VI. Levin

193 18 3
                                    

Jalan Melati, masih di hari itu.

"Udah?" tanyanya sambil mematikan mesin motor tuanya.

"Ya iya" jawabku santai lalu turun dari tempat duduk dibalik punggungnya. Selama perjalanan, aku dapat mencium aroma parfum lelaki yang menyengat, tetapi tidak membuat pusing. Baunya enak. Ntah aroma cokelat, strawberry, atau mungkin aroma-aroma yang lain, yang penting enak.

"Deket banget, ini sih jalan kaki juga nyampe!" katanya ketus sambil mengambil helm yang selama lima menit ini ku kenakan dikepalaku. Tercium aroma busa yang masih baru, helmnya masih mulus. Terlihat belum memiliki cacat dan masih kinclong. Apa iya helm ini baru dibeli?

"Iya sih, tapi kan udah mau hujan! Tega ya ngeliat cewek keujanan?" tanyaku dengan nada selidik sambil mulai merapihkan bagian rambut yang naik karena memakai helm.

"Haus nih" katanya santai dan tidak menjawab pertanyaan terakhir dariku, kebiasaan. Sambil turun dari jok motornya, mencabut kuncinya yang sedari tadi menggantung dan turut melepas helm seperti yang ku lakukan. Kode banget minta diajak masuk, batinku.

"Bentar lagi juga turun" jawabku ikut-ikut santai sambil berlalu dan mulai membuka selop gerbang dari dalam melalui celah kecil yang sengaja dibuat oleh Ayah.

"Apanya?"

"Hujannya"

"Lo nyuruh gue minum air hujan, gitu?"

"Iya. Thanks ya" jawabku sambil masuk ke dalam gerbang. Lalu aku tertawa keras, benar-benar kencang. Membayangkan lelaki culun itu harus menganga lebar demi menghilangkan dahaganya lewat air hujan, belum lagi rambut lurusnya akan menjadi lepek dan kacamatanya akan basah. Sungguh lucu, walau tidak ada yang melawak.

Ku buka kembali pintu gerbang besar itu dan menemukannya masih terduduk diatas motor vespa, masih terparkir seperti tadi. Wajahnya memandangku dengan tatapan tajam, aku malah tertawa.

"Gue punya air yang lebih layak untuk diminum kok daripada air hujan, masuk" ucapku sambil tersenyum lebar seraya membukakan gerbang bercat putih itu dengan lebih besar. Menjadi pertanda juga bahwa aku menyuruhnya membawa motornya untuk seraya masuk.

Ia memasukan motornya ke dalam rumah, memarkirkannya di dalam bagasi. Bagasi itu kosong karena mobil yang pernah ada didalamnya kini sudah berubah menjadi lembaran-lembaran uang dan telah berganti kepemilikan, yang tadinya milik ayahku, kini menjadi milik bank-bank yang pernah dihutangi oleh Ayah.

Aku memang anak tunggal. Namun, percayalah, bahwa membiayai kehidupan ini sulitnya tak terhingga. Semenjak ibu meninggal, ayah lebih memilih pindah ke Indonesia. Selain karena biaya hidup disini lebih murah, Ayah juga dapat menghindari hutang-hutang yang terlanjur dibuatnya. Demi memenuhi segala kebutuhanku, ia rela dikejar rentenir dan para preman-preman. Demi membahagiakanku, ia rela menjual segala barang kesayangannya. Belajarlah, bahwa jika hari ini orang tuamu tidak sanggup memenuhi segala keinginanmu, atau hari ini mereka membuatmu kecewa karena kamu tidak bisa memiliki segala barang mahal yang kamu inginkan, maka percayalah, yang mereka berikan hari itu tetaplah yang terbaik.

"Mau minum apa?" tanyaku sambil berjalan ringan menuju dapur. Ia sudah masuk dan duduk di sofa teras.

Rumahku memang bertingkat, namun tidaklah mewah seperti yang ada dibayanganmu. Hanya ada dua kamar tidur, yakni dibagian bawah dan atas. Begitu pula dengan kamar mandi. Lalu ada sebuah dapur kecil dibagian belakang beserta ruang makannya. Dan ada taman dan bagasi dibagian samping rumah, se-simple itulah.

"Apa aja selain air hujan" jawabnya setengah teriak karena aku mulai meninggalkannya menuju ke dapur, sontak aku tertawa. Sempat ku lihat ia mengeluarkan sebuah handphone dari saku celananya dengan ekspresi wajah dikejar anjing, bingung dan panik.

Who Are You, Levin?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang