V. Rambut Mangkok

189 14 2
                                    

masih 2010.

Tak ku tulis lokasi saat menulis cerita ini, karena pada saat kejadian ini berlangsung, aku benar-benar tidak tahu aku berada dimana.

Sempat ku lihat Arie keluar dari restoran tak lama setelah aku dan teman-temanku keluar. Naik mobil? Menunggu angkot? Tidak. Ia hilang begitu saja sambil terus menempelkan handphonenya ditelinga kanan dan berbicara. Terlintas dibenakku bahwa dialah yang melakukannya. Nyatanya salah. Saat mataku benar-benar terbuka, aku terbelalak.

"Lo lagi!" teriakku dengan sangar dan membenarkan posisi duduk yang semula sudah setengah tiduran menjadi benar-benar duduk.

Remang-remang, udara dan cahaya yang masuk ke ruangan ini memang tidak terlalu banyak. Sehingga terlihat seperti gudang penyimpanan mayat. Ruangannya tidak terlalu besar, bahkan bisa dibilang kecil. Tidak ada barang apapun disana. Lantainya kotor, setiap ventilasi kecilnya berdebu. Sungguh tak terurus.

"Iya emang. Urusan kita yang kemaren kan belum selesai" jawab salah satu dari mereka dengan wajah sadis. Bella? Atau Rena? Atau mungkin Lina? Ntahlah. Dalam keadaan terang-benderang saja aku tidak bisa membedakan, apalagi redup seperti ini.

"Urusan apa coba" sahutku santai sambil mencoba berdiri. Sayang sekali, pilihan yang buruk. Bius yang baru saja habis masih memiliki pengaruh besar, aku gagal berdiri.

"Lo dinner sama dia kan beberapa hari yang lalu? Jangan macem-macem ya, dia itu inceran gue!" bentak salah satu dari mereka yang lain sambil mengeluarkan sebuah silet dari saku bajunya. Gawat, apaan nih? Mau latihan menjahit?

"Iya, terus kenapa? Oh, inceran. Dari SMP ya? Wuaaah, enam tahun gak dapet-dapet" jawabku santai sambil memandangi silet ditangannya yang semakin mendekat. Ku pancing dengan nada meremehkan.

Wanita pembawa silet itu mulai mendekatkan siletnya ke arahku. Sungguh, aku belum mau mati dan tidak mau mati konyol yakni mati bersimbah darah hanya karna tertusuk ujung silet. Aku masih punya cita-cita menggotong ayahku keliling menara eiffel, menaburi makam ibuku dengan kelopak bunga lavender dan memberikan ayahku cucu. Tidak, keinginan yang terakhir masih terlalu jauh.

Tok.. Tok.. Tok..

Pintu dari ruangan tersebut diketuk dengan kencang. Tidak langsung dibukakan, mereka semua malah saling memandang satu sama lain. Masing-masing alis mereka menyatu, pertanda mereka heran. Aku turut heran.

Pintu diruangan ini ada dua, yakni disebelah depan dan dibagian belakang. Sempat ku lihat pintu dibagian belakang terbuka sedikit. Kesempatan emas!

Salah satu dari mereka mulai membuka pintu depan dengan lebar. Kosong! Tidak ada siapa pun disana.

"Anjir, horor banget bel" kata perempuan yang memegang silet dan masih berdiri di dekatku. Belum, ini bukan saat yang tepat. Ku pandangi mereka bertiga, satu persatu mulai mendekat ke arah pintu - yang ku tebak - pasti dengan wajah bingung.

Aku mulai mengambil ancang-ancang. Mulai berdiri dan berjalan pelan. Ku buka pintu bagian belakang dan keluar! Tak ku pedulikan jika yang tadi mengetuk pintu adalah psikopat atau manusia semacamnya. Benar-benar tidak peduli.

Ku tutup kembali pintu tempat aku keluar dan langsung memicingkan mata. Silau. Ternyata ruangan kecil itu berada di balik sebuah rumah besar. Rumah tersebut terlihat mewah karena bahkan bagian belakang rumahnya pun terdapat pilar-pilar besar. Apakah mungkin rumah SBY? Atau rumah milik salah satu koruptor?

Terdengar suara teriakan panik dari dalam ruangan. Aku segera berlari, menyusuri rerumputan hijau dan semak-semak yang bentuknya terpotong rapi. Ku lewati banyak lampu taman dan tembok besar. Tidak ada celah. Ku panjat tembok tersebut dengan asal. Tidak peduli akan lecet, tertancap kawat lalu robek atau diserang semut rangrang dari pohon yang berada di dekat tembok tersebut. Aku keluar!

Ku sebarkan pandanganku dan memandang seluruh bangunan yang ada di sepanjang jalan. Mencoba mempelajari, apakah aku masih berada di bumi atau sudah berada di planet lain? Bagusnya, sel-sel diotakku masih berjalan dengan lancarnya, aku tahu jalan ini. Jalan Mawar!

"Ssst.. Ssst.." desis seseorang tak jauh dariku. Aku menengok ke arah kanan dan kiri namun tak ada siapa pun disana. Namun lagi, desisan itu memanggil lagi. Kali ini makin keras.

Ku tengok ke arah belakang, ke arah tembok yang baru saja ku panjat dan ku tinggalkan beberapa langkah. Disana! Aku menganga.

Anak baru itu melambaikan tangan dari puncak tembok dengan wajah ketakutan, bibirnya gemetar. Ngapain dia disini?

"Tolongin dong! Dipandangin doang mah gak ngebantu sama sekali" katanya sambil sesekali membenarkan posisi kacamatanya yang mulai turun. Aku segera berlari kecil dan menyambanginya dan membantu dirinya turun.

Postur tubuhnya tinggi, setinggi Andra. Hidungnya mancung, semancung Andra. Bibirnya tipis, setipis bibir Andra. Hanya saja rambutnya lurus ke bawah seperti mangkok, memakai kacamata tebal dan kulitnya sawo matang. Tunggu, mengapa aku harus membandingkan segalanya dengan Andra?

Ku perhatikan kacamatanya sudah bagus kembali, mengingat sewaktu dibully kaca bagian tengahnya retak. Ku amati satu persatu bagian tubuhnya dengan detail, wajahnya familiar.

"Jangan bilang lo salah satu dari mereka" kataku curiga. Dia menengok, ntah apa yang dia lihat.

"Nggak kok, gue nggak jualan sayur" jawabnya sambil menggaruk rambut. Ku lihat tak jauh dari sana ada tukang sayur dan beberapa ibu-ibu sedang mengobrol, itulah yang dia lihat sewaktu menengok. Bodoh!

"Bukan itu! Mereka yang di dalem. Lo kok bisa ada di dalem sana?" tanyaku dengan heran. Biar ku tebak, pasti disekap juga. Dasar wanita kampungan. Sok-sok menyekap dan ingin melakukan hal sadis agar keinginannya mendapatkan Andra. Memangnya kalau aku terlukai dengan silet lalu Andra langsung naksir salah satu dari mereka? Idiot.

"Nolongin lo" katanya dengan nada datar dan wajah yang turut datar.

"Kok bisa?"

"Ya tadi gue lihat pintunya ada dua, gue ketok yang depan trus gue buka sedikit pintu yang belakang. Biar jadi kode kalo lo bisa keluar lewat situ, untung lo bisa nangkep kode dari gue" jawabnya dengan cepat. Tanpa ragu ia mulai berjalan, ntah kemana. Meninggalkanku dibelakangnya.

"Bukan, maksud gue lo tau dari mana kalo gue disekap? Lo nggak ada di pizza hut itu kan?" tanyaku sambil berjalan mengikutinya.

"Nggak" jawabnya santai dan mulai berbelok memasuki parkiran ruko yang tak terlalu besar.

"Terus?"

"Udah, nggak ada terusannya" jawabnya santai sambil mulai mengeluarkan kunci motor. Sial, cuek banget!

"Gue liat kemaren lo dibully sama kawanannya Andra dilapangan. Lo bisa nolongin gue dan dengan berani masuk ke sana, kenapa lo nggak bisa ngelawan mereka? Kenapa lo nggak nolongin diri lo sendiri?" tanyaku beruntun. Rasa penasaran yang mendorongku.

"Mau gue anter pulang nggak?" tanyanya sambil menyodorkan helm ke arahku. Tidak diacuhkannya pertanyaan berderet yang ku layangkan padanya.

"Nggak, gue gak mau kalo belum dijawab" aku mulai melipat kedua tanganku ke depan dada dan memasang wajah cemberut.

"Wah, mendung. Yaudah deh, gue duluan ya" katanya. Sial! Cueknya beneran.

"Eh! I-iya, ikut dong" teriakku begitu ku lihat ia mulai memundurkan motornya untuk keluar dari parkiran.

"Tadi katanya gak mau ikut" katanya santai sambil mulai mengunci helm yang sudah dipakainya sejak tadi.

"Ma-mau, kalau gue nunggu angkot bisa kehujanan" jawabku dengan mata memelas. Walau dalam hati aku masih penasaran luar biasa.

"Naik" begitu mendengar satu kata itu, aku langsung mengambil helm dari tangannya dan naik dibagian belakang motor vespa tua berwarna biru tua itu. Namun aku baru ingat, bahkan namanya pun aku belum tahu!

Asik asik, udah dipost nih part 5nya! Wihihihiw. Siapa ya itu cowok berambut mangkoknya? Hehe, yuk ah vote and comment! Biar makin semangat nih ngelanjutin ceritanya :) Dan jangan lupa masukin cerita ini ke library dan reading list kalian ya hihiw

Terima kasih sudah mau meluangkan waktu untuk membaca dan hati-hati jika jatuh cinta.

Salam hangat,

Asquandra.

Who Are You, Levin?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang