XVII. Celestron

81 7 3
                                    

"Gue ralat, ini bukan malem. Ini udah subuh, Xil! Lo ngapain?" tanyanya dengan mata melotot, seperti melihat setan. Aku jadi ikut-ikutan melotot. Ku buka kelopak mataku lebar-lebar, berusaha memastikan bahwa kedua indera penglihatanku masih berfungsi dengan baik.

"Harusnya gue yang nanya, lo ngapain?"

"Gue nanya malah balik nanya, gimana sih?"

"Malah ngotot!" aku memutar bola mata seperti tidak peduli. Ku alihkan pandangan mataku kebawah sana. Jalan raya pada subuh-subuh begini pastilah sepi, bahkan nyaris kosong. Hanya beberapa sepeda motor yang berseliweran, sisa-sisa dari kesibukan aktivitas manusia. Yang lainnya mungkin sudah terlelap.

Lelaki itu berjalan mendekatiku, dapat kurasakan desah nafasnya tak lagi jauh. Benar saja, ia berdiri disampingku dan melakukan apa yang kulakukan, yakni menatap jalan raya dibawah gedung. Hening. Sepi. Masing-masing dari kami sibuk melayang dengan pikiran sendiri-sendiri.

"Aga?"

"Hm?" iya memindahkan arah matanya, kini menatapku. Tatapan matanya menusuk instingku.

Aku diam, tidak bergeming. Ada yang ingin aku tanyakan, ada yang hendak aku ungkapkan, tapi terlalu lama berputar dalam otakku jadi sulit untuk dikeluarkan.

Ia melepas jaketnya, lalu menyodorkannya padaku. Sempat terkejut, namun sempat ku kendalikan. Tak ku gubris sodoran barang dari tangannya, aku membuang muka. Walau angin malam itu terus berhembus kencang seakan membujukku untuk menerima jaket itu, aku tetap tegas pada hatiku. Tak ku ambil.

Bingung juga, karena kami selalu terbiasa berempat, saat berdua begini jadi terasa canggung. Padahal banyak sekali bahan omongan yang seharusnya bisa kami pakai, namun tidak satupun yang memulai percakapan. Ntahlah.

"Lo belom jawab pertanyaan gue" ucapku membuka percakapan pada akhirnya, risih sendiri setelah terlalu lama memilih sepi.

"Apa?"

"Lo ngapain disini?"

"Gue? Ya jalan-jalan aja, emang gak boleh?" ujarnya sambil duduk dibibir gedung itu. Aku merinding sendiri, takut ia jatuh.

Aga? Jalan-jalan? Subuh-subuh begini? Sejak kapan ada orang jalan-jalan ke atap gedung begini? Aku tidak mudah percaya, pasti ada yang sedang ia lakukan.

"Gak, gak mungkin! Mana ada orang jalan-jalan jam segini"

"Lo pikir lo ngapain, Xil? Coba gue tanya sekarang, lo ngapain?"

"Gu-gue punya urusan" jelasku dengan bangga. Eh memang benar, aku punya urusan.

Ia diam, aku jadi ikutan. Ditatapnya langit malam itu, aku jadi ikutan juga. Sempat terbersit diotakku untuk kabur saat ini, tetapi kok rasanya kurang tepat ya?

Aku juga baru ingat, bukannya aku susah payah datang kesini untuk menemui seseorang? Kemana perginya si culun itu? Sudah hampir satu jam dan dia tak kunjung datang.

Ku buka handphoneku dan tertera dengan jelas ada sebuah pesan disana, aku langsung menepok jidatku. Sebelum ku buka, biar ku tebak. Pasti isi dari pesan tersebut adalah penolakan untuk bertemu dari seorang berambut mangkok bernama Levin. Ku buka pesan itu, dan benar saja. Itu pesan dari si culun itu.

Siap boss!

Tunggu, isi pesannya kok bukan berupa penolakan, ya? Aku langsung meneguk ludah dan memasukkan benda canggih itu ke dalam saku celanaku lagi.

Tangga hitam legam itu berdecit, aku langsung menengok, begitu pula Aga. Kami sama-sama menatap kearah yang sama. Dan mungkin juga sama-sama menantikan siapakah orang ketiga yang akan datang ke atas atap sewaktu semua orang terlelap seperti ini.

Who Are You, Levin?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang