Dia

8.2K 288 1
                                    

Pagi ini aku merasa kurang enak badan. Kepalaku terasa akit dan perutku juga sakit. Untuk mengurangi rasa sakitnya kuminum analgetik yang selalu kubawa di tasku. Walaupun kondisi seperti ini, tapi aku tetap mengerjakan tugasku sebagai dokter muda.
"Pagi mel, kamu kenapa? Pucet banget." Sapa willy, salah satu seniorku yang sudah menjadi dokter umum dan bekerja si RS yang sama. Dia mengambil kursi dan duduk di depanku.
Jangan baper mel, jangan baper! Batin ku menguatkan. Berdekatan dengan Dokter ganteng kaya Bang Willy emang ga boleh baper. Dia baik, dia manis, dia ramah. Ya aku memang menyukainya, tapi aku tau diri kok.
"Eh bang, ga kenapa-napa kok bang, cuma agak nyeri kepala aja dikit" jawabku sambil berusaha menetralisir detak jantungku.
"Udah minum obat?" Tanyanya yang kubalas dengan anggukan malas.
"Kamu udah makan?" Tanyanya lagi.
"Belum bang, udah makan biskuit sih, tapi kurang ahahah. ini mau makan makanya aku ke kantin".
"Dasar, lucu banget sih kamu tuh" Bang Willy pipi gendutku. "Ya udah mau pesen apa? Biar aku yang pesenin."
"Hmmm, aku mau bubur aja deh, ga pake kacang, pake sambel yang banyak" jawabku.
"Ga! Ga boleh sayang, nanti sakit perut kalo pake sambel, ini masih pagi."
Deg, Ah ini orang pake bilang sayang sayang segala lagi, mau apa asih maaas, nikahi ade mas, nikahi!
Bang Willy memang paling bisa membuatku takikardi. Aku memang dekat dengannya. Aku mengenalnya semenjak masih kuliah. Dia senior ku, dia pernah mengerjaiku habis-habisan saat ospek dulu.
"Nih buburnya neng!" Kata dia sambil meletakan bubur hangat di depanku.
"Makasih mang!" Jawabku seenaknya, seakan dia tukang bubur beneran.
"Sama-sama neng. Mau sekalian disuapin neng?" Jawabnya tak kalah absurd.
"Ga ah mang. Malu banyak orang. Nanti aja ya mang kalo berduaan. Tapi jangan deh mang, nanti aku disantet sama fans kamu yang uwah banget itu." Jawabku asal.
"Fans apa sih? Kipas angin maksud kamu?"
"Dasar GGR!"
"Apaan tuh?"
"Ganteng ganteng garing" jawabku, dia tertawa terbahak-bahak.
"Ciee bilang aku ganteng, kalo ganteng pacarin dong" katanya masih sambil memegangi perutnya.
"Au ah, dah ah aku ngambek" kataku. Kulanjutkan makan buburku yang mulai dingin.
Ini si Willy emang bloon apa gimana sih? Itu kode apa bukan sih? Kalo mau pacaran ya tembak gue lah. Eh sadar mel sadar. Siapa elu nunggu ditembak sama Willam allen maximillan.
"Aku mau ambil spesialis jantung." Katanya tiba-tiba.
"Wah hebat! Aku juga mau nanti." Jawabku. Dia mau ambil pendidikan dokter spesialis. Itu artinya dia mau pergi.
"Nanti kita bakal susah ketemu." Entah dia beneran sedih ga sih?
"Yaelah bang, bandung juga kan? Unpad kan? Weekend kan masih bisa ketemu".
"Rencananya papa mau aku sekolah di Jerman."
"Wuah keren. Aku juga mau kalo kaya gitu. Tenang bang masih ada skype, line, facetime. Kita kan masih bisa ngobrol." Ujarku, sok kuat, padahal dada ini sesak ingin menangis.
"Pokoknya selama aku masih disini, kita harus sering ketemu ya".
"Emang mulai ke Jerman kapan?"
"3 bulan lagi".
"Hmm" aku bingung mesti jawab apa. 3 bulan lagi dia pergi. Aku aku bersamamu bang. Kami sama-sama terdiam.
"Woy, berduaan aja lu Wil sama si endut!" Kata Dokter Reynan, rekan kerja Bang willy. Dia datang bersama 4 teman laki-lakinya yang lain, kemudian duduk di meja yang sama denganku.
"Serius amat lu pada? Lagi nembak ya Wil? Ditolak ya?" Ucap Dokter Dino, disambut tawa semua orang kecuali aku dan Bang Willy.
"Bang, aku balik ke pos ya. Belum visite nih. Dok duluan ya. Daaah" pamitku.
"Ya, mau aku anterin ga?" Tanya Bang Willy.
"Elah kaya mau kemana aja pake dianterin. Ga usah bang".
"Ya udah deh. Tiati, cepet sembuh ya. Nanti aku line." Jawabnya.
Kutunggu line mu mas. Jawabku dalam hati.
***
Ah akhirnya selesai juga. Aku baru saja menyelesaikan visite pasien terakhir di ruangan ini. Sepertinya Kina juga sudah selesai. Kupikir aku perlu istirahat karena nyeri kepalaku belum juga berkurang.
"Kin, balik yuk. Lu udah beres kan?" Ku ajak Kina karena tadi pagi aku memang nebeng mobilnya.
"Yuk, udah sore nih, gue juga harus cepet balik. Mama ada arisan di rumah, gue harus ikut nimbrung sama itu ibu-ibu," jawab Kina.
"Hm" aku tak berniat menjawabnya. Kepalaku tambah nyeri. Duniaku serasa berputar.
"Dut, lu kenapa?" Tanya kina. Dan pandanganku mulai menghitam. Gelap. Yang terkahir kulihat hanya wajah panik Kina.
***
Kucoba untuk membuka mataku. Dan yang pertama ku lihat adalah wajah dingin Dokter Arkan.
"Kamu udah sadar. Kamu di UGD, tadi kamu Pingsan. Tapi ga apa, kamu cuma kelelahan dan sering lupa makan saja. Jangan bangun dulu. Tiduran saja." Ujarnya tetap dingin. Kuturuti maunya tanpa paksaan.
Setelah itu dia keluar ruangan ini, Kina masuk. Dia tampak khawatir padaku namun matanya belum bisa menghindar dari si dokter tampan menurutnya.
"Astaga Mel, lu beruntung banget. Dia meriksa lu, dia raba-raba badan lu pake stetoskop dan tangan besarnya. Oh em gi" kata Kina si norak.
"Apaan sih lu jijik deh, udah buru anter gue balik. Gue istirahat di rumah aja." Kataku seRaya mengancingi 3 kancing bajuku yang terbuka. Benar juga ya dia pasti curi-curi kesempatan lihat dada dan perutku. Ah tapi siapa peduli, memang itu pekerjaannya.
***

Emergency doctor's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang