Dia hebat

6.2K 229 1
                                    

"Hey bangun sayang".
Seorang laki-laki dengan suara parau yang seksi membangunkanku. Mataku masih sangat mengantuk.
"Hey, honey, wake up. Oh i know, sleeping beauty only need one kiss from Prince Charming. So i need to kiss you."
Cup, kurasakan sesuatu lembut mengenai bibirku.
"Heeey, bangun dong, ini sih sleeping beauty nya tukang tidur, butuh ribuan ciuman buat bangunin princess aku ini."
Kurasakan ciuman berulang kali pada seluruh wajahku, kemudian berlanjut ke leherku. Dia menggigit leherku, semoga tak meninggalkan bekas disana. Hari ini aku kan harus ketemu Kina.
"Uugh, Arrrkaaannn..."
"Hey bangun hey, kamu kenapa sih?" Ujar Arkan menggoyang-goyangkan tubuhku. "Mimpi apa sih kamu?" Sial, ternyata aku cuma mimpi. Mimpi mesum pula. OMG, kayanya gue ketularan virus mesum Kina.
"Ga mimpi apa-apa kok, aku mimpi lagi ujian, makanya sampe keringetan gini." Ucapku membela diri.
"Udahlah cuma ujian doang kok, jangan kamu pikirin terus ah, nanti malah kamu sakit, jadi ga maksimal ujiannya. Yuk turun, udah sampe."
"Eh, ini dimana?" Aku baru sadar sekarang kami ada di tempat parkir sebuah restoran. Restoran ini tampak mulai dipenuhi pengunjung karena memang sudah memasuki jam makan siang. Kayanya ini daerah Lembang deh, adem bangeeet.
"Makanya yuk masuk dulu."
Akhirnya aku dan Arkan memasuki restoran ini. Restoran dengan konsep alam khususnya air dan bebatuan. Suara gemericik air membuat suasana tampak tenang. Ini sih gue betah seharian duduk-duduk cantik disini. Aku dam Arkan mengambil posisi duduk di area outdoor yang mengarah ke lembah yang hijau.
"Eh ada si boss. Kenapa nih?" Ucap Bang Satya.
Eh ngapain ini Bangsat ada disini?
"Ngapain lu disini bang?"
"Ya kerja lah adek oon. Mau pesen apa lu? Boss mau minum apa?" Bang Satria menawarkan pada kami.
"Gue ga mau pesen apapun." Aku semakim bingung. Ini orang niat ngejelasin ga sih sama gue.
"Hot chocolate aja 2 ya." Kata Arkan.
"Oke sip boss, bentar ya adek kecilkuuuuu." Ujar Bangsat seraya pergi ke dalam restorannya.
"Jadi?" Tanyaku.
"Jadi apa?"
"Katanya kamu mau ceritain kerjaan kamu."
"Ah iya, kamu denger ga Satria panggil aku apa?"
"boss. Aaaah, aku ngerti, kamu yang punya restoran ini ya?"
"Pinter."
"Udah gitu doang? Ngomong gitu doang mah di parkiran rumah sakit juga bisa kali." Ujarku mulai kesal.
"Kamu ga tau Satria kerja apa selama ini?"
"Enggak, ga ngaruh buat aku dia kerja dimana. Yang penting gajinya gede, jadi bisa traktir aku terus ahahah."
***
Selesai minum-minum cantik di restoran, Arkan mengajakku ke suatu tempat lain. Kali ini aku dan Arkan duduk cantik di baris kedua dalam mobil. Bangsat ikut, dia jadi supirnya ahahaha.
"Kita mau kemana?" Tanyaku.
"Ke tempat kerjaku yang lain."
Aku hanya menganggukan kepala saja.
"Kamu kalo ngantuk tidur aja."
Ga berapa lama dari omongan dia, gue udah tidur aja. Awalnya emang sangat tidak nyaman tidur sambil duduk seperti itu. Tapi kemudian kurasakan bangal yang sangaaat nyaman. Dan seseorang mengusap-usap kepalaku lembut. Kemudian tidurku makin lelap.
***
"Hey bangun, kita udah sampe."
"Ini dimana?" Kataku setengah mengantuk. Aku melihat kami di depan lobby sebuah gedung tinggi yang mewah.
"Di kantorku."
"Oh." Aku belum tersadar sepenuhnya, bingung, namun akhirnya kami semua keluar dari mobil. Termasuk Bangsat, sedangkan mobil diambil alih oleh petugas valet gedung ini.
"Yuk masuk," ujar Arkan sambil menarik tanganku, menarik ya, bukan menggandeng. Arkan tidak suka bergandengan tangan, camkan itu!!
Saat memasuki gedung ini, cuma satu kata, WOW! Megah, mewah dan berkelas, tapi tetap nyaman. Ini kantor apa istana sih? Aku masih bingung dengan kondisi ini, jadi kuikuti saja si es batu ini. Saat kami melewati lobby menuju ke lift, semua orang tampak memberikan sapaan hormat pada Arkan. Aku curiga dia salah satu orang penting di gedung ini melihat bagaimana semua orang memperlakukannya.
Saat melewati dinding dengan cermin besar, aku melihat pantulan diriku. Wajah biasa aja, ya lumayan lah. Badan gendut, kurang modis, keliatannya malah kaya "bodo amat". Muka baru bangun tidur pula, cepat-ceoat kuusap sudut mulutku, siapa tahu ada iler ahahah. Gue berasa ga pantes banget ada di gedung ini. Sama OB aja kayanya lebih rapi OB deh.
"Jangan digosok gitu, nanti malah luka sudut mulut kamu, lagian kamu ga ileran kok" kata Arkan sambil menarik tanganku yang sedang membersihkan sudut mulutku,
"Ih apa sih? Siapa juga yang ileran." Kataku sambil masuk ke lift duluan, padahal ga tau mau ke lantai berapa.
***
Kami sudah sampai di lantai 21. Tampak seorang wNita seksi dengan pakaian ala sekretaris ga punya duit jadi ga mampu beli baju yang panjangan dikit. Tapi badannya bagus banget, jadi cocok-cocok aja sih pake baju begituan. Malah kayanya lebih cocok jadi model kalo begini sih. Ga jauh dari meja si seksi, gue liat ada pintu dengan nama "SATRIA - Assisten CEO" di bagian depannya. Arkan membimbingku ke salah satu ruangan yang terletak di lantai ini, ruangan dengan pintu yang lebar dan besar. Lantai ini hanya terdiri dari dua ruangan, karena kulihat hanya ada 2 pintu, dan pintu yang satu kan sudah dipastikan itu ruangannya Bangsat.
Arkan membuka pintu ruangannya. Ruangan yang luas. Melihat mukaku yang kebingungan, akhirnya Bangsat angkat suara.
"De, mau minum apa? Ntar gue beliin."
"Ga usah deh bang, tapi bisa tinggalin gue sama dia aja ga?" Kataku. Bangsat langsung keluar setelah mendapat izin dari sang boss.
"Sini kamu duduk dulu," ujarnya. "Kamu pasti udah ngerti dong kerjaan aku apa."
"Iya aku tau, tapi aku masih ga ngerti."
"Ini perusahaan papi. Aku anak tertua Papi Mami, anak cowok satu-satunya. Mau ga mau aku harus nerusin usaha Papi. Lagian aku juga ga akan tega kalo Ciara, adik aku, harus memimpin usaha sebesar ini. Terlalu berisiko. Banyak orang bergantung sama perusahaan ini, termasuk abang kamu. Jadi ya gini keseharian aku kalo ga di RS." Kata Arkan.
Aku cuma bisa ngangguk-ngangguk. Antara bingung dan bangga. Bingung sama omongan dia, tapi kata-kata dia juga bikin bangga dengernya. Dia ga cuma mikirin diri sendiri, tapi dia memikirkan juga segala risikonya. Dia menyadari "perannya" di dunia ini. Entahlah, tapi aku sangat kagum pada orang yang selalu menghormati dan menyayangi orang tuanya.
"Dari dulu aku emang pengen jadi dokter. Pengennya sih jadi dokter bedah. Tapi aku tau diri kok, aku ga bisa 100% terjun di dunia kesehatan kaya gitu. Aku cukup puas Papi tetap ngizinin aku jadi dokter umum dan praktek di sela-sela kesibukanku mengurus perusahaan ini." Kata Arkan.
Aku berdiri menuju dinding kaca di salah satu sisi ruangan ini. Dari sini aku bisa melihat kota Bandung yang indah. Arkan ikut bangkit dari sofa dan mendekatiku, berdiri di sampingku, sambil menikmati pemandangan dari atas sini.
"Ini perusahaan ekspor impor barang dari dan ke berbagai negara, awalnya salah satu perusahaan milik Opa. Opa memberikannya dan Papi berhasil mengembangkannya. Jadi sekarang papi mulai memberikan tahtanya secara bertahap kepadaku. Lagian papi udah mulai persiapan pensiun. Jadi mungkin suatu saat nanti aku ga akan praktek lagi. Aku akan fokus untuk mengembangkan perusahaan ini."
"Sayang banget ilmu kedokteran yang udah kamu pelajari jadi kamu sia-siakan," kataku.
"Ga akan sia-sia kok. Ilmu itu bisa tetap aku gunakan, setidaknya untuk diriku sendiri, untuk orang tuaku, untuk keluargaku, untuk anak-anakku nanti."
"Kurang satu, buat istri kamu juga bisa kan." Kataku.
"Kalo itu sih kamu kan juga bisa jaga kesehatan kamu sendiri."
Eh, ini kode atau basa basi busuk doang nih. Gue jadi degdegan, lah dia cuma biasa aja. Santai Mel santai. Anggap aja lu ga denger apa-apa tadi. Jaim mel!
"Aku udah ceritain semua kerjaan aku sama kamu. Ada lagi yang mau kamu tau dari aku?"
Aku jawab hanya sebuah gelengan kepala.
***

Emergency doctor's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang