XVIII. Peluk

93 5 6
                                    

"Lo kenapa?" tanyaku dengan nada panik namun dengan volume yang super kecil, bukan agar tak didengar orang, melainkan tenaga sudah habis duluan. Lemas sudah melihat darah sebegitu banyaknya mengucur bak air terjun.

"Gue jatoh" lagi, kebohongan yang sama diulangnya lagi.

"Gak, gak percaya gue"

"Serius. Gue jatoh kemaren dari tangga, makanya gue gak dateng semalem" ceritanya dengan terbata-bata. Masih tak percaya, ingin mengelak. Tapi tak sampai hati melihat yang bercerita sudah setengah sekarat, maka aku percaya saja.

"Trus lo disini dari tadi malem?" aku menatap matanya, lebih tepatnya kantung mata. Lebam yang bertengger disana berhasil menarik perhatianku.

"Astaga!" teriak suara centil itu dari bibir pintu, berhasil memotong pertanyaanku pada lelaki itu. Kedua tangannya menangkup mulutnya yang menganga, kebiasaan.

"Sst! Jangan berisik!" ucapku pada Siti yang mulai berjalan mendekat. Ia memperhatikan seluruh luka-luka yang menempel pada sekujur badan Levin, persis seperti apa yang ku lakukan diawal.

"Lo kenapa?"

"Nggak pa-pa, Sit. Jatoh semalem"

"Jatoh? Malem-malem? Lo ngapain emang?"

"Banyak tanya anjir" potongku – sebelum Levin menjawab – sambil memukul lengan Siti dengan asal. Sengaja ku cegah agar Levin tak menjawab, sebab aku tak menceritakan apapun perihal kejadian semalam pada Siti dan Moni. Dan marilah berharap, semoga Aga melakukan hal yang sama denganku. Sebab jika tidak, habislah aku dicermahi oleh Siti dan Moni.

Lalu hening. Sepi. Aku sibuk melayang dengan pikiranku, Siti sibuk menganga. Ntahlah, sudah ku perhatikan sejak pertama kali berteman dengannya, sepertinya bengong sudah menjadi perihal wajib dalam hidupnya. Sementara Levin sibuk mengelap bekas tetesan darah yang ada dibagian wajahnya – yang sudah mulai mengering – dengan cepat.

Sengaja tak ku tawari ke rumah sakit atau kutelepon ambulans, sebab terakhir kali kulakukan itu aku malah tertangkap basah bahwa lututku lemas. Satu hal yang perlu kalian tahu, aku takut darah.

Ah, aku jadi teringat tujuanku semalam yang belum berjalan dengan sempurna. Berhubung disana juga ada Siti, maka sekalian saja. Sebab ragu-ragu dalam hatiku, aku tak mau terlalu lama berlindung dalam karang kebohongan, terutama pada sahabatku sendiri.

"Gue mau ngomong sesuatu" aku jadi gugup, sebab ku sadari tenggorokanku seperti tersengal batu bata.

"Ke gue?" tanya Levin.

"Oh, jadi gak cerita ke gue nih?" susul Siti.

"Ke lo berdua" ucapku sambil menatap Levin dan Siti bergantian. Aku deg-degan sendiri, sudah seperti pengumuman acara pencarian bakat saja.

"Apa? Jangan bilang lo SMS-an sama Aga!?" ucap Siti, yang ntah kenapa tiba-tiba "menembak" begitu. Eh, benar juga. Tadi malam aku sempat SMS-an dengan manusia yang satu itu. Aku jadi ingat curhatan Siti beberapa menit yang lalu bahwa Aga tak membalas pesannya.

"Bukan, bukan itu"

"Terus?" Levin mulai mengangkat kedua alisnya sambil menatapku dengan tajam, walau tangannya terus bergerak-gerak karena sibuk membersihkan siku tangannya yang berdarah.

"Gue kerja" ucapku pendek. Dua kata yang sangat padat dan ku ucapkan dengan sedatar mungkin. Aku tak mau mengucapkan panjang lebar sebab – benar saja, tak lama kemudian – Siti bereaksi dengan sangat berlebihan.

Ia memelototiku, lalu mulutnya menganga lebar. Aku jadi bingung harus apa, aku menatap wanita beralis tipis itu ragu-ragu. Walau dalam hati, aku sudah siap di caci maki.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 10, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Who Are You, Levin?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang