XV. "Ambil Aja Kembaliannya"

123 8 2
                                    

"Lo bukannya sebel sama dia?" alisnya terangkat, pertanda heran. Aku jadi ikut heran. Baru saja kata terakhir selesai ku lontarkan saat bercerita tentang apa yang terjadi padaku beberapa hari yang lalu, aku langsung diserang masa.

"Sebel? Kenapa harus sebel?" tanyaku.

"Iya, Xil. Lo bukannya gak suka sama dia?" ujar Siti, seperti mendukung perkataan dari Moni. Eh, apa-apaan mereka ini?

"Sebel kenapa sih?"

"Katanya lo gak suka sama antek-anteknya Andra, kenapa gak lo tonjok aja mukanya waktu lu ketemu si Aldo?" ucap Aga, kini lebih sangar. Aku terkejut, jadi takut sendiri mengingat kini diposisi tiga lawan satu.

Aku termenung mendengar kata-kata tamparan dari Aga itu. Benar juga, ya? Namun saat berhadapan dengan lelaki itu, aku tak berpikir panjang. Tutur katanya lembut, tatapan matanya hangat. Tak tergambar sama sekali bahwa ia adalah seorang yang jahat. Aku sampai lupa lukisan jelas dalam otakku bagaimana mereka semua membully Levin, termasuk Kak Aldo.

Dan pada saat itu ia juga mengungkap fakta tentang Andra yang sukses membuatku menganga, bagaimana Andra belajar membedakan Rigel dan Vega dari atas atap. Atap tempat biasa aku dan Levin bertemu dan membuat kenangan.

"Tunggu! Tunggu!" ucapku setelah mencerna segala gejolak kata dalam pikiranku barusan.

"Eh ntar dulu dong ceritanya, gue kebelet pipis nih" sangkal Siti sambil mulai berdiri dari tempat duduknya dan berlari secepat atlet kearah toilet. Biar ku beri tahu, bahwa selain menggaruk borok dan terlambat pada segala hal, kebiasaan Siti yang lainnya adalah kebelet untuk membuang. Baik besar maupun kecil. Apa kalian paham?

"Udah nyusul aja cerita ke Siti, mending cerita dulu ke gue sama Moni." Aga mulai menduduki tempat yang sebelumnya diduduki oleh Siti.

Aku menengok ke arah toilet. Satu detik, dua detik, satu menit, bahkan dua menit. Pipis katanya, apa iya selama ini? Ku tatap Aga dan Moni yang sejak tadi sudah menunggu-nunggu, berharap aku akan segera melontar kata pertama sebagai permulaan cerita.

"Kalian kepikiran nggak sih?" tanyaku. Ku tatap mata Moni lekat-lekat berharap ia akan mengatakan sesuatu yang memuaskan. Ia malah menggeleng.

"Apaan sih? Baru juga mulai cerita, ya mana kita kepikiran, Xil!" tandas Aga dengan sigap sambil memutar bola mata. Eh, iya juga ya?

"Gue mikir, kalo emang Andra sering pake atap itu untuk belajar bedain Rigel sama Vega, trus kenapa dia nggak pernah ada disana?" selidikku dengan mata menyipit.

"Dia pergi mungkin? Dia kan orang sibuk" tutur Moni sambil mulai membenarkan posisi duduknya. Kini ia terlihat seperti anak balita mendengarkan ibunya yang sedang mendongeng dengan saksama.

"Bukan, bukan gitu. Berdasarkan cerita dari Kak Aldo, dia kayak bener-bener memprioritaskan tempat itu dari semua bagian gedung yang ada. Kayak spesial, tapi kenapa dia gak keliatan kayak gitu?" jelasku. Agak terbata, sulit sekali menumpahkan segala pikiran yang berputar pada kepalaku.

"Gue gak ngerti deh, Xil" Aga akhirnya angkat bicara.

"Lo tahu gak sih kalo yang pernah naik ke atap itu cuma gue sama Levin?"

"Aldo?"

"Iya, sama orang yang satu itu. Cuma maksud gue, disana tuh gak pernah ada orang. Sepi. Hening. Dan ketika gue dapet penjelasan itu dari Kak Aldo, gue mikir, apa iya bahkan si pembuat tempat itu gak pernah menyambangi apa yang dia buat?" jelasku dengan berapi-api. Sempat ku lihat Aga meneguk ludah dan Moni mengerjap-ngerjapkan mata. Bukan hanya mereka yang tertegun, tapi aku juga ikut tertegun menyadari betapa semangatnya aku dalam pembicaraan ini.

Who Are You, Levin?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang