Udah pada makan kan? Kalo belum, makan dulu baru baca ini, takutnya jantung kalian berdetaknya terlalu kuat saking gemes bacanya. (Tahu Nggak ada hubungannyaa :D )
Enjoys
________________________________________
"Jangan menangis," Nore berdiri lalu berjalan ke arahku. Tangannya mengusap airmataku lembut dan merangkum wajahku dengan kedua tangannya. "Jangan menangis karenaku, aku mohon." Ucapnya pilu."Adam." Ucapku lirih. Aku menangis bukan karena dia tapi karena Adam. Setiap kali membayangkan betapa besar luka yang telah kami berikan padanya, membuatku sedih hingga tak kuasa menahan tangisku. "Kita telah menyakitinya."
Dia mendongakkan wajahku, agar menatap tepat ke matanya. "Aku yang menyakitinya, bukan kamu. Seandainya dulu aku bisa menahan perasaanku, seandainya aku mematikan rasa yang aku miliki semuanya tidak akan terjadi."
Krisna juga mengatakan hal yang sama padaku, Norelah yang bersalah bukan aku. Selama ini aku juga melimpahkan semua kesalahan padanya. Bertahun-tahun aku melakukan itu, menyakinkan diriku sendiri, bahwa apa yang terjadi pada Adam, pada kami adalah kesalahannya. Tapi, tidak membantu. Hatiku masih tetap merasa bersalah. Karena aku tahu, Jika Nore mencintaiku, dia pasti punya alasan. Dan apapun alasan itu pasti ada andilku.
"Kenapa kamu tidak melakukannya? Menahan dan mematikan perasaanmu?" tanyaku lirih.
Wajah Nore berubah sendu, tatapan matanya yang tadi terlihat kuat dan tenang sekarang terlihat begitu rapuh. "Aku tidak bisa. Aku berusaha sangat keras untuk melakukan itu, tapi tetap tidak bisa. Rasa yang aku miliki untukmu tidak pernah bisa hilang."
Aku tak sanggup bicara. Begitu besarkah perasaan yang dia rasakan untukku.
Selama beberapa menit aku hanya diam mematung, memberikan tatapan kosong padanya. Tangan Nore masih di wajahku, memberikan sentuhan-sentuhan lembut yang menenangkan. Karena tidak bisa menahan sentuhannya, aku menarik tangannya menjauh dari wajahku.
Airmataku kembali turun, kali ini begitu deras hingga membuat nafasku sesak. Dia yang terlalu berusaha keras mendapatkanku membuatku bingung. Dan juga takut.
Aku takut usahanya akan menghancurkan benteng yang selama ini aku bangun. Aku takut, usahanya bisa dengan mudah membuka pintu hatiku yang selama ini terkunci. Aku takut akan dengan mudah menundukkan hatiku padanya dan membuatku membalas perasaannya.
Kami tidak mungkin bersatu, kesalahan yang kami buat terlalu besar hingga membuat kami akan selalu terkungkung dalam penyesalan tiada henti.
Melihat airmataku kembali turun, dia tidak mengusapnya seperti yang dia lakukan tadi. Kali ini tubuhnya mendekat padaku, lalu menarikku ke dalam dekapannya.
"Kita tidak akan bisa bersama," aku menarik nafas gemetar. "Jika aku memilihmu, selamanya aku akan dihantui rasa bersalah. Pada Adam, juga padamu. Aku masih belum bisa memaafkan diriku sendiri. Begitu pun kamu."
Nore memelukku makin erat.
"Kita bertiga terluka, terkukung dalam lingkaran yang tidak ada jalan keluarnya. Jika aku memilihmu, selamanya Adam akan terus menghantui kita. Terus mengingatkan kesalahan yang telah kita lakukan padanya."
Tanganku bergerak membalas pelukannya, menyembunyikan wajahku di lehernya, membiarkan tiap tetes airmataku jatuh mengenai kulitnya. Tubuh Nore terkesiap, terkejut akan pelukan yang tiba-tiba aku berikan.
"Kamu tahu alasan kenapa aku menolak melepasmu?" Aku membisu, tetap diam dengan menahan isakan "Karena aku percaya, hanya akulah yang bisa mengobati lukamu. Hanya akulah yang bisa membuatmu memaafkan dirimu sendiri. Aku yang membuatmu terluka, maka biarkanlah aku yang mengobatinya."