24. Jalan Hidup yang Berbelok 2

29.6K 3.7K 402
                                    

Minta tolong koreksinya ;) . Thanks buat kalian yang selalu memberikan masukan buat ceritaku.

Bancanakan adalah sebutan yg sering digunakan di daerahku, nah di daerah pesisir utara jawa, seperti cirebon kadang menyebutnya Bancakan.

Untuk masalah typus Nara kemarin juga sama pada ngoreksi kalau lagi typus nggak boleh makan pedes. Kalau pedes cabai emang nggak boleh :) , tapi kalau pedes lada malah oke soalnya perut jadi anget (gitu kata mamak ku)

Sekali lagi Makasih banyak buat kalian yang rajin ngoreksi, jangan bosen yah. kadang nggak aku balas emang. Tapi, aku catat kok sebagai masukan.

Dan silakan dinikmati Norenya. Masih satu part sama yg kmrn. Nanti part 25 juga sama aku bagi dua yah.

________________________________________

"Kapan lukisannya dibuat, tante?"

"Tante nggak tahu, tapi biasanya Nore selalu ngasih tanggal di belakang lukisan, coba kamu lihat. Mau tante bantu lihatin?"

"Nggak usah tante, saya aja." Tolakku.

"Oh, yasudah. Kamu nanti nyusul ke bawa aja. Tante lagi manasin air buat bikin teh soalnya."

"Iya, tante."

Saat Tante Shinta sudah berjalan melewati pintu, aku menurunkan lukisan itu dari dinding. Di bagian belakang, setiap sudutnya diberi penyangga agar tidak jatuh. Ada delapan penyangga. Mataku menyipit saat menyadari ada dua penyangga yang patah. Berarti ada seseorang yang pernah membukanya selain aku.

Tanganku gemetar saat membuka setiap penyangganya, aku terus berdoa agar apa yang aku curigai tidak benar. Namun, harapanku tak terkabul. Tanggal yang terdapat di belakang lukisan menghancurkan semua harapanku.

20 Agustus 2003

Lukisannya selesai ditanggal itu, di bawah tanggal lagi-lagi aku menemukan inisial yang sama seperti yang terdapat di depan lukisan. NPC. Noresta Parian Chandra. Dialah pembuatnya. Berarti saat itu aku kelas satu SMA, baru masuk beberapa bulan. Nore mengenalku lebih dulu sebelum Adam.

Tubuhku langsung lemas, semua tulangku terasa dilolosi hingga aku tidak bisa menahan tubuhku agar bisa tetap berdiri. Tanpa bisa aku tahan, tubuhku jatuh, bersimpuh di depan lukisan yang akhirnya menjawab rasa penasaranku selama ini.

Tidak, takdir kami tidak mungkin serumit ini pasti ada yang salah. Pasti dugaanku tidak benar.

Dengan pemikiran seperti itu, kekuatanku kembali. Aku menarik dan menghembuskan nafasku berulang kali, agar merasa lebih baik, sebelum akhirnya aku berdiri. Aku berusaha melangkahkan kakiku lebih cepat, tapi tidak bisa. Anak tangga yang aku lewati terasa begitu banyak.

"Ian sini minum teh." Om Rindra yang sedang duduk di ruang tengah melambaikan tangannya padaku.

Aku berjalan menghampirinya, Tante Shinta yang datang dari arah dapur bergabung bersama kami.

"Tadi kita mampir ke Amber, kata Lika kamu suka banget macarons di sana. Ayo sini, makan kuenya." Om Rindra kembali mengajakku duduk bersamanya, saat melihatku hanya diam membatu.

Aku mengangguk, lalu duduk tidak jauh dari mereka.

"Om, Tante ada yang mau saya tanyakan."

"Boleh, tentang apa?" jawab Om Rindra lembut.

"Adam."

Keduanya langsung menatapku bersamaan.

"Adam kenapa?" tanya Tante Shinta. Dari suaranya aku tahu kalau dia dilanda kegugupan.

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang