7

140 7 0
                                    

Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Pertanda 'jam-jam penyiksaan' di sekolah telah usai. Namun murid-murid terpaksa mengurungkan niatnya untuk pulang karena hujan sedang turun dengan derasnya. Tak ada petir, hanya angin dan air yang mengguyur kota Yogyakarta dengan banyaknya. Tetapi ada sebagian murid yang tetap memaksa untuk menerobos air dari langit itu dengan alasan tak betah berlama-lama di sekolah

Begitu juga dengan kelas XI IPS 1. Kelas itu sangat sepi, hanya tersisa 4 orang didalamnya. Rain, Aufa, Vika dan Ara. Entah apa yang membuat Ara dan Vika tak beranjak pulang. Aufa masih menemani Rain yang sedang membereskan bukunya dengan 1 tangan. Aufa tadi sudah membantunya mengganti perban selepas pelajaran usai, dan Rain tak ingin dibantu lagi dengan alasan ingin mandiri, kalau nanti di rumahnya ia sendiri, tak perlu meminta pertolongan pada siapapun.

Rain adalah anak tunggal. Orangtuanya sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Ayah Rain seorang pengusaha yang sukses, kini sedang mengurus perusahaannya di Malaysia. Sementara ibunya adalah seorang Dokter yang sedang mengabdi pada negara, tepatnya di Nusa Tenggara Barat, membantu rakyat di pelosok yang mengidap bermacam penyakit. Terakhir yang Rain tahu, kedua orangtuanya akan pulang minggu ini. Entah dapat dipercaya atau tidak, laki-laki tinggi itu malah terkadang tak mempedulikannya. Sudah terbiasa dengan ketidak hadiran ayah dan ibunya. Ia hanya ditemani si mbok dan supir pribadinya yang dalam banyak waktu tak menjalankan tugasnya, karena Rain lebih suka mengendarai motor/mobilnya sendiri. Namun Rain senang supir dan si mbok menemani, setidaknya ia tak sendiri di rumah, itu sudah lebih dari cukup. Karena tak dapat dipungkiri, ada bagian dalam dirinya yang memberontak tak ingin merasakan kesepian. Tak mau terkurung dalam dinginnya malam. Paling tidak penghuni rumah yang menemaninya dapat meramaikan sunyi istananya yang bak pagi tanpa mentari, senja tanpa burung gereja. Indah namun kosong menyayat hati.

"Lu balik gimana? Gak mungkin bawa motor kan?" Tanya Aufa disela-sela kesibukan Rain yang masih membereskan mejanya yang berbeda 100% dengan sebelahnya. Aufa rapih dan tertata rapi

"Hari ini gua bawa mobil Fa. Masih bisa bawa, rumah gua kan deket" Tentu saja Rain berbohong. Rumahnya terpaut jauh dari sekolah. Butuh waktu 20 menit untuk sampai ke rumah Rain.
Aufa menggelengkan kepalanya kesal

"Gila lu ya? Lagian, gimana ceritanya lu bisa ada di belakang Nata pas dia lagi minum?" Tanya Aufa penasaran pada akhirnya. Rain terdiam kemudian terkekeh mengingat kejadian beberapa jam yang lalu

"Idih. Udah sakit, ketawa sendiri lagi, makin gak beres lu kayaknya. Ada apa sih?" Aufa makin menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Ada yang berbeda dengan tawa Rain tadi, seperti ada memori yang mundur ke belakang dengan tenang, tawa yang memancarkan kebahagiaan nyata dan beberapa detik sorotan mata Rain yang dapat Aufa tangkap, tak bisa di mengerti seperti biasanya. Sesuatu telah terjadi.

Entah berasal darimana degup tak beraturan ini. Aufa merasa dinginnya hujan seakan tiba-tiba melepaskan pelukan pada dirinya. Namun jemarinya dingin menunggu penjelasan dari sahabatnya. Hatinya menerka apa yang tengah Rain rasakan. Apakah itu cinta? Apa sahabatnya jatuh cinta? Dengan gadis yang sangat teramat dekat dengannya? Seakan tersambar petir. Hatinya memberontak ingin menyadarkan. Ingin menampar dirinya yang selalu munafik. Yang setiap harinya selalu menyangkal perasaan itu.

Ia juga menyayangi gadis itu.

Tapi berbeda. Rain merasakan kebahagiaan itu. Anugerah terindah yang Tuhan berikan kepada setiap hambanya. Sorot mata, hati, dan rasa yang dapat dengan mudah terbaca oleh manusia lainnya. Cinta yang manis. Hal tabu bagi Aufa.

Ia tak merasakan itu. Sakit dan perih yang dengan perlahan menjalar melewati hati dan aliran darahnya. Setiap hari ia harus mengelak dalam diam saat sahabatnya membanggakan gadis itu, berandai dan berangan ingin berusaha membahagiakan gadis cantik itu. Seperti topeng yang ia kenakan, bibir dan otaknya mendukung Rain, sementara hati dan degup jantung yang berdusta. Memberontak. Ada tekad yang berbicara, bahwa Aufa lebih pantas untuk membahagiakannya.

Could It Be?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang