XII. Surat Perjanjian

145 12 9
                                    

Atap, seminggu setelahnya.

Sudah sembilan hari - pengecualian bagi hari Minggu - Levin tidak hadir diantara gedung-gedung mewah ini. Aku heran juga, kemana dia? Jika memang sakit, mengapa Bu Mia sampai tidak tahu? Mengapa orang tuanya tidak memberi kabar? Mengapa dia tidak memberi tahuku? Ah, terlalu banyak 'mengapa' yang berputar di dalam kepalaku. Bahkan sejauh ini aku tidak tahu terlalu banyak tentang latar belakang kehidupannya. Bagaimana masa lalunya? Buruk? Atau justru bercahaya bagaikan juru selamat? Ah, lagi-lagi aku tidak tahu.

Kosong. Hening. Tiupan angin semilir yang sejak tadi lalu-lalang pun jadi ikut gagal menghiburku. Aku menarik napas panjang dan membuang setelahnya dengan kuat-kuat.

Ada ribuan orang dibawah sana yang sedang beraktifitas. Mungkin berolah raga, belajar, atau mungkin mencari nafkah bagi keluarganya. Dan ada jutaan perasaan pula dibawah sana, mungkin senang, gelisah, bahkan berkabung. Dari sekian banyak kemungkinan aktifitas dan perasaan, apa hanya aku yang tidak memiliki keduanya saat ini?

Sudah pukul tiga sore. Sudah lewat dua jam dari waktu pulang sekolah. Aku hanya termenung, tanpa melakukan hal apapun, dan tanpa perasaan apapun. Seperti hampa, menjurus kosong.

Sejak seminggu yang lalu, aku sempat beberapa kali bertemu dengan Andra. Tidak, bukan bertemu, tepatnya tak sengaja berjumpa. Ia sempat beberapa kali menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang ke rumah, makan di restoran berbintang, bahkan mengajak berakhir pekan di negeri tetangga. Ia menawarkanku semua itu tanpa segan, maka ku tolak pula tanpa rasa segan.

"Duh" suara tangga itu berdecit, seperti ada seseorang yang berusaha menggapai atap.

Dengan lemas dan tak bersemangat, ku tolehkan wajahku ke arah suara. Astaga! Aku menganga lebar. Sungguh pemandangan yang tidak tepat untuk ku lihat di depan mataku saat ini.

"Bantuin dong! Diliatin doang mah nggak ngebantu sama sekali" teriaknya. Suaranya parau, tatapan matanya seperti merintih.

Aku bangun dengan kekuatan penuh, ku ulurkan tangan dan dengan cepat membantunya naik.

Ku pandangi wajahnya. Kebiasaan bodoh itu datang lagi, lututku lemas. Tetesan darah mengalir dipelipis kanannya, keringatnya tak kalah mengucur. Bagian bawah matanya lebam, ujung bibirnya sobek. Bahkan dibeberapa bagian hidungnya nampak ada luka dalam. Banyak goresan-goresan tipis pada bagian lengan dan betis kakinya, mengelupas kulit putihnya secara perlahan. Kacamatanya retak, lengan dibajunya mengalami koyakan hebat. Pemandangan itu benar-benar menakutkan, aku bisa saja mati berdiri saat itu juga.

"Lo kenapa?"

"Jatoh"

"Bohong!" jelas bohong. Orang yang jatuh tidak mungkin berpenampilan seperti seorang yang habis dicabik-cabik seperti ini. Kecuali jika ia jatuh ke kandang komodo.

"Serius"

"Panggilin ambulans ya?" ucapku dengan segera.

"Jangan!"

"Kenapa?"

"Nanti abang-abangnya lemes juga pas liat gue, kayak lo" jawabnya. Aku terkejut. Eh, emang kelihatan ya?

Aku memberi senyum kecut dan berlalu. Aku duduk di pinggir atap. Lagi, semilir angin sore menyapaku.

"Pergi kemaren" ucapnya dengan suara yang lebih parau dari sebelumnya. Ia membuka percakapan lebih duluan.

"Hah?"

"Hampir dua minggu nggak masuk tuh pergi"

"Oh" singkat. Sesingkat itu responku, namun jauh di dalam hatiku ada ribuan tanda tanya yang akhirnya luntur karena penjelasan singkat beberapa detik yang lalu. Tunggu, kenapa dia bisa menjawab pertanyaan yang ada dibenakku sejak tadi?

Aku mengambil beberapa obat merah dari tasku dan ku cucukkan pada lembaran-lembaran tisu yang seadanya. Aku beranjak dari tepi atap dan menghampirinya. Ia hanya tiduran, wajahnya terlihat menahan sakit. Tapi gerak-geriknya terlihat biasa saja.

"Gak usah!" bentaknya. Nada suaranya memang tidak tinggi, namun tatapan matanya mengilat.

"Kenapa sih?"

"Sakit"

"Lebih sakit kalau nggak segera diobatin" aku ingin marah rasanya, dasar keras kepala.

"Nanti juga kering"

"Tapi nanti infeksi"

Ia terdiam, aku jadi ikutan. Dalam beberapa detik kemudian aku mengaku kalah, aku menyerah saja dengan memasukan obat merah tadi ke dalam tasku. Ku lirikan mata, ia tersenyum penuh kemenangan.

"Mereka gangguin lo lagi?" lagi-lagi, lelaki jangkung itu membuka percakapan.

"Mereka siapa?"

"Bella sama si kembar dempet"

"Oh, nggak kok"

"Bagus deh"

"Kenapa emang?" aku jadi heran, kenapa tiba-tiba membahas mereka?

Ia meraih tas hitam yang sejak pertama sampai diatap ia lempar dengan sesuka hati. Dikeluarkannya selembar kertas yang sudah tak karuan dan lebih mirip kertas untuk membungkus cabai.

"Nih" unjuknya dengan bangga. Ia menyodorkannya ke arahku.

"Apa ini?"

Dengan ini menyatakan:

bahwa mulai hari ini kami, Bella, Lina dan Rena akan berhenti mengganggu Beata Xili. Gangguan dalam bentuk apapun dan sekecil apapun,akan kami hentikan. Jika kami melanggar pernyataan ini, kami rela, jodoh kami bertiga dimasa mendatang, yakni Andra Moissani Manggala akan menjadi cinta sejati dan pasangan homo abadi bersama Clevinno.

Tertanda,

Bella, Lina, Rena.

Aku meneguk ludah, tapi sedetik kemudian terbahak. Aku tidak tahu, apa memang ini lucu atau selera humorku yang semakin merendah sejak membaca surat tadi.

"Pantes aja" ucapku dengan terengah-engah. Ah, rasanya sudah lama sekali aku tidak tertawa lepas.

Terakhir kali aku tertawa lepas adalah sekitar seminggu yang lalu, saat Siti berbisik padaku bahwa ia sedang menahan buang air besar dimata pelajaran matematika. Namun sedetik kemudian ia berbisik lagi "kayaknya gue udah cepirit deh, Xil". Aku jelas terbahak, bahkan sampai mules.

"Hebat ya?"

"Ah, biasa aja. Kok mereka mau sih?"

"Maulah, daripada pujaan hati mereka gue jadiin pendamping hidup gue"

Aku meneguk ludah lagi, kali ini karena terbayangkan ekspresi Andra dan Levin yang sedang menikah. Wajah mereka memang mirip jika diperhatikan sekilas. Apa mungkin memang jodoh?

"Kok gue nggak ngelakuin itu ya?"

"Maksudnya?"

"Gue juga nyuruh Andra dan temen-temennya buat nggak gangguin lo lagi. Tapi bodohnya, gue nggak kepikiran buat bikin surat perjanjian kayak gitu" ucapku dengan cepat sambil menyodorkan surat konyol tadi.

Ia diam dan malah menatapku. Bukan, ini bukan tatapan yang biasanya. Tatapannya nanar, seperti terenyuh. Aku tidak mau menebak-nebak, mungkin ini hanya perasaanku saja. Tapi seperti tatapan sedih.

Ia bangkit dari posisi tidurnya dengan sedikit tersendat-sendat.

"Eh, mau kemana?"

"Gue kerja loh"

"Buat apa?"

"Ya buat hiduplah, mau ikut nggak? Gue dapet jadwal malem nih"

"Dimana?"

"Situ, deket" ia mengangkat dagunya ke arah jalan raya.

Aku mengiringi langkahnya, aku berjalan dibelakangnya. Sekalian menjaganya. Aku menatap punggungnya, kini berganti, aku yang menatapnya nanar. Perasaanku kuat, ia babak belur pasti ulah Andra dan teman-temanya. Pasti.

Mengapa ia tidak mau mengaku? Mengapa responnya begitu kecut saat aku memberi tahunya bahwa aku berusaha melindunginya? Ah, tanda tanya yang sudah luntur itu kini kembali bertengger dengan nyaman dibenakku. Manusia yang satu ini benar-benar sukses membuatku bertanya-tanya.

Part 12 sudah dipost, selamat membaca!

Who Are You, Levin?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang