hurt //

51 3 0
                                    

Banyak yang seharusnya ingin kukatakan setelah kamu memilih dia

"Semoga bahagia."

***

Pukul 8 pagi jadwal penerbanganku pulang ke Indonesia. Aku melirik laki-laki disampingku. Dengan tampang lesu, ia memainkan jariku yang menggenggam tangannya. Kemudian dia menghela nafas panjang, "Tidak bisa pulang besok saja?" suaranya nyaris berbisik.

"Apa?"

"A-aku hanya um.. barangmu masih banyak tertinggal disini." ucapnya terbata masih nyaris berbisik. Robbie menepuk tanganku pelan dan mengusapnya. "Pulang besok saja, ya?" pintanya. Aku bisa melihat sorot matanya itu berbinar, mengharapkanku untuk tidak pergi.

Aku tersenyum begitu mengingat dia yang menjemputku tadi pagi-pagi sekali dengan bermacam alasan. Notabene takut aku 'bangun kesiangan','lupa sarapan','tidak membawa perlengkapan mandi', layaknya seperti anak kecil yang sedang pergi tamasya disekolahnya. Dan, Robbie tahu betul kalau aku bukanlah tipikal orang yang pelupa. Memang aku agak sembrono namun, Robbie tahu kalau aku orang yang tidak pernah melupakan sesuatu hal dari yang penting sampai tidak penting. Akhirnya terbukti, ketika ia berada di flatku. Ia tidak mau jauh dariku ataupun melepas tanganku, walaupun itu aku sedang menyiapkan sarapan. Ia seakn tidak memberiku celah untuk melakukan kegiatan apapun. Memang sih, sebentar lagi aku tidak bisa menemuinya, hanya memberi kabar melalui via telfon, tidak bisa melakukan rutinitas seperti biasa yang kulakukan dengannya. Tapu ini yang paling penting, honestly, memang terkadang aku agak jengkel dengan sikapnya yang terlalu gengsi terhadap perasaannya itu. Padahal aku juga membutuhkan perasaan nyata tersebut. Apa susahnya sih untuk mengutarakannya? Lagipula aku juga tidak akan marah.

Aku cemberut, "Jangan konyol, aku sudah berulangkali menunda jadwal pulangku." Aku menengadahkan wajahku, menatapnya tepat di mata dengan hangat. "Hanya 2 bulan, sweatheart. Tidak lama kok."

Sorot mata bulat Robbie sedih, aku bisa melihat itu dengan jelas. Kemudian, ia memelukku dengan menyelimutkan jaket yang dipakainya kepadaku seperti hal yang sudah biasa ia lakukan. "Tetapi, barangmu masih banyak tertinggal disini."

Aku tertawa kecil, "Susah ya untuk bilang, 'nanti aku akan sangat rindu'."

Robbie melirikku sinis tidak berkutik hingga beberapa saat ia menghela napas kecil kemudian dia melontarkan ucapan yang membuat seluruh badanku meremang. Ungkapan yang jarang-jarang diucapkan olehnya

"Winter is nice to be meet you, Lisa. l'll to miss you in my mind. I love you."

"Me too, sweatheart." aku memejamkan mataku. Nyaman. Aku akan merindukan saat dimana seperti ini.

"But, i'm afraid."

"For what?" tanyaku bingung.

"Setiap kali mendengar kamu pulang, i just afraid about Evan."

Dengan sekejap, tiba-tiba rasa sakit menjalar di dadaku ketika mendengar nama itu. Nama itu pula membuat beberapa kenangan pahit empat tahun lalu terlintas begitu saja. Bukannya i can't move on it, hanya saja aku masih sensitif dibeberapa hal mengenai Evan. Aku benci mengatakan ini, namun memang benar, tidak semudah itu untuk melupakannya.

Aku menghela nafas panjang, mencoba menenangkan pikiranku. Terutama, saat seperti ini dengan Robbie, "Your mine for me, Robbie. You know it."

Miss Our TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang