XVI. Leon

104 7 3
                                    

"Pak Haji!" lelaki yang diteriaki tersebut menengok, memberikan senyuman hangat ke arah kami berdua.

"Ini pasti Xili, ya? Memang cantik ternyata." ujarnya sambil menatapku. Ah, ternyata bukan hanya senyumnya, tetapi tatapannya juga menghangatkan. Dari kesan pertama yang seperti ini, aku menyimpulkan bahwa aku akan betah bekerja dengannya. Eh, tapi kalimat terakhirnya agak terasa mengganggu telinga.

"Iya, saya Xili. Terima kasih ya, Pak Haji. Saya sudah diizinkan bekerja disini" aku menjulurkan tanganku ke arahnya, yang segera disambut baik oleh tangannya pula.

Ku lirikkan mata ke arah Levin, ia malah menatap yang lain. Menebarkan pandangan pada apa pun yang ada disekelilingnya. Tidak tersenyum. Bahkan mungkin tidak memperhatikan percakapan singkat antara aku dan Pak Haji barusan.

"Masuk dulu yuk, sekalian minum. Kan mulai kerjanya baru besok, jadi hari ini kita ngobrol-ngobrol santai aja" jelasnya sambil mulai membalikkan badan. Lelaki seumuran ayahku itu – mungkin lebih tua sedikit – mulai melangkahkan kaki sambil memberi aba-aba agar aku mengikutinya.

Ku lirik sekali lagi ke arah cowok itu, ternyata ia juga melirik ke arahku. Jantungku terasa berkali lipat lebih lambat dalam bekerja, aku nyaris meninggal melihat lirikannya.

Kami masuk ke dalam rumah makan kaki lima tersebut. Sebelumnya, beberapa minggu yang lalu tepatnya, aku pernah ke sini.Saat itu hanya aku dan Levin, aku menemaninya bekerja. Jika kamu menebak-nebak apa pekerjaannya, jelas bukan apa yang ada dipikiranmu. Dia bukan pemilik dari tempat ini, ia tidak sekaya itu. Dia juga bukan tukang bersih-bersih, tukang rumput, atau pelayan. Dia mendapat posisi terbaik dari sebuah rumah makan, yakni bagian meracik makanan.

Jadi, racikan telur dadar yang ia ajarkan padaku waktu itu hanyalah sebagian kecil dari ilmu dan keahliannya dalam memasak. Percayalah padaku, hasil masakannyalah yang membuat rumah makan ini berhasil menarik ratusan pelanggan setiap harinya.

"Bikinin makanan dong" ucap Pak Haji sambil duduk dihadapanku. Levin hanya mengangguk dan tersenyum simpul, lalu meninggalkan aku dan Pak Haji. Ku tatap punggungnya yang menjauh, lalu kembali menatap lelaki baik hati dihadapanku.

Ya, baik hati. Sebab ia tidak melihat ijazahku, lulusan apakah aku, dan apakah aku punya sesuatu yang istimewa. Ia mempekerjakanku tanpa pertimbangan berat. Ntah apa yang dikatakan Levin hingga lelaki rendah hati itu mau mempekerjakanku.

"Besok kerjamu ya kayak mereka itu aja, lap meja, bersihin piring kotor, bersihin kaca. Ya begitu-begitu sajalah" jelasnya, membuka percakapan sambil menunjuk beberapa orang pemuda yang sejak tadi mondar-mandir. Ntah karena sibuk membersihkan, beres-beres, atau melayani pembeli.

"Iya, pak"

"Kamu ini sudah berapa lama kenal Levin?"

"Belum ada setahun, kenalnya karena satu sekolah aja kok" jelasku sambil tersenyum canggung. Percayalah, ini pembicaraan basa-basi.

"Kenal orang tuanya?" aku meneguk ludah. Apa-apaan? Ya jelas tidak. Lagi pula untuk apa aku harus mengenalkan diri pada orang tua Levin? Seperti acara lamaran.

"Wah, nggak" lagi-lagi aku tersenyum ragu.

"Saya ini bingung, anak sepinter dan sekaya dia mau apa lagi yang dicari? Wong masuk sekolah saja pakai beasiswa, untuk apa lagi cari uang?" jelas Pak Haji dengan panjang lebar. Tunggu. Ini bukan kesalahan telingaku 'kan? Aku meneguk ludah, menatap bapak tua dihadapanku dengan tak percaya. Namun ia sepertinya tak memperhatikan aku yang seperti habis terkena bogem mentah.

"Emang Pak Haji gak kenal orang tuanya?"

"Saya? Wah, kamu yang dekat saja gak kenal, apa lagi saya"

Who Are You, Levin?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang