IX. EC120 Eurocopter

169 12 3
                                    

Tiga hari setelah hari itu.

Ku gosokkan handuk berwarna merah muda itu ke rambutku yang masih basah. Membiarkan tetesan-tetesan air yang masih bergelayutan pada helai rambutku kini jatuh diatas lembutnya handukku.

Ku rebahkan tubuhku diatas tempat tidur dalam keadaan tengkurap. Masih pukul lima, batinku. Tunggu, ada sesuatu yang menjanggal di dalam rebahan tubuhku, ada yang mengganjal diperutku. Sebuah kotak yang tidak berukuran terlalu besar telah tertiban badanku. Ku raih kotak tersebut dari balik perutku. Terbungkus kertas kado, diberi pita merah diatasnya. Heran, ku tarik bagian ujung pitanya dan terbukalah. Ku buka tutupnya dan betapa terbelalak mataku bahwa didalamnya terdapat handphone keluaran terbaru, masih mulus dan tertata rapi. Segalanya masih baru dan terbungkus plastik.

Aku menganga, bingung juga. Namun ada sebuah tulisan dengan tinta hitam dibagian bawah kotak yang ku sadari juga karena telah memutar-mutar kotak tersebut, berharap ada petunjuk seperti di serial film Sherlock Holmes.

Aku ada dibawah.

Seketika bulu kudukku berdiri, baru menyadari bahwa aku sendirian dirumah. Ayah sedang berada di Jepang sejak kemarin, mengurus beberapa surat kepindahan kerjanya ke Indonesia. Sedangkan tak pernah ada siapapun lagi dirumah ini. Bila memang ada hantu, mana mungkin hantu tersebut membelikanku sebuah handphone keluaran terbaru?

Ku buka pintu kamar, ku ambil payung dari balik pintu. Berjaga-jaga saja, siapa tahu yang tadi itu maling. Seperangkat barang mahal yang ia letakkan diatas kasurku merupakan pancingan agar aku mau turun ke bawah dalam keadaan berbunga-bunga, lalu ia membius dan menculikku. Lalu aku dijual ke Mesir untuk menjadi budak. Tidak, tidak, khayalan ini terlalu jauh.

Ku turuni tangga dengan perlahan, mengendap-ngendap. Sekarang malah aku yang terlihat seperti malingnya. Ku lihat sesosok tegap berdiri disamping sofa sambil berkacak pinggang, lelaki berambut gondrong. Ia menengok dan menatapku. Senyumnya mengembang saat tatapannya bertumbuk pada tatapanku. Aku turut tersenyum. Ku turunkan payung yang sedari tadi ku angkat tinggi sambil berlari ke arahnya. Ku peluk tubuhnya, tubuh yang tidak terlalu tinggi. Pelukannya ku rindukan, bahkan helaan nafasnya pun turut menjadi sebagian helaan nafasku.

"Ayah!" teriakku sambil menangkup dirinya. Ia turut memelukku tak kalah erat.

"Xili!" teriak ayah tak kalah heboh.

"Suka nggak?"

"Apanya, yah?"

"Kadonya. Kamu kemaren dapet beasiswa kan belum ayah kasih kado" jawabnya sambil mengelus lembut rambut hitamku.

"Gak ah, yah" tolakku sambil mulai membuang pandangan. Ku ingat lagi di masa-masa yang sudah lewat, lubang kelam itu pernah ada dan terbuat. Hutang-hutang itu pernah jadi nyata.

"Kenapa?" tanya sambil menatapku, dapat ku rasakan tatapan matanya menghujam jantungku. Namun tak mau ku tatap balik. "Ayah nggak ngutang lagi kok" ujarnya dengan suara lirih, seakan menjawab segala perdebatan dalam kepalaku. Lirihannya sukses menyayat hatiku.

"Ayah mau aku masakin telor dadar nggak?" tanyaku, mengalihkan pertanyaan yang memburuku. Ia tersenyum.

"Mau" jawabnya sambil mengelus kepalaku lagi.

Aku tersenyum lagi. Aku jadi teringat resep masakan telur dadar buatan Levin, aku ingin mempraktekkannya sendiri dirumah. Telur, garam, susu, margarin dan daun bawang. Ku racik seperti apa yang diajarkan Levin padaku, dan hasilnya memuaskan.

*****

"Siti!" teriakku saat melihat punggungnya dari kejauhan. Tas export berwarna hijau muda itu menggelayut pada sebelah bahunya. Ia menengok dan tersenyum lebar.

Who Are You, Levin?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang