VIII. "Teriak-teriak Bikin Laper"

254 11 1
                                    

Masih di hari itu.

"Dasar cupu" teriakku sambil memukul bahunya dengan tas selempangku - yang isinya hanya sebuah buku kecil dan sebuah pensil - dengan sangat keras. Biar saja, itu sebagai hukuman karena ia berani menjemputku hanya sampai mulut gang.

"Takut" lirihnya gugup dengan sedikit tengokan ke arahku.Ternyata wajah cupunya telah menjalar sampai sifat di dalam dirinya.

"Bokap gue nggak gigit" jawabku sambil naik ke jok belakang. Dinyalakannya vespa tua tahun keluaran '78 itu, deru mesinnya meraung dan asap knalpotnya tak mau kalah saing.

"Tapi bokap lo kumisan..."

"Terus kenapa?"

"Kayak Hitler"

"Gue tusuk juga nih jakun lo biar mendelep ke dalem! Biar kumisnya kayak Hitler, sifatnya beda jauh kok" teriakku ke telinganya, berusaha melawan suara bising mesin tua yang sejak tadi memecah sunyinya malam Jalan Siliwangi.

Lalu hening. Tak ada percakapan selama beberapa detik. Mungkin ia sedang membayangkan bagaimana jika aku benar-benar menohok jakunnya, sama seperti yang ku lakukan sekarang. Ngeri juga jika dibayangkan.

"Udah makan?" teriaknya tak kalah kencang.

"Hah?!"

"Dasar budek!"

"Mana gudeg?" tanyaku. Suara berisik mesin vespa ini benar-benar menyiksa.

Dia tak bicara lagi. Tidak menjawab pertanyaan "mana gudeg" yang ku ajukan. Aku salah dengar atau apa ya? Karena ku lihat dari kaca spion wajahnya sedikit kesal.

Sepanjang perjalan selama lima menit itu hampir tidak ada percakapan. Hanya ada suara dehamanku - karena terlalu banyak menghirup gas pencemar dari knalpot - dan suara dering telepon masuk dari saku celana Levin.

"Emang boleh?" tanyaku ketika benar-benar berdiri di depan gerbang sekolah. Dan ku pastikan, aku bicara saat mesin motor itu telah benar-benar mati agar obrolan ini tidak perlu dilakukan dengan berteriak.

"Boleh"

"Kata siapa?"

"Kata gue" jawabnya santai sambil mulai memanjat sisi dinding yang berbatu dan banyak memiliki celah-celah sehingga mudah untuk dijadikan pijakan.

"Kalo nanti di tangkep Pak Husein, gimana?" tanyaku ragu.

"Emang kalau pun ketangkep terus dia bakal apain kita?" jawabnya dengan balik bertanya.

Dia mencapai puncak dinding - yang sebenarnya lebih mirip Tembok Cina karena tingginya melebihi ukuran dinding pembatas - dan mengulurkan tangannya padaku. Aku mengikuti pijakan kakinya dan meraih telapak tangannya yang lagi-lagi sedingin biang es seperti tadi siang.

Dan benar saja, tak ada seorang pun disana. Semua ruangan terkunci rapat, bahkan lampu-lampu pun sebagian besar dipadamkan, kecuali ruangan-ruangan kelas yang berada di lantai dasar. Kami melewati lapangan besar dan parkiran yang luasnya mirip dengan kandang dinosaurus. Melakukan hal yang sama seperti siang tadi, yakni berjalan secara hati-hati dan tersiksa diantara celah-celah bangunan, memanjat tangga berukuran sedang berwarna hitam yang sudah menempel permanen pada sisi bangunan, dan bernapas lega saat mencapai puncak bangunan.

Semilir angin berhembus, menggelitik rambutku dengan halus. Duduk di pinggir bangunan memanglah yang terbaik. Berhubung bangunan ini merupakan bangunan yang berada dipaling pinggir jalan raya dan gedung yang paling tinggi, maka seluruh aktifitas penduduk kota belimbing pada malam itu bisa sangat terlihat jelas.

"Sini" tepukku pada tempat disampingku. Memberi tanda bahwa aku mengajak Levin untuk duduk dipinggir puncak gedung dan merasakan sensasi dibelai angin malam secara nyata.

Who Are You, Levin?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang