Isshhhh... ishhh... komennya yah gila. Banyak aja!!! Tapi... tapi ... aku suka jadi aku kasih hadiah.
Siapin air, siapa tahu kalian membutuhkannya. Siapin jantung juga takutnya tiba-tiba kalian kaget. Jangan lupa tisssuenya. Kalau takut nggak bisa tidur mending bacanya besok pagi aja abis sarapan.
Enjoy....
________________________________________
Aku tersentak.
Tubuhku gemetar, degup jantungku berlari kencang, aku bahkan harus menekan dadaku agar degupannya tidak membuatku sesak nafas. Apa yang Zebi katakan membuat duniaku seakan runtuh, hingga membuatku tidak tahu reaksi seperti apa yang harus aku tunjukkan.
"Sampai sekarang aku masih ingat, gimana paniknya Adam saat tahu hasil tesnya. Sayang sekali dia tidak bisa melihat anaknya tumbuh."
Lika
Adam
Aku menyebut nama keduanya berkali-kali. Dua nama itu yang selalu menguatkanku selama ini, nama yang selalu ada di setiap hembusan nafasku. Kenyataan hasil tes kesuburan Adam yang Zebi ceritakan padaku, tidak mengubah apapun. Adam adalah Papa Lika dan Lika adalah anak Adam. Inilah kenyataan yang sebenarnya.
"Lika, sayang temanin Om Zebi ambil makan."
Aku mendongak. Terkejut mendengar permintaan Nore, dia ingin Lika membawa Zebi pergi dan meninggalkanku hanya berdua dengannya.
"Aku masih belum lapar, nanti saja."
"Lika, temanin Om Zebi ambil makanan." Zebi yang ucapannya tidak digubris mengerutkan keningnya penuh tanya.
"Ayo, Om. Mbah Utik bikin banyak makanan, semuanya enak-enak."
Lika menggandeng tangan Zebi dan menariknya berjalan ke tempat makanan di hidangkan. Aku sengaja terus melihat kepergian mereka karena tahu sejak tadi Nore tidak berhenti melihatku.
"Aku ingin melakukan tes DNA."
Ucapannya membuatku langsung menoleh padanya, menatapnya marah. "Tidak!" tolakku tajam.
"Lika bisa jadi dia ---''
"Dia anak Adam, aku yang melahirkannya jadi aku tahu siapa Papanya."
"Kamu dengar sendiri apa yang Zebi katakan. Hasil tes Adam kurang baik."
"Itu hanya sebuah tes, bisa saja hasilnya salah!"
"Andian!"
"Lika adalah anakku dan Adam!" tegasku. "Itulah kenyataannya." Aku berdiri, ingin segera pergi meninggalkannya.
"Adam tahu. Dia tahu aku mencintaimu." Aku kembali menoleh padanya.
Pengakuannya membawa ingatanku kembali pada kejadian bertahun-tahun lalu.
"Akhirnya aku bisa nelpon Nore tadi."
"Syukurlah."
"Satu bulan lebih dia menghindariku." Ucapnya sedih. Adam pasti merasa begitu kehilangan, aku tahu betapa dekatnya mereka berdua.
"Mungkin dia sedang sibuk. Sebentar lagi kan semester baru dimulai." Aku memberikan alasan yang menenangkannya.
"Mungkin saja."
"Apa saja yang kalian bicarakan tadi?"
"Nggak banyak, hanya saling bertukar kabar. Tapi dia menceritakan sesuatu yang sangat menarik." Suara Adam tiba-tiba terdengar berbeda.