VII. Atap

196 15 10
                                    

SMA Pemuda, 2010.

Sudah dua pekan aku tak melihat dua pemuda paling mengganggu pikiranku, Andra maupun Levin. Kemana mereka?

Andra dan kawanannya memang memiliki kelas tersendiri dibagian atas, kapasitas ruangan yang seharusnya muat untuk menampung dua ratus orang itu hanya dipakai untuk ukuran lima orang saja. Enam, bersama sang guru. Sungguh dramatis, bahkan anak-anak bilang ruangannya pun lebih besar dari bioskop milik CEO PT Cinemaxx Global Pasifik yakni bioskop terbesar di Indonesia. Ntah mereka yang melebih-lebihkan atau memang benar adanya. Maka mungkin dari itu, aku tak melihat Andra.

Namun Levin, tak usah ditanya. Cowok itu bahkan merasakan nasib yang sama sepertiku, yakni masuk sekolah mewah karena beasiswa. Jika malas sedikit saja, maka beasiswa itu bisa berganti kepemilikan.

"Xil, lo mau ikut bimbel nggak?" tanya Aga dari seberang. Ada jarak satu meter antara kami berdua.

"Ayo, Xil. Tinggal setahun menuju kelulusan nih, biar nilainya maksimal" sahut Moni turut mendukung pertanyaan dari Aga.

Mereka ini lupa atau apa? Aku sekolah saja butuh bantuan, apalagi bimbel yang membutuhkan biaya berjuta-juta.

"Nggak deh" jawabku kecut menanggapi antusias mereka. Tampak wajah kecewa dari Moni, yang langsung disusul desahan kecewa dari Aga.

Ku lihat jam yang sejak pagi sudah bertengger dipergelangan tanganku. Pukul lima sore. Semenjak kelas dua belas, pelajaran tambahan mulai diadakan. Sebab masih mengingat pelajaran dari pertama masuk SMA jelas tidak mungkin, karena sudah tertimbun banyak pelajaran-pelajaran tidak begitu penting.

"Yuk!" kata Siti secara tiba-tiba muncul dan menggait lenganku. Langsung dijawab serempak oleh Aga dan Moni turut meng-iya-kan.

Kami berjalan perlahan, dengan posisi dua-dua. Aga dan Moni berjalan di depan, aku dan Siti berjalan dibelakang. Melihat Aga dan Moni mengobrol tentang series komik kesukaan mereka - yang baru ku ketahui bahwa banyak sekali gambar-gambar dengan adegan 18++ - dengan asik, maka aku memutuskan untuk mengungkapkan ke gelisahanku pada Siti.

"Sit"

"Hah?" sahutnya sambil menggelayuti pundakku. Makin mirip orang utan dengan majikannya, batinku.

"Gue kenapa ya?"

"Gue bukan lo, mana gue tahu. Harusnya gue yang nanya, kenapa lo kelihatan gelisah gitu seminggu terakhir ini?" bukan seminggu, tapi dua minggu, sangkalku dalam hati.

"Emang kelihatan, ya?" tanyaku sambil menggaruk kepala bagian belakang - yang sebenarnya tidak gatal - sambil memasang wajah malu. Ketahuan juga.

"Gue buta, Xil. Gue nggak bisa lihat!" katanya sambil menutup mata dan mulai meraba-raba wajahku, seakan-akan dia orang buta. "Ya iyalah!" sekatnya sejurus kemudian.

"Gue bingung"

"Tentang bimbel itu, ya? Udaaah, lo bisa pinjem duit gue dulu" cerocosnya tanpa membiarkan aku menyangkal. Jika kalian meringis saat mendengar nama "Siti" dan akan mengejeknya datang dari kampung seberang yang minim listrik dan air, biarkan aku menyangkal pikiran jelekmu itu. Siti adalah pewaris besar dari perusahaan Agung Padamarah Land yang bergerak dibidang properti. Bahkan perusahaan milik ayahnya tersebut kini mendapat gelar sebagai perusahaan properti terbesar di Indonesia.

"Bukan"

"Terus? Jangan bilang tentang Andra" katanya ketus. Kata "jangan bilang" tadi justru makin memperkecil nyaliku.

"Bukan" singkat, padat, menuju jelas.

"Terus siapa?" tanyanya sambil turut menuruni tangga seperti yang ku lakukan.

Who Are You, Levin?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang