23. Rahasia Hati

25.7K 3.6K 305
                                    

Lamunanku baru terhenti saat suara Luys terdengar, "Tadi aku lagi main perang-perangan sama Luce, Tante. Terus tanganku kena lengannya Lika. Kata dia sakit lengannya. Aku udah minta maaf, tapi Likanya nangis terus." Jelas Luys dengan wajah takut-takut.

Aku tersenyum padanya, "Iya nggak papa. Nanti sakitnya juga hilang."

"Sakitnya nggak hilang mama! sekarang aja masih sakit. Tadi pistolnya Luys kena lengan Lika." Lika yang sejak tadi menyembunyikan wajahnya di bahu Nore, memotong ucapanku.

"Coba sini mama lihat yang sakit."

"Ini..." dia menunjukkan lengannya yang mulai berwarna keunguan.

"Lebam," Nore menggerakkan bibirnya tanpa suara.

Lebamnya memang tidak terlalu lebar, tapi melihat lebamnya yang dengan cepat berubah keunguan pasti tadi pistol Luys mengenai Lika cukup kencang.

"Semoga mbah Utik punya beras kecur, sebentar yah sayang mama tanyain."

Aku berbalik dan mengacak rambut Luys, tersenyum padanya agar membuatnya tidak terlalu merasa bersalah.

"Ini beras kencurnya. Tinggal kamu olesin aja." Mada datang dengan membawa beras kencur yang sudah dilarutkan. Aku tersenyum berterima kasih padanya.

Saat Mada mengajak si kembar ke kamarnya, Lika kembali menangis. Aku menatapnya heran, biasanya jika kesakitan dia akan berusaha menahan tangisannya. Tapi kali ini berbeda, Lika bukan hanya menangis tapi juga merajuk. Bekali-kali dia mengatakan pada Nore kalau dia kesakitan.

"Sini sayang, mama olesin dulu pake beras kencur. Biar lebamnya hilang." Mintaku sambil menepuk-nepuk pahaku agar dia duduk dipangkuanku.

Lika menggelengkan kepalanya, menolak permintaanku.

"Sayang... sini. Obati dulu lebamnya biar nggak sakit."

Bukannya menuruti permintaanku, Lika malah makin menyembunyikan wajahnya di bahu Nore.

Melihat bujukanku tidak mempan buat Lika, Nore berjalan mendekatiku, duduk dengan Lika di pangkuannya. Dengan kepalanya, dia memintaku mulai mengoleskan larutan beras kencur di lengan Lika.

"Perih?" tanya Nore, saat aku mulai mengoleskan beras kecur ke lengan Lika perlahan.

"Nggak, setahuku sih sejuk."

Dia mengangguk. Matanya menatap lengan Lika khawatir.

"Besok lebamnya sudah berkurang." Ucapku, tanpa sadar berusaha membuatnya tidak terlalu khawatir.

Nore kembali menganggukkan kepalanya. Kemudian meniupi lengan Lika yang lebam. Tangannya dengan lembut terus menepuk-nepuk punggung Lika. Dia terus melakukan itu, sampai Lika tertidur.

Begitu yakin Lika sudah tertidur nyenyak, aku minta Nore membawanya ke kamarku. Lebih baik malam ini kami tidur bersama, takutnya jika dia tidur dengan si kembar lengannya tersenggol.

"Dia sekarang tambah manja." Ujarku, saat Nore merebahkan tubuh Lika di tempat tidur. "Kamu terlalu memanjakannya."

"Aku senang melakukannya." Balasnya.

"Tapi, nggak bagus. Kamu lihat dia tadi, biasanya dia jarang menangis. Aku baru melihatnya menangis merajuk seperti itu."

"Dia masih kecil, wajar kalau kesakitan dia menangis." Potongnya.

"Bukan itu masalahnya." Desisku. "Tentu saja kalau dia kesakitan, dia boleh menangis. Yang aku permasalahkan adalah caramu memanjakannya. Kamu berlebihan dengan menuruti apapun yang dia mau."

Nore mengerutkan matanya tidak suka.

"Saat dia minta minum es, kamu memberikannya."

"Dia cuma minta minum es, masa iya aku larang."

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang