Sebenarnya aku melihatmu hari itu. Duduk di tepi lapangan, dengan kaus olahraga yang tampak sangat melekat di tubuhmu. Banyak keringat di dahimu, sepertinya hari itu jam olahragamu hingga bajumu begitu tampak menunjukkan beberapa otot di sekujur tubuhmu. Perlahan, aku menjadi teringat olehmu ketika disaat-saat seperti itu. Kamu pasti tidak ingin mengajakku mengobrol perihal keringatmu. Kamu tidak ingin aku terusik oleh bau badan yang kamu keluarkan. Mengingat itu membuatku tersenyum sendiri, hingga aku tersadar akan satu hal yang sempat kulupakan kehadiran teman di sebelahku.
"Lo kok senyum-senyum sendiri?" teman disampingku curiga. Dengan nadanya yang sedikit mengejek, dia berpaling kesegala arah yang kemudian mulutnya membentuk huruf 'O' begitu melihat figur yang tidak asing. Temanku yang satu ini terpeka dari teman perempuanku yang lain, dengan secepat kilat ia kembali menatapku. Lengan kirinya menyiku lengan kananku. Ia menebak. "Liatin Fano, ya?"
Senyumku terbit tanpa tahan. Dia yang paling mengerti aku, tentunya aku langsung mengangguk mantap membuat temanku ini mengerutkan dahinya bingung. "Emang lo sama dia udah baikan?"
Mendengar itu, seketika senyum terbitku perlahan turun. Mengingatkanku kembali kejadian beberapa hari lalu. "Nggak juga, sih."
"Tuhkan. Ini yang selama ini gue khawatirin." Dea tampak menggerutu. "Hubungan lo sama Fano itu semu. Gaada keterikatan. Jadi gini deh, kalo udah musuhan, hubungan itu seakan gaada. Pergi gitu aja. Makanya gue minta elo buat jauhin Fano. Cowok deketin gebetannya tanpa ada hubungan yang mendasari, pengecut itu namanya."
Ujaran Dea sangat tajam, membuatku berpikir memang ada benarnya. Dulu entah kenapa aku menginginkan dia tanpa ada hubungan yang mendasari. Mungkin itu juga letak kesalahanku berada. Menjadi perempuan tanpa berpikir dua kali. Seakan aku berani menanggung resikonya.
"Itu kelemahan lo, Ras. Jangan berpura-pura mampu."
Detik itu aku meyankinkan diriku untuk saatnya menjadi kuat.