Chapter 7

8.2K 764 16
                                    

Malam harinya, dokter yang bertanggung jawab atasku memberikan ijin agar aku bisa pulang ke rumah. Tidak ada hal yg kritis padaku, hanya saja aku tidak boleh stress agar tekanan darahku tidak naik dan menyebabkan perdarahan lagi.

Saat sampai di rumah, aku segera masuk ke kamar untuk istirahat. Suamiku tak pernah melepaskan tangannya dari pinggangku. Aku tau, mungkin dia takut terjadi sesuatu lagi padaku, karena terakhir kalinya dia melepaskan lengannya dari pinggangku, saat itu juga kami hampir kehilangan bibi. Dan aku pun juga tidak mau dia melepaskan tangannya dariku. Rasa aman dari lengannya yang membuatku tidak mau dia melepaskanku sampai kapan pun.

Kurebahkan tubuhku di tempat tidur, dan kuperhatikan suamiku. Ditutupinya tubuhku dengan selimut, dan diciumnya keningku.

"Selamat malam." Kata2 itu dia ucapkan tanpa menatap mataku. Kupikir dia akan tidur di sampingku, tapi ternyata langkahnya membawanya keluar dari kamar tidurku.

"Kamu mau kemana?"

"Aku akan ke ruang kerjaku, hari ini aku tidak masuk kantor, jadi akan kuselesaikan pekerjaanku di rumah. Kamu istirahatlah."

Tatap mataku sayang, kumohon. Permohonanku itu tidak pernah terwujud. Dia keluar dari kamar tanpa sekalipun melihatku. Ada apa? Kenapa semuanya semakin memburuk?
Aku tidak ingin berpikir panjang. Aku takut tekanan darahku naik. Jadi kuabaikan segala pikiran buruk itu, dan mulai tertidur.

***

Aku terbangun. Saat itu masih tengah malam. Terlihat jam menunjukkan pukul 02.00. Dan suamiku masih tidak ada di sampingku.

Aku beranjak bangun dari tempat tidur untuk mencari suamiku. Aku masuk di ruang kerjanya dan di sana lah dia. Tertidur di meja kerjanya.
Jadi setelah tidak mau menatap mataku, tidak tersenyum lagi untukku, sekarang kamu tidak mau lagi tidur di sampingku?

***

Ibu mertuaku sedang duduk di hadapanku di meja makan. Hampir 5 menit telah berlalu setelah dia kupersilahkan masuk. Dan 5 menit itu pula kami tidak mengeluarkan satu kata pun. Kami sibuk saling memandang. Dia dengan pandangan yang meremehkan, dan aku tidak mau kalah darinya, kupandang dia dengan penuh perasaan menantang. Mau apa lagi dia ke rumah kami? Setelah berhasil membuat suamiku sendiri meragukanku sebagai istrinya, kali ini hasutan apa lagi yang akan dilontarkannya?

"Seungcheol menyerahkan dokumen ini di rumah mama tadi pagi. Sebenarnya dia ingin menyerahkannya sendiri padamu. Tapi setelah kejadian kamu mengalami perdarahan karena stress, dia meminta tolong pada mama untuk menyerahkannya padamu."

Kubuka amplop coklat itu, dan betapa terkejutnya aku saat melihat isinya. Surat Pengajuan Cerai.
Mataku menatap tak percaya pada isi dokumen itu. Kupandangi terus isi surat itu, seakan-akan apabila surat tersebut terus kulihat, maka tanda tangan suamiku dan segala isinya akan segera terhapus dengan sendirinya. Tapi hal itu tidak pernah terjadi.
Kualihkan tatapanku menuju ke seorang wanita paruh baya yg ada di depanku. Dengan pandangan penuh rasa benci, kusobek dokumen itu.

"Trik apalagi yg mama gunakan, sampai seungcheol berniat menceraikanku?!! Ancaman seperti apa yg mama gunakan agar seungcheol mau menandatangani surat cerai untukku?!! MENGAPA MAMA MEMBENCIKU!? APA SALAHKU MA?!!!"

Choi Jinna membelalakkan matanya, seakan tak percaya bahwa aku sanggup membentaknya. Jeonghan, sang menantu yg penurut, sudah tidak lagi ada. Aku akan menpertahankan suami dan anakku. Aku tidak akan kalah darimu ma.

"Jadi kamu pikir mama yang menghasut dan memaksa seungcheol untuk menceraikanmu? Kamu terlalu sombong dan percaya diri jeonghan. Dari awal mama sudah tidak setuju saat seungcheol menjadikanmu istrinya untuk menggantikan posisi doyoon. Seungcheol sendiri yg berniat menceraikanmu. Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa menanyakan sendiri padanya."
Kubalikkan badanku, dan di sana suamiku berdiri. Aku terlalu marah dan kecewa, sampai aku tidak menyadari suara mobil dan langkah seungcheol memasuki rumah.

"Jadi benar apa yang dikatakan mama?" Wajah suamiku mengeras. Dia memandang mama di belakangku dan kemudian pandangannya jatuh pada dokumen di tanganku yg tadi sempat kusobek.
Kubuang kertas di tanganku dan aku berjalan menuju tempat suamiku berdiri. Kuangkat tanganku dan kutempelkan kedua telapak tanganku di pipinya. Kusentuh pipinya dengan kedua ibu jariku. Hal itu biasanya bisa membuat suamiku tenang dan mau bicara jujur padaku.

Kutahan tatapan matanya, "Sayang, benarkah yang dikatakan mama? Benarkah kamu akan menceraikanku? Benarkah kamu ingin meninggalkanku?"

Istilah mata adalah jendela hati benar adanya. Kutemukan semua jawaban pertanyaanku di matanya. Aku tidak ingin mempercayainya. Tapi semuanya sudah jelas. Kulepaskan sentuhanku di wajahnya dan tanpa sadar aku menarik kemejanya.
Tubuhku bergetar dari ujung kepala hingga kaki. Hingga tak kuat lagi menahannya, kakiku menyerah dan aku merosot ke lantai. Kubawa serta tubuh seungcheol.

"Jeonghan? Sayang? Jeonghan-ah? JEONGHAN-AH!!!!"

Aku tak bisa bernapas. Duniaku hancur. Muncul kilasan2 kejadian gambaran kehidupanku di masa depan, dimana hanya ada aku seorang, tanpa seungcheol, tanpa mingyu, dan tanpa bibi.

End of Chapter 7


JEONGCHEOL'S LIFE - PrivateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang