18. Panggilan Baru

31.3K 3.5K 267
                                    

Kemarin baru aku beresin cerita ini. Biasanya tiap partnya aku buat di file terpisah. Kemarin aku kumpulin jadi satu di word. Damn, udah 230 halaman aja. Untuk file yang belum aku post totalnya ada 61hal. Ishh... ishh... cerita ini paling banyak halamannya ;). Yang lain nggak nyampe 270hal.

Pas dibaca ulang beberapa kali, ternyata aku terlalu berputar-putar di sepuluh part pertama. Terlalu banyak mengulang penjelasan. Terlalu banyak kata-kata yg nggak perlu. Kayaknya pas nulis ini aku terlalu menikmati sampai nggak sadar kalau udah terlalu banyak ngetiknya. :)

Tapi, memang buat cerita ini aku paling enjoy sih. Di cerita kejora, aku kayak orang galau. Bingung mau milih Rey apa Daniel. Di cerita Amada aku keseringan Baper, story y Amada agak mirip "SEDIKIT" sama aku soalnya. Di cerita Relis, aku justru nggak pengin cerita itu kelar. Karena pengin ngasih scenes bahagia buat dia lebih banyak. Di cerita Andian aku belajar hal baru, membaca dan merasakan kepahitan yg dirasaka orang lain. Makanya (ini buatku, nggak tahu buat kalian) di cerita Andian, perih dan sedihnya dia kayaknya berasa banget.

Oke.. itu aja.

Enjoy....

Sssttt... emosinya aku turunin dikit.

________________________________________

"Ngapain kamu di sini?" aku berhenti di ambang pintu dan menatap pria yang berdiri di depanku kesal. Kali ini dia kelihatan lebih rapi dari biasanya, mengenakan celana bahan berwarna biru navy yang sangat pas di tubuhnya dan kemeja putih yang dia lipat lengannya. Mukanya terlihat segar, karena telah dicukur. Rambutnya dia tata rapi, berbeda seperti biasanya yang kelihatan acak-acakan.

"Kita memakai warna baju yang sama." Ucapnya mengabaikan pertanyaanku.

Aku melihat kemana arah tatapannya dan menemukan aku memang mengenakan warna baju yang sama seperti yang dia kenakan. Sekarang aku mengenakan pouf dress tanpa lengan dengan panjang beberapa centi di atas lutut. "Aku ganti bajuku kalau gitu." Balasku ketus.

"Nggak usah, kamu cocok pakai warna itu, kulitmu kelihatan lebih cerah." Oke pujian tidak terduganya membuat wajahku merona.

Betapa pun aku membencinya, tapi mendengar pujiannya mau tidak mau aku merasa tersanjung. Sudah lama tidak ada laki-laki yang terang-terangan memujiku seperti yang Nore lakukan tadi.

"Ngapain kamu di sini?" ulangku lagi masih dengan nada ketus yang sama.

"Sudah berhari-hari aku menghabiskan waktuku di sini." Jawabnya santai, tangannya membetulkan letak jam tangannya. "Aku malah heran kamu baru bertanya tentang kehadiranku sekarang,"

"Ini masih terlalu pagi buat datang ke rumah orang." Aku mengingatkannya. Sekarang baru jam tujuh pagi, orang gila mana yang berkunjung ke rumah orang lain sepagi ini.

"Iya," dia setuju "Tapi keponakanku tinggal di sini, jadi ini bukan rumah orang."

"Om Nore...." Sapaan Lika menghentikan percakapan kami. "Om Nore cakep!" teriak Lika seraya melemparkan tubuhnya ke arah Nore. Seperti biasanya Nore langsung menangkap dan menggendongnya.

"Lika juga cantik." Sahutnya dengan bibir tersenyum lebar.

"Ma, Lika minta Om Nore datang ke sekolah biar bisa lihat Lika main piano." Penjelasannya membuatku tahu alasan Nore ada di sini pagi-pagi.

"Tapi sayang, kan sekolah sudah bilang yang boleh datang hanya dua orang."

"Kan Papap nggak ada, Ma. Lika kemarin udah ngajakin papap, tapi papap bilang nggak bisa. Kata nenek papap juga nggak pulang semalam."

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang