Chapter 9

7.5K 741 16
                                    

Sepanjang perjalanan pulang, mama sering menelepon untuk mengabarkan keadaan mingyu, dan setiap kali mama menelepon, mama juga memberi tau bahwa jeonghan masih belum bisa dihubungi, handphone-nya masih belum aktif.

Banyak kekhawatiran dan ketakutan yg menyelusup ke pikiranku. Aku sering mendengar cerita dari teman sejawatku yang akhirnya harus bercerai dengan istri mereka yang berumur jauh lebih muda, karena istri mereka berselingkuh.

Secara logika, ketakutanku ini masuk akal. Jeonghan masih muda, keinginannya untuk bersenang-senang di masa muda sangatlah besar. Terlebih lagi dia adalah seseorang yang sangat cantik. Jika suatu saat nanti dia memutuskan untuk meninggalkanku untuk seseorang yg lebih dariku, aku tidak bisa berbuat apa2. Tetapi duniaku pasti sangatlah hampa tanpanya.

Dia adalah seseorang yg memberikanku kesempatan kedua untuk hidup. Setelah doyoon meninggal, aku hidup bagaikan robot. Mingyu kuserahkan pada mama, karena aku tak sanggup merawatnya. Setiap melihat mingyu aku selalu teringat doyoon.

Tapi setelah jeonghan hadir di hidupku, aku akhirnya menyadari betapa mingyu sangatlah berharga bagiku. Rasa bersalahku karena mengabaikan mingyu perlahan-lahan ditepis oleh jeonghan dengan selalu memberi kabar pada setiap perkembangan dan pertumbuhan diri mingyu, dan selalu melibatkanku akan setiap kegiatan mingyu sehari-hari.

"Halo ma?"

"Mingyu menggigil, dia terus memanggil jeonghan dalam tidurnya. Mana istrimu itu? Anaknya sakit tapi dia malah keluyuran. Ibu macam apa itu?!!"

"...." Aku tidak bisa menanggapi hal itu. Kali ini jeonghan sudah keterlaluan. Dia sudah melupakan janjinya untuk akan selamanya di samping mingyu, menjaganya dan menyayanginya seperti anaknya sendiri.

Kututup telepon mama dan kucoba menghubungi jeonghan. Saat operator telepon nemberitahukan bahwa handphone istriku tidak aktif, saat itulah aku lepas kendali. Sudah cukup jeonghan-ah, kali ini kau benar2 keterlaluan!

***

Ku kunci mobilku dan segera aku memasuki rumah. Rumah saat itu sangat gelap. Hanya lampu dari kamar mingyu dan dari dapur, yang menerangi seisi rumah.

Dari pintu kamar mingyu kulihat mama dan jeonghan berdiri di samping kiri dan kanan tempat tidur mingyu. Di sana anakku terbaring lemas. Napasnya terlihat sedikit tersengal-sengal dan samar-samar terdengar lirih rintihan dari bibirnya.
Dan jeonghan, dia masih memakai baju yg dia kenakan tadi pagi. Jadi dia juga baru saja sampai di rumah? Selarut ini? Darimana saja dia?

Setelah menanyakan keadaan mingyu pada mama, aku berjalan menuju sisi istriku. Melihat dia mengenakan pakaian yg sama saat dia keluar rumah tadi pagi, mengingat bahwa seungkwan sahabat jeonghan mengatakan jika perkuliahan hari ini dibatalkan, mengingat dia tidak bisa dihubungi saat mingyu membutuhkan dia, serta mengingat bahwa saat ini dia sedang hamil tanpa aku tau keberadaannya seharian ini, aku sangat kecewa. Sungguh.

Kutarik lengannya, dan sedikit kuseret dia menuju kamar tidur kami.
Banyak hal yang harus kubicarakan dengannya.

Langkah jeonghan sungguh sangat lambat. Aku menoleh ke belakang untuk mengingatkan dia agar lebih mempercepat langkahnya, tapi saat itu kulihat dia menelungkupkan tangannya di atas perutnya, seakan-akan ingin melindungi bayi kami yg belum lahir.

Aku baru menyadari bahwa cengkraman tanganku di lengannya sangat erat hingga bisa meninggalkan bekas. Rasa bersalah singkat yg kurasakan, membuatku sedikit mengendurkan cengkeramanku pada lengannya.

Sesampainya kami di kamar, aku duduk di tepi tempat tidur, berusaha untuk menenangkan diri, dan berusaha untuk menyusun kata-kata yg tepat. Tiba-tiba kurasakan tangannya di leherku. Dia membantuku melepaskan dasiku dan merapikan rambutku yg tanpa sadar sudah kuacak-acak. Kemudian dengan mudahnya dia meminta maaf.

Melihat istriku berlaku seperti biasanya, seakan-akan dia tidak merasa bersalah atas kejadian hari ini, kecewa, marah, takut, dan khawatir, semua berkecamuk di otakku. Dan saat itulah kulontarkan kata-kata untuk istriku, kata-kata yg tak kuharapkan keluar dari mulutku, "Kau istri yg tidak becus!!"

Setelah itu aku terus mengumpat dan mencacinya. Segala hal yg disampaikan mamaku tentangnya, segala kekecewaanku dengannya, semua kuteriakkan padanya. Aku seperti orang yg kerasukan setan.
Kuperhatikan jeonghan sedikit demi sedikit memundurkan langkahnya. Kulihat wajahnya memerah karena menahan tangisannya. Tapi satu per satu tetesan air matanya pun jatuh.

Telingaku yg tadi sempat berdenging karena amarah, sedikit demi sedikit mendengar apa yg dikatakan istriku.

"........ Tapi asal kamu tau, aku menyayangi mingyu lebih dari aku menyayangi nyawaku sendiri."

Saat itulah hatiku terbuka, aku tersadar bahwa aku telah menyakiti istriku. Linangan air matanya, tubuhnya yg gemetaran, membuatku merasa menjadi seorang pecundang. Istri yg kuikat dengan janjiku di hadapan Tuhan, janji untuk terus membahagiakannya, telah kusakiti.

Aku segera beranjak dari tempat tidur, ingin kupeluk tubuhnya yg rapuh, namun dia menolak sentuhanku. Dia lebih memilih lari dariku, suaminya yg telah menyakitinya.
Ya Tuhan, apa yg telah kulakukan?!!


End of Chapter 9



JEONGCHEOL'S LIFE - PrivateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang