah

"Lo ngeselin sumpah!" teriaknya memenuhi ruangan, membuat banyak pasang mata melihatku dan Daffa dengan pandangan sinis. Tentunya, aku terkejut. Buru-buru aku membungkam mulutnya dengan kedua tanganku dan mengode ia agar mengecilkan volume suaranya. Laki-laki itu bahkan sangat tidak peduli. Ah, sangat maluu! Namun ketika hendak menutup wajahku, pandanganku tidak sengaja melihat bibir Daffa mengerucut. Keningnya tampak berkerut ketengah sontak aku langsung memecahkan tawaku. Aku sudah tidak tahan lagi.

"Oh seneng ya? Dasar ibu tiri. " ujarnya sedikit penekanan. Nada suaranya berbisik, kali ini Daffa mendengarkanku walaupun kedua matanya memicing tajam kepadaku.

Tanpa tahan, aku memukul bahunya yang langsung meriuh. "Bisa gak sih lo gausa pamerin wajah goodlooking lo padahal lo malah keliatan kayak oppa-oppa korea boyband suka pake gincu." tawaku masih menyelimuti. Namun, kali ini ia tampak keheranan. Ia bertumpu dagu pada tanganya yang di atas meja. Ujung alisnya bertaut keatas. "Good looking? Lo pikir gue bencong?"

Aku mencoba mengontrol tawaku. "Karna gaya lo menurut gue belum di atas wajar cowok pada umumnya."

"Gue ganteng parah gini gak jauh beda sama leonardo." di kalimat terakhirnya, Daffa semakin mengecilkan volume suaranya namun terdapat penekanan "Wah, gila!"

"Maksud gue, kadang sih, jangan marah ya, anak ganteng," rayuku sambil melirik Daffa yang memicingkan tajam kearahku, "Abisnya lo suka warna soft."

Daffa tertawa. Dengan gerakan cepat, tanpa tahu, Daffa langsung meraih puncak kepalaku dan mengacaknya tanpa ampun membuatku meriuh kesal. "Gue suka warna soft bukan berarti gue cewek, bego. Ampun deh."

Aku memicingkan mataku padanya yang tampak tak peduli. "Kan itu cuman prasangka bego!" teriakku hendak membalasnya, namun tanganku tercekal olehnya. Dia menangkis tanganku dengan kedua tangan kurus putihnya. Bahkan aku dapat melihat perbedaan yang amat kontras dengan tanganku yang menggelap. Sangat malu!

Namun, anehnya entah apalagi yang dirasuki laki-laki boyband ini, raut wajahnya seketika berubah tenang. Sorot mata teduhnya, entah kenapa aku memiliki firasat buruk. Jarang-jarang Daffa seperti ini. Daffa melepas tanganku yang ia cekal kemudian menatapku serius "Apa sekalipun lo gak melihat gue sebagai seorang laki-laki?"

Pertanyaan tersebut membuatku seketika mengerjap kaget. Aku menggigit bibir gugup, mengingatkanku akan kejadian tadi pagi sebelum berpisah memasuki kelas masing-masing. Yang paling kubenci, benda yang ada di perutku kembali beterbangan. Aku tidak tahu lagi, ucapannya seperti sebuah permintaan kepadaku. Aku menelan ludah susah payah, "Lo kan emang lahir cowo, Daff."

"Yakali gue tau lah, tapi ini seperti gue udah nganggep lo sama seperti perempuan lainnya. Apa lo juga menganggap gue seperti 'laki-laki' lainnya?"

Persetan dengan gue perempuan dan lo laki-laki, ucapanmu membuatku kembali menggigit bibir.

"I think, I like you Vania Septa."

Aku melongo. Dengan kilat aku melihat Daffa yang tampak nyengir lebar. Sungguh sebenarnya dalam hati, ingin sekali aku membenturkan kepalamu dengan batu agar kamu sadar apa yang kamu ucapkan.

"You think too?" Daffa masih dengan cengirannya. Matanya menatap lekat kearahku membuatku membeku. Tidak bisa berkutik ataupun bersuara. Seakan ada kekuatan magic, kesadaranku dipenuhi tanda tanya olehnya.

Namun, kesadaranku kembali ketika layar handphone Daffa menyala ketika notif pesan masuk, menampilkan foto profil Daffa dengan perempuan yang kukenal tak lain ialah Dinda, teman kampusku, yang sempat aku melupakan bahwa perempuan itu tak lain adalah pacar Daffa. Laki-laki didepanku yang baru saja menyatakan perasaannya tersebut.

Entah kenapa, dadaku tiba-tiba nyeri, ada sedikit rasa kecewa disana. Enggan mengakui ini, ada sedikit harapan yang menghilang akibat mengingat hubungan mereka. Aku hanya bisa tersenyum lebar, menunjukkan beberapa deret gigiku padanya, "Not yet, Daff."

Cengiran lebarmu turun, raut wajahmu yang berubah dalam sekejap seakan ucapanku seperti talak bagimu. Aku bisa melihat sorot matamu yang terluka, mencari letak kesungguhanku. Hampir hening menyelimuti kamu menunjukkan cengiranmu kembali walaupun tidak selebar tadi. Dengan berderet kata membuatku hanya tersenyum kecil. "Lo cewek terhebat yang gue temui. Gue sadar kalo pertemuan gue dan lo sebenarnya terlambat. Gue kecewa akan hal itu. Terlebih gue terlambat milikin lo."

Gue juga suka lo, tapi lo bukan milik gue.
Lo bajingan, Daff. Lo laki-laki ajaib bisa menyukai dua perempuan sekaligus.

Miss Our TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang