IV. Mereka!

200 16 3
                                    

Pizza Hut - Jl.Tole Iskandar, Sepulang Sekolah, 2010.

Sudah dua hari ku cari sosok tegap itu, lelaki bermata hitam pekat itu. Namun batang hidungnya tak kunjung tampak. Sempat ku cari dikelasnya ia tak ada. Tidak secara terang-terangan memang, aku pura-pura lewat ke toilet dan melirikan mata. Tempat duduknya kosong dalam tiga hari terakhir! Yakni hari Jumat, Sabtu dan Senin ini - pada masa SMA-ku hari Sabtu masih diwajibkan masuk sekolah. Seperti neraka, bukan? Sempat pula ku cari dikantin, tempat eksklusif Andra dan kawanannya yakni dibagian depan pintu kantin. Siapa pun yang memasuki kantin akan menjumpai mereka terlebih dahulu. Seperti malaikat yang sedang menyeleksi orang-orang yang masuk surga saja duduk didepan pintu.

Jika kalian berpikir aku mencarinya untuk sesuatu hal yang manis, tidak. Jelas salah. Karena aku akan melemparkan golok kearah wajahnya beserta seluruh pasukannya agar tahu diri dan mengerti bahwa etika itu ada, harga diri seseorang tidak boleh diinjak seenaknya! Mengapa kisah disinetron itu harus ada di dunia nyata? Seakan yang lemah memang layak untuk dikucilkan. Tidak sebenarnya, aku tidak mungkin melempar golok.

"Itu ngapain garpu diputer-puter doang? Makan, Xil. Keburu dingin" kata seorang lelaki didepanku. Aga.

Sejak tadi aku memang belum menyentuh pizza yang telah ku ambil dari loyangnya. Pizza lezat pun terlihat seperti panggangan keju busuk saat aku memikirkan kejadian waktu itu - saat anak baru itu dibully.

"Tuh kan! Lo pasti masih kangen sushi, ya kan?" tanya seorang wanita berambut panjang yang selalu tergerai dan duduk disampingku. Moni. Baru kali ini ku lihat ia melepas pandangannya dari smartphone tosca kesayangannya.

"Gue baru pulang dari Jepang tiga minggu yang lalu, nggak mungkin kangen sushi. Udah muak kok disana hidup tiga belas tahun tiap lunch pasti ketemu sushi" jawabku ketus sambil menusuk-nusuk sepotong pizza yang ada dipiringku dengan tidak memandang teman-temanku. Moodku kacau.

"Ih, itu orang borokan anjir. Pengen gue garuk kakinya" selak Siti secara tiba-tiba, menyelak Aga yang sempat ingin menyautiku. Kami semua menengok ke arah lelaki yang duduk di meja yang membelakangi kami semua.

"Jorok ih!" sahut Moni.

"Lucu tau! Ih pengen gue garuuuk" seketika Siti bangkit dari kursinya. Kami semua terbelalak.

"Sit, lo mau ngapain?" tanya Aga dengan nada panik, dengan wajah yang ikut panik juga.

"Mau nyamperin cowok itu, mau minta izin garuk borok dikakinya" jawab Siti santai sambil mulai keluar dari barisan.

"Siti! Asli nggak lucu!" jawabku sambil meraih pergelangan tangannya. Aga turut memegang pergelangan tangan Siti seperti yang ku lakukan.

"Hahaha, nggak deng. Mau ke toilet" katanya sambil tertawa ringan. Namun tatapan matanya tak kunjung beralih dari bekas-bekas luka dikaki lelaki berkulit putih itu. Aku jadi curiga bahwa Siti mungkin saja mengalami trauma berat saat kecil atau jiwanya tertukar dengan seorang psikopat. Sungguh mengerikan, seperti mengalami kejiwaan.

Ku lihat Siti menjauh dan menghilang di balik bilik toilet, syukurlah ia tidak menggila dan benar ke toilet. Tiba-tiba lelaki itu - lelaki yang sejak tadi kami berempat perhatikan dari jauh karena borok dikakinya - memutar lehernya, memandangku. Bahkan tatapannya bertemu dengan bola mataku tepat. Astaga, itu salah satu kawanan Andra!

"Ga?" bisikku pada Aga.

"Apaan?" tanyanya santai sambil meng-scroll layar handphone-nya dan terus mengunyah pinggiran pizza yang berisi keju leleh.

"Itu siapa?" tanyaku sambil melirik ke arah lelaki itu. Kini lelaki itu sudah itu menengok ke arah mejaku, namun aroma-aroma tidak enak tetap tercium. Aku tetap memiliki firasat buruk.

"Mana?" Aga menengok dan mengikuti arah lirikan mataku. "Pelayan" sambungnya. Astaga, ia salah tangkap! Ia malah menyangka aku menunjuk seorang wanita berambut pendek yang memakai seragam pelayan, jelas saja itu pelayan.

"Bukan! Bukan yang itu!" jawabku dengan nada memekik namun dengan volume serendah mungkin.

"Mana sih?" tanyanya dengan alis naik.

"Itu loh, yang lagi telfonan" jawabku, masih berbisik. Saat itu memang ia mulai menelepon, mengeluarkan salah satu keluaran blackberry jenis terbaru - karena pada waktu itu blackberry sedang naik daun - dari saku celananya.

"Oh, Arie. Temennya Andra. Andra yang waktu itu nyamperin lu" jawabnya santai sambil menoleh sebentar lalu kembali memanglingkan wajahnya ke arah benda prioritasnya, smartphone. "Astaga! Astaga, jadi dari tadi orang borokan yang kita omongin itu si Arie?" tiba-tiba ia setengah berteriak dan langsung menoleh kembali ke arah lelaki tadi.

Arie. Aku mulai tahu satu nama kawanannya. Ingin rasanya aku langsung berdiri, menggebrak mejanya agar dia tersedak garpu atau sendok yang sedang ia masukkan ke dalam mulutnya dan mengajarkan bahwa etika itu ada dan harus diajarkan. Bahwa rasa hormat itu ada karena wibawa dan prestasi, bukan hentakan dan bentakan pada semua yang lemah. Bahwa segalanya memang butuh uang, tapi uang bukanlah segalanya. Jangan merajakan diri sendiri hanya karena uang.

"Udah belom? Bayar deh, panggil pelayan, Mon" kata Siti tiba-tiba bergabung sambil mengorek-ngorek gigi bagian belakangnya dengan jari telunjuk. Astaga Siti, aku khawatir Siti akan menjadi perawan tua karena kelewat-bodo-amat pada dirinya sendiri.

Setelah membayar dan dibumbui percekcokan sedikit - karena ternyata dompet Moni tertinggal dikelas dan terpaksa ditanggung kami bertiga - kami pun keluar dari rumah makan itu dan mulai mencari angkot. Tidak terlalu sulit memang karena letak restoran ini berada dipinggir jalan.

"Kita duluan ya, Xil" kata Aga sambil mengambil ancang-ancang menyebrang untuk menaiki angkot ke arah Beji.

"Iya, hati-hati ya" teriakku saat mereka bertiga mulai menyebrangi padatnya lalu-lalang kendaraan. Ya, mereka bertiga memiliki rumah searah. Bahkan rumah Aga dan Moni berdekatan.

Ku lihat mereka bertiga mulai menaiki angkot yang sama dan menjauh, hilang dari pandangan mataku. Aku menunggu angkot dengan tujuan ke arah Raden Saleh - daerah paling sempit dan macet se-Kota Depok - lama sekali!

Tiba-tiba ada seseorang yang berdiri dibelakangku, aku sempat merasakan nafasnya dileherku. Tidak, firasatku buruk. Satu detik kemudian mataku buram, aku tak bisa bernafas. Sapu tangan itu menyeka mulut dan hidungku, seketika lututku lemas. Dengan mudah lelaki itu menggeretku masuk ke dalam mobil. Minibus? Sedan? Ntahlah, tak terlihat lagi olehku. Herannya, tak satu pun yang melihatku sedang dalam keadaan begini. Atau mungkin ada yang melihat tapi tak peduli?

*****

Panas. Cucuran keringat didahiku dapat kurasakan mengalir kearah hidung, melewati bibirku dan terus mengucur ke arah dagu.

Ku buka kedua belah mataku yang masih setengah buram, nafasku masih memburu, bius yang sempat menyiksaku kini telah sirna. Ku kerjapkan mataku berkali-kali, betapa terkejutnya aku pada apa yang ada dihadapanku. Mereka!

Hai! Cmiwiw udah dipost part 4. Kalo biasanya update pasti siang-siang, hari ini terpaksa update tengah malem karena tadi siang sempet mabok opor ayam jadi ya gitu deh. Btw, part ini udah mulai nanjak. Kalo part-part sebelumnya masih mainstream dan terlihat hambar plus gak menarik, kali ini mulai ada petunjuk dan teka-teki. Hehehe biar pada sambil mikir ya bacanya, biar penasaran. Jangan lupa vote dan comment ya! Biar akunya semangat pas nulis hehehe.

Hati-hati kalo jalan, biar gak jatoh. Hati-hati kalo makan, biar gak sakit perut. Dan hati-hati jatuh hati, biar nggak patah, karena hati cuma satu. Salam Asquandra! :)


Who Are You, Levin?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang