Baca part ini nggak perlu vitamin, apalagi taburan sianida. Cukup dinikmatin Nore dan Andiannya.
Enjoy....
_________________________________________
Aku mengatakan semua yang aku ketahui, cerita mama, kebenaran lukisan wajahku juga apa yang mungkin Adam rasakan. Selama aku bercerita, Nore tetap memasang wajah tenang tanpa mengatakan apapun.
"Dia membunuh dirinya sendiri, karena merasa bersalah padamu." Kataku seraya mengusap airmata dengan punggung tangan.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu?" tanyanya datar.
"Itulah kenyataannya!" aku berteriak marah.
Nore masih menatapku dengan ketenangan yang sama, kemarahan yang aku luapkan tidak mempengaruhi emosinya sama sekali. Matanya menatapku menunggu.
"Sebelum meninggal Adam berkali-kali bilang, kalau dia telah merebutku. Dia merasa seperti itu karena berpikir kamu mengenal dan mencintaiku lebih dulu. Lukisan itu buktinya. Di belakangnya ada tanggal yang menunjukkan kapan lukisan itu dibuat." Tuduhanku hanya mendapat kernyitan keningnya.
"Adam tahu aku suka melukis, dia memintaku melukis wajahmu." Ucapnya lirih. "Aku tidak pernah memenuhi permintaannya."
"Lalu lukisan itu?"
"Aku buat sebelum Adam memintanya." Jawabnya cepat.
"Kapan?" ulangku.
"Tak lama saat pertama kali aku bertemu denganmu."
Aku terdiam, menunggunya mengatakan hal lain.
"Adam tahu aku mencintaimu, tanpa harus aku katakan ataupun melihat lukisannya. Diantara semua orang dialah orang yang paling mengenalku." Dia tertawa, "Jadi mana mungkin dia tidak tahu apa yang aku rasakan."
Mataku melebar mendengar apa yang dia katakan.
"Kamu adalah hal pertama yang sama-sama kami sukai. Kami selalu membicarakanmu, caramu bicara, tersenyum, tertawa bahkan menangis." Dia memainkan rambutku perlahan.
"Adam tahu?" tanyaku terbata-bata.
"Hmm. Aku sudah pernah bilang padamu, kalau Adam tahu aku mencintaimu."
Nore memang pernah mengatakannya beberapa waktu yang lalu. Tapi, saat itu aku kurang mempercayainya.
"Jadi, dia meninggal bukan karena mengetahui apa yang aku rasakan padamu, dia sudah mengetahuinya." Dia menundukkan wajahnya. Aku membiarkannya tetap diam. Tanpa memintanya menjelaskan lebih. Entah mengapa, aku tahu dia mengalami kesulitan saat menceritakan semua ini.
Sebenarnya apa yang terjadi, aku tidak mengerti apapun yang Nore katakan.
"Hubungan kami berdua, sedikit rumit. Kami saling menyayangi tapi disaat yang sama saling membenci. Adam adalah cerminan segala hal yang baik dariku, semua orang menyayanginya. Anak yang baik, nggak pernah macam-macam dan selalu mengikuti apa kata orangtuanya. Berbeda denganku. Dia selalu menjadi bayang-bayangku, semua orang selalu membandingkan kami." Dia tertawa, "Aku yakin dia juga merasakan hal yang sama. Sama sepertiku, kadang aku menyayanginya juga membencinya."
"Malam itu sebelum meninggal, dia menelponku. Saat itu aku tidak tahu, kalau itu terakhir kalinya aku akan mendengar suaranya. Jika saja aku tahu, aku mungkin akan menghentikannya." Lanjutnya dengan nada sedih.
"Apa yang dia katakan?" tanyaku, penasaran akan isi percakapan terakhir mereka.
"Dia memintaku menjagamu." Nore mendongakkan wajahnya. "Kalau kamu berpikir, dia pergi karena mengalah padaku, kamu salah. Kalau mau mengalah sudah dia lakukan sejak dulu."